BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Sumpah Pemuda, Nasionalisme dan Pergulatan Kekinian

Sumpah Pemuda, Nasionalisme dan Pergulatan Kekinian

Written By gusdurian on Rabu, 27 Oktober 2010 | 14.21

Bambang Darmono, MANTAN SEKRETARIS JENDERAL DEWAN KETAHANAN NASIONAL

Mengevaluasi kata "pemerintah" menjadi "administrator" merupakan opsi yang dapat dipikirkan.
Kata pemerintah mengandung makna pengaturan yang cenderung menciptakan jarak, menonjolkan kesan dilayani, bukan melayani. Inilah persoalan inti yang dihadapi warga negara sehari-hari.

lobalisasi yang bergeG rak melampaui batas batas negara, menda lam ke semua aspek ke hidupan, telah menghadirkan berbagai fenomena dalam kehidupan manusia. Tarik-menarik gaya sentrifugal dan sentripetal nilai-nilai kehidupan suatu bangsa menjadi konsekuensi yang muncul. Dalam kondisi demikian, wajar bila diperlukan kekuatan untuk menjaga eksistensi dan identitas suatu bangsa, yaitu nasionalisme.

Di masa perjuangan kemerdekaan, semangat nasionalisme telah menjadi booster terwujudnya kemerdekaan Indonesia yang dipelopori oleh anak-anak muda.
Bangsa Indonesia menyadari, kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 oleh founding fathers dimotivasi oleh keinginan bebas dari penjajahan.
Mereka bersatu bahu-membahu berjuang mewujudkan kemerdekaan.

Sejatinya, jauh sebelum Indonesia merdeka, upaya menumbuhkan nasionalisme sebagai sebuah bangsa telah muncul. Puncaknya, pada 28 Oktober 1928 para pemuda memformalkannya dan menjadi milestone perjuangan yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Pada titik inilah berbagai unsur menyatu secara politik dalam satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia.

Nasionalisme terus mengalami dinamika, baik sebagai paham maupun semangat. Di saat merebut kemerdekaan, nasionalisme diwujudkan dalam bentuk perlawanan para pejuang terhadap Jepang dan Belanda. Aktualisasinya adalah kerelaan berkorban jiwa, raga, dan atau harta benda hingga tercapai kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta.

Saat itu, lahir persepsi common enemy, yaitu penjajah dan atau penjajahan. Nasionalisme tumbuh spontan, menggelora, dan terakumulasi menjadi kepentingan bersama, yaitu merebut kemerdekaan dan membentuk negara Indonesia. Hasilnya, kemerdekaan Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk. Nilai luhur yang mengkristal adalah kepejuangan dan kerelaan berkorban. Tidak mengherankan bila bertahun-tahun kemudian, ikon untuk menggelorakan dan memelihara nasionalisme bangsa Indonesia diwujudkan sebagai seorang pejuang yang berikat kepala merah-putih, membawa bambu runcing, dengan slogan "Merdeka atau Mati".

Nasionalisme terus mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman. Hal yang pasti saat ini adalah kenyataan bahwa bangsa Indonesia tetap terwadahi dalam NKRI. Kecintaan terhadap bangsa dan negara acap kali diwujudkan dalam bentuk keinginan berbuat terbaik, walaupun tidak semua aktualisasinya dapat dibenarkan. Ikon nasionalisme tidak lagi jelas di masa kini. Namun gambaran pejuang tetap menjadi romantisme ketika orang berbicara nasionalisme. Kecintaan kepada bangsa, yang diwujudkan melalui kerelaan berkorban, terus diupayakan pemerintah. Pertanyaannya, dapatkah nasionalisme bangsa Indonesia saat ini ditumbuhsuburkan melalui cara yang tetap mengedepankan paham negara mengatasi paham perseorangan atau individu?
Era reformasi memberikan ruang yang luas kepada warga negara untuk memaknai kebebas an. Hak asasi manusia mendapatkan pemaknaan yang lebih luas, tegas, dan jelas dalam kehidupan bermasyarakat. Meski masih banyak hal yang harus diperjuangkan karena hakikat kebebasan itu masih belum sepenuhnya dapat dinikmati masyarakat.

Di masa Orde Baru, permasa lahan HAM selalu terkait dengan aktor negara. Sedangkan di era reformasi, permasalahan HAM justru terkait de ngan tin dakan ma syarakat dan jaminan negara.

Hubungan antar pemeluk agama acap kali terdistorsi. Perlakuan diskriminatif tidak dibenarkan UUD 1945, tetapi tidak demikian yang terjadi dalam praktek. Aparat negara, yang seharusnya menjamin, acap kali melakukan pembiaran dengan berbagai alasan pembenar. Demi kian pula hak-hak warga negara lainnya, yang te rus menjadi topik media.

Maknanya adalah masih ter distorsinya hak-hak warga negara. Kemampuan dan kemauan aparat dalam menjamin perlin dungan hak warga negara belum cukup memadai. Maka, layak apabila terkadang muncul pertanyaan,"Masih adakah kehadiran negara dalam kesulitan warganya?" Lalu, bagaimana dengan jaminan negara atas kedaulatan negara? Persoalan ini sering menjadi isu besar untuk mobilisasi nasionalisme, seperti dalam hubungan Indonesia-Malaysia.
Dalam perspektif ini, dinamika bernegara masih diwarnai eksisnya persoalan keamanan internal dan sengketa teritorial karena batas-batas negara. Ini menunjukkan bahwa "pemerintahan negara yang dibentuk oleh rakyat untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa"masih terus diperjuangkan.

Merujuk pada Pembukaan UUD 1945, wujud kewajiban negara terhadap warga negara pa da dasarnya adalah perlindungan, pengayoman, pencerdasan, dan pelayanan yang memartabatkan. Apabila ini dapat diwujudkan, feedback-nya berupa kesadaran kewajiban, kecintaan, dan kebanggaan warga negara terhadap negaranya, inilah nasionalisme. Hakikat pembangunan adalah membangun manusia seutuhnya, membangun martabat manusia. Karena itu, konsepkonsep pembangunan harus dilakukan dengan pendekatan kemartabatan dan mengubah mindset aparat yang "memerintah"menjadi "melayani".

Mengevaluasi kata "pemerintah"menjadi "administrator"merupakan opsi yang dapat dipikirkan. Kata pemerintah mengandung makna pengaturan yang cenderung menciptakan jarak, menonjolkan kesan dilayani, bukan melayani. Inilah persoalan inti yang dihadapi warga negara sehari-hari. Berurusan dengan aparat/petugas berarti berurusan dengan kesulitan, berurusan dengan uang (pungli), berurusan dengan kejenuhan menghadapi arogansi dan kesewenangan, serta berurusan dengan ketidakpastian.

Kepala negara memang terus mengintroduksi dan memberi penekanan istilah melayani ini dalam berbagai kesempatan. Tetapi mengimplementasikan jauh lebih bermakna bagi rakyat, karena akan mengubah mindset seluruh aparatur pemerintahan. Para pegawai pemerintahan harus lebih bangga dengan sebutan pelayan masyarakat (public services) ketimbang sebutan pegawai pemerintah atau birokrat. Sepenggal kutipan berikut ini patut direnungkan dan dijalankan. "As a leader..., you are not given authority, status and position as a personal reward to enjoy in comfort.You are given them so that you may be of greater service to your people and your country."

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/10/27/ArticleHtmls/27_10_2010_011_008.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: