BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » AKTIVIS LINGKAR STUDI CSR, PENASIHAT TEKNIS KIROYAN PARTNERS

AKTIVIS LINGKAR STUDI CSR, PENASIHAT TEKNIS KIROYAN PARTNERS

Written By gusdurian on Sabtu, 20 November 2010 | 08.23

Oleh. Jalal

Membesarnya kekuasaan perusahaan, terutama perusahaan multinasional,
sangatlah penting untuk mendapatkan perimbangan melalui checks and
balances dari gerakan sosial.
Jagdish Bhagwati, profesor ekonomi dan bisnis di Universitas Columbia,
menulis artikel soal tanggung jawab sosial perusahaan (corporate
social responsibility/CSR) di Koran Tempo edisi 8 November 2010. Pada
kesimpulannya, ia menyatakan,"Semua rationale CSR ini memperlihatkan
bahwa semuanya terserah kepada setiap perusahaan untuk menentukan
pilihannya.... Upaya beberapa LSM untuk mengenakan batasan yang
mengekang CSR, yang mencerminkan prioritasprioritas yang mereka
inginkan, keliru dan harus ditolak."Benarkah demikian?
Dengan mudah kesimpulan itu diruntuhkan kalau kita dengan teliti
memeriksa cukup banyak literatur soal CSR. Bhagwati tampaknya kurang
bersedia melakukannya. Kesimpulan yang ia sampaikan, juga butir-butir
argumen yang ia susun, tidaklah mencerminkan bahwa ia memang paham
betul soal CSR. Kalau saja Bhagwati membaca analisis Alexander
Dahlsrud (2008), jelas ia tidak akan pernah sampai pada kesimpulan
bahwa CSR itu sifatnya "terserah". Dahlsrud telah memeriksa seluruh
definisi CSR yang ada di dunia maya, lalu menyimpulkan hanya 37 di
antaranya yang cukup populer. Dari 37 definisi itu, sangat tampak
bahwa perbedaannya adalah masalah artikulasi, bukan substansi. Seluruh
definisi itu menunjukkan kesepakatan bahwa CSR memiliki lima komponen:
lingkungan, ekonomi, sosial, pemangku kepentingan, dan sukarela.
Komponen terakhir ini memang kerap diselewengkan pengertiannya oleh
perusahaan yang bandel. Mereka menyatakan persis seperti yang
disimpulkan Bhagwati. Padahal pengertian dari sukarela itu
sesungguhnya adalah komitmen untuk memenuhi seluruh regulasi yang
berlaku, lalu melampaui itu semua dengan berbagai inisiatif.

Bhagwati benar bahwa berbagai lembaga swadaya masyarakat memang telah
membuat CSR sampai kepada bentuknya yang sekarang. Namun ia salah
besar ketika menyatakan bahwa LSM membuat batasan yang mengekang CSR.
Sejumlah LSM itu lebih tepat dinyatakan hendak membatasi kuasa luar
biasa yang kini semakin ditunjukkan oleh perusahaan. Pernyataan Lord
Acton bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan mutlak itu
pastilah korup tidak hanya berlaku untuk pemerintah--sebagaimana yang
dipahami banyak orang. Membesarnya kekuasaan perusahaan, terutama
perusahaan multinasional, sangatlah penting untuk mendapatkan
perimbangan melalui checks and balances dari gerakan sosial. Dalam
perhitungan yang dibuat oleh Mathew Kiernan (2009), perusahaan
multinasional itu setidaknya berkaitan dengan 75 persen kerusakan
lingkungan dan masalah sosial global. Bagaimana mungkin dampak seperti
ini tidak hendak dibatasi?
Jelaslah bahwa Bhagwati perlu mengaji alifbata berbagai varian teori
politik soal CSR, yang misalnya telah diringkas oleh Elisabet Garriga
dan Domenec Mele (2004).Varian ini menjelaskan bagaimana para pemangku
kepentingan--bukan hanya LSM--memiliki keprihatinan akan semakin
mengguritanya kekuasaan perusahaan, sehingga kontrol atas perusahaan
juga harus diciptakan. Mungkin Bhagwati perlu membaca sejarah singkat
CSR yang dibuat oleh John Elkington dan Jodie Thorpe (2005), yang
dengan jelas menggambarkan bahwa perusahaan bisa berubah menjadi
semakin memperhatikan berbagai aspek pembangunan berkelanjutan hanya
karena desakan kelompok-kelompok masyarakat sipil. Kalau "...semuanya
terserah kepada tiap perusahaan...", seperti yang disarankan Bhagwati,
jelaslah bumi ini akan semakin centang perenang dihajar oleh kerakusan
perusahaan.

Tentu tidak semua perusahaan akan bersikap seenaknya sendiri seperti
itu. Ada cukup banyak contoh perusahaan yang tidak perlu menunggu
dihajar oleh gerakan sosial dulu untuk berubah menjadi lebih baik.
Mereka yang ada di daftar Newsweek Green Company Rankings 2010
(Newsweek, 25 Oktober 2010), misalnya, telah menunjukkan upaya dan
kinerjanya dalam melampaui harapan LSM dan masyarakat luas. Bahkan LSM
advokasi garis keras-seperti Greenpeace--pun menyambut dengan ucapan
selamat kepada mereka yang nangkring di peringkat teratas, seraya
mendorong mereka untuk menjadi "...pembela yang lebih gigih berkaitan
dengan kepemimpinan politis dalam memerangi perubahan
iklim"(Greenpeace International, 2010). Greenpeace sebal luar biasa
kepada banyak pemerintah yang mereka pandang sangat lamban dalam
bertindak mengurangi dampak perubahan iklim. Memang, kalau kita lihat
kinerja perusahaan-per usahaan paling progresif berkaitan dengan
penurunan emisi, kita akan sadar bahwa kebanyakan pemerintah jauh
sekali di bawah mereka.

Apakah tindakan seperti menurunkan emisi itu merupakan tindakan
altruistik perusahaan? Kalau altruistik itu didefinisikan sebagai
kepedulian atas kesejahteraan pihak lain, pernyataan Bhagwati soal
motivasi CSR cuma separuh kebenaran. CSR memang membutuhkan kepedulian
atas kesejahteraan pihak lain, terutama pemangku kepentingan
perusahaan. Namun CSR tidaklah mengabaikan kepentingan perusahaan sama
sekali, terutama karena dalam pemangku kepentingan perusahaan juga
terdapat para pemilik modal serta para pekerja. Para pakar telah
menunjukkan bagaimana cara untuk memastikan bahwa CSR menguntungkan
perusahaan dan pemangku kepentingannya, misalnya CarolAnn Sirsly dan
Kai Lamertz (2008). Kalau terdapat pertentangan kepentingan, dan
hasilnya tampak seperti perlu ada yang dikalahkan, sesungguhnya itu
semua hanya terjadi dalam perspektif jangka pendek belaka. Dalam
jangka panjang, baik perusahaan maupun pemangku kepentingannya
membutuhkan hal yang sama: pembangunan berkelanjutan.

Dalam perspektif di atas, usulan Bhagwati menggantikan CSR dengan
tanggung jawab sosial pribadi (PSR) tidaklah bisa diterima. Jelas
setiap pihak memiliki tanggung jawab bersama untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan, namun itu tidak bisa saling menggantikan.
Setiap individu maupun organisasi memiliki dampak yang berbeda-beda
atas dimensi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Hanya apabila setiap
pihak itu mengelola dampaknya dengan baik—dalam pengertian
meminimumkan dan mengkompensasi dampak negatif serta memaksimumkan
dampak positif—maka pembangunan berkelanjutan bisa tercapai.

CSR jauh lebih besar cakupannya daripada PSR, dan harus didefinisikan
lebih jelas batasan-batasannya. Bhagwati perlu belajar dari bagaimana
ISO 26000, yang merupakan kesepakatan global mengenai tanggung jawab
sosial dibuat melalui proses yang melibatkan seluruh wakil pemangku
kepentingan (bukan hanya LSM!).

UN Global Compact, yang digadang-gadang oleh Bhagwati sebagai model
ideal, pun kini telah mengupayakan komplementaritasnya dengan ISO
26000 yang jauh lebih ketat. Itu karena pemangku kepentingan memang
menghendaki batasan yang lebih jelas atas CSR. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/11/20/ArticleHtmls/20_11_2010_009_013.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: