BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » "Obamacare" Vs "Yudhoyonocare"

"Obamacare" Vs "Yudhoyonocare"

Written By gusdurian on Sabtu, 20 November 2010 | 09.01

Imam Cahyono

Tanggal 19 Oktober 2004 seorang anak telah lahir. Namun, hingga hari
ini anak itu tak kunjung bisa berjalan. Bukan lantaran mengidap
kelainan bawaan, tetapi karena dibuat cacat oleh mereka yang menentang
keberadaannya.

Pada ulang tahunnya ke-6 dia berkata, ”Bapak, Ibu sekalian. Tolong
bantu aku agar bisa menjalankan tugasku untuk melindungi dan
menciptakan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Anak
itu bernama Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Pada pengujung kepemimpinan Megawati, Indonesia akhirnya menerbitkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, yang mengatur Sistem Jaminan Sosial
Nasional. SJSN bukan sekadar payung hukum, melainkan merupakan inti,
tujuan, dan sekaligus alat negara untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat, meliputi (i) jaminan kesehatan, (ii) kecelakaan kerja, (iii)
jaminan hari tua, dan (iv) jaminan kematian.

Mandat SJSN untuk membentuk peraturan perundangan dan peraturan
pelaksanaan dalam lima tahun pemerintahan Yudhoyono tak kunjung
terwujud. Bahkan hingga periode kedua kepemimpinan Yudhoyono, SJSN
masih lumpuh.

Berbagai apologi dilontarkan pemerintah demi menutupi keengganannya
(unwillingness) dalam menjalankan SJSN, seperti keterbatasan anggaran,
kontraproduktif dengan investasi, dan masih banyak lagi lainnya. Debat
kusir seputar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tak pernah
mampu mengimbangi desakan kebutuhan hak dasar warga.

Toh, negara miskin seperti Sri Lanka dan Gabon mampu. Vietnam, yang 10
tahun lalu belajar asuransi sosial dari Indonesia, pun telah
melaksanakannya. Di negara maju seperti Korea Selatan terbukti bahwa
negara yang menjalankan jaminan sosial menjadi semakin kuat. Bahkan
Amerika Serikat, saka guru haluan kapitalis-liberal pun tak mau
ketinggalan.

Politik kesejahteraan

Lain Indonesia, lain pula dengan Paman Sam. Presiden Obama menempatkan
reformasi jaminan kesehatan (Obamacare) sebagai agenda prioritas
kebijakan domestik. Biaya kesehatan, jika tidak direformasi, bisa
menjadi ancaman ekonomi, membebani keluarga dan bisnis, bahkan
diprediksi menjadi bom waktu anggaran negara dan kelangsungan AS.

Ia yakin bahwa sistem jaminan kesehatan yang lebih baik sangat
esensial dalam pemulihan ekonomi sehingga reformasi tidak boleh
menunggu lebih lama. ”Health reform will not wait another year,”
tandas Obama.

Bukan hal aneh jika Obama menunda kunjungan ke Indonesia bulan Maret
lalu, untuk fokus pada legislasi Undang-Undang Reformasi Jaminan
Kesehatan yang tak lain adalah pertaruhan janji, komitmen, dan
citranya di dalam negeri.

Meski banyak ditentang oleh sebagian besar politisi di Kongres dan
kalangan industri, Undang-Undang Reformasi Jaminan Kesehatan akhirnya
disetujui parlemen lewat kemenangan tipis atas voting dengan skor
219-212. Keberhasilan legislasi tersebut merupakan prestasi besar yang
memberikan perubahan bersejarah bagi Paman Sam.

Betapa tidak? Sebagai empu penganut sejati haluan kapitalis- liberal,
reformasi jaminan kesehatan tentu sangat bertentangan dengan spirit
individualisme. Bagi kubu konservatif—Partai Republik—yang merupakan
penentang utama, negara diharamkan mencampuri urusan privat.

Layanan kesehatan diserahkan sepenuhnya kepada warga melalui sistem
asuransi swasta, sementara mereka yang miskin mendapat bantuan
minimal. Hukum pasar mewartakan, yang kaya, yang mampu bayar, berhak
mendapat pengobatan.

Yang miskin, dilarang sakit atau mati saja. The rich get medical care,
the poor stay sick or die. Namun, bagi Obama, Reformasi Jaminan
Kesehatan jadi agenda utama untuk memberikan jaminan kesehatan kepada
32 juta rakyat Amerika yang tidak memiliki asuransi kesehatan.

Kebijakan progresif ini merupakan tonggak perubahan penting yang tidak
akan dilupakan warga AS. Setelah menanti 45 tahun sejak Roosevelt,
Obama berhasil menorehkan tinta emas dalam sejarah. (Tentang obsesi
negara kesejahteraan Roosevelt ini diangkat dengan apik oleh sutradara
kontroversial Michael Moore dalam film terakhirnya, Capitalism).

Bill Clinton pun tidak mampu mengegolkan upaya ini karena pertarungan
politik yang kuat. Realisasi reformasi merupakan komitmen pemenuhan
janji politik yang harus ditepati saat kampanye kepada rakyatnya.

Lumpuh total

Serupa, tapi tak sama dengan Indonesia. Kendati berkampanye soal
kesejahteraan, mempercepat pelaksanaan SJSN, dan jaminan kesehatan,
reformasi jaminan kesehatan (Yudhoyonocare) di republik ini tidak
pernah menjadi prioritas kebijakan yang harus dituntaskan. Meski sudah
disahkan DPR enam tahun silam, hingga sekarang SJSN masih lumpuh
total, apalagi bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Kendati berbagai
roadmap dan studi telah dibuat, implementasinya bak penantian panjang
dalam kegelapan.

Jika dihitung, tidak sedikit kerugian yang harus ditanggung akibat
kemandekan SJSN, terutama kegagalan menjalankan reformasi jaminan
kesehatan.

Pertama, biaya kesehatan. Tahun 2009 terdapat sekitar 134,9 juta jiwa
penduduk yang harus membiayai kesehatannya sendiri, alias tidak punya
asuransi kesehatan, karena belum tercakup dalam program Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan asuransi lainnya.

Dengan belanja kesehatan per kapita penduduk rata-rata Rp 40.000
setiap bulan, kerugian yang harus ditanggung secara nasional mencapai
Rp 5,4 triliun per bulan. Kerugian secara nasional per tahun mencapai
Rp 64,7 triliun. Dalam lima tahun, total kerugian Indonesia mencapai
Rp 323,8 triliun. Angka ini jauh lebih fantastis dari skandal bailout
Bank Century.

Kedua, produktivitas ekonomi. Jika 175 juta penduduk usia produktif
sakit 12 hari dalam setahun dan kehilangan pendapatan rata-rata Rp
25.000 per hari, kerugian ekonomi secara nasional Rp 52,5 triliun.
Dengan kata lain, Indonesia kehilangan potensi besar untuk
menggerakkan perekonomian bangsa dan mendorong pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas. Padahal, biaya untuk mewujudkan jaminan kesehatan
bagi seluruh rakyat—universal—tak seberapa jika dibandingkan uang di
APBN yang menganggur setiap tahunnya.

Akankah Indonesia membiarkan sosok SJSN lumpuh selamanya? Obamacare
atau Yudhoyonocare, dilihat dari mana pun, berujung pada bukti
komitmen dan kemauan politik. Sejauh mana upaya Pemerintah Indonesia
dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, seperti diamanatkan konstitusi
dan SJSN, juga tak lepas dari faktor kepemimpinan.

Kecuali, Indonesia menanti lahirnya lebih banyak Ponari, dukun cilik
yang bisa menyembuhkan ribuan orang dari segala penyakit, dengan batu
ajaib.

Imam Cahyono Aktivis Lingkar Muda Indonesia, Fellow pada Paramadina
Graduate School of Diplomacy

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/20/05041692/obamacare.vs.yudhoyonocare
Share this article :

0 komentar: