BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menimbang Kinerja KIB II pada Perbankan Nasional

Menimbang Kinerja KIB II pada Perbankan Nasional

Written By gusdurian on Rabu, 27 Oktober 2010 | 14.20


BAGAIMANA kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II pada perbankan nasional selama satu tahun? Namun, sebelumnya kita lihat dulu kinerja bank umum sebagai representasi enam kelompok bank.


Statistik Perbankan Indonesia (SPI),Agustus 2010 yang terbit 15 Oktober 2010,menunjukkan kredit tumbuh (year on year/YoY) 18,97% dari Rp1.338,11 triliun per Agustus 2009 menjadi Rp1.591,91 triliun per Agustus 2010. Hal ini membuat BI lebih yakin untuk menggapai target pertumbuhan kredit 22–24%. Dana pihak ketiga (DPK) “hanya” tumbuh 12,95% dari Rp1.806,62 triliun menjadi Rp2.040,64 triliun. Pertumbuhan demikian mendorong loan to deposit ratio (LDR) meningkat dari 74,07% menjadi 78,01%.

Dengan bahasa lebih jernih, bank umum kian mampu mengemban fungsinya sebagai intermediasi keuangan walau belum ideal (LDR 85–110%). Rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) pun membaik dari 3,98% menjadi 3,01% jauh di bawah ambang batas 5%. Artinya, bank umum kian mampu mengelola aset sekaligus menerapkan manajemen risiko kredit dengan cantik. Terlebih ketika bank umum mampu meningkatkan laba 19,79% dari Rp62,55 triliun menjadi Rp74,93 triliun.Pencapaian laba itu mengangkat return on assets (ROA) dari 2,67% menjadi 2,94% nyaris dua kali ambang batas 1,5% yang mengandung makna kualitas aset kian cantik. Inilah rapor biru bank umum untuk mampu meraih target pertumbuhan kredit 22–24%.

Menipiskan Bunga Kredit

Apakah rapor biru bank umum itu juga merupakan kinerja KIB II? Secara tidak langsung ya karena pertumbuhan dan perkembangan bank nasional tidak lepas dari kebijakan pemerintah.Tapi apakah bunga kredit sudah jauh menipis? Belum optimal karena ada beberapa hal yang menghambatnya. Pertama, penghasilan bunga bersih (net interest margin/NIM) yang masih lebar. Lihat saja,NIM kelompok bank campuran masih lari dari 3,75% per Juli 2010 menjadi 3,79% per Agustus 2010. Ini diintip kelompok bank asing dari 3,50% menjadi 3,53%. Ingat, kelompok BUSN nondevisa menjadi pemegang NIM tertinggi 9,47% dibayangi kelompok BPD 8,86% per Agustus 2010 di antara enam kelompok bank.Namun rata-rata NIM menipis dari 5,78% per Juli 2010 menjadi 5,77% per Agustus 2010.

Padahal BI bermimpi untuk memiliki NIM seperti Filipina 3,92%. Untuk itu, BI mengadakan kesepakatan dengan 14 bank-bank nasional papan atas pada 20 Agustus 2009. Ini bertujuan untuk menurunkan bunga deposito 1,5% di atas BI Rate6,5% hingga tiga bulan ke depan. Sebulan berikutnya bunga deposito diharapkan menipis 1% dan efektif 20 November 2009, BI menetapkan bunga deposito maksimal 7%. Upaya lain adalah dengan mematok besaran NIM tetapi hingga kini belum terwujud. Memang tidak gampang karena dalam menentukan bunga kredit memerlukan minimal empat komponen, yakni biaya operasional, target margin, biaya pajak dan cadangan kredit macet.Komponen pertama dan kedua sebagai variabel tidak tetap, sedangkan sisanya sebagai variabel tetap.

Kedua, kenaikan giro wajib minimum (GWM) primer. BI telah meluncurkan aturan GWM atas dasar LDR 78–100% pada 3 September 2010.Kenaikan GMW primer memang berhasil menekan laju inflasi dari semula 6,22% (YoY) per Juli 2010 menjadi 6,44% (YoY) per Agustus 2010 dan kini menurun 5,80% (YoY) per September 2010.Tapi kenaikan GWM primer dari 5% menjadi 8% juga membebani bank nasional. Dengan bahasa sederhana,tambahan GWM ini bakal mendongkrak biaya dana (cost of fund). Beban itu lebih berat ketika bank nasional tak sanggup memenuhi LDR minimal 78% per 1 Maret 2011.

Alhasil,bank nasional harus membayar penalti berupa tambahan GWM 0,1% dari DPK rupiah untuk setiap 1% kekurangan LDR. Akibat akhirnya, bunga kredit justru menebal, bukannya menipis.Kebijakan yang kontradiktif. Maka BI segera meluncurkan suku bunga dasar kredit (SBDK) alias prime lending rate yang merupakan referensi tingkat bunga.Kelak,bank nasional wajib mengumumkan SBDK di website, kantor cabang dan media masa. Ketiga, tingginya kupon obligasi negara ritel (ORI).Kupon ORI kadang terlalu tinggi di atas target bunga deposito 7% sehingga mengganggu turunnya bunga deposito. Tengok saja,ORI-001,ORI-002,dan ORI-003 masing-masing menawarkan kupon 12,05%, 9,28%, dan 9,4% per tahun.Lalu ORI-004,ORI- 005, ORI-006, dan ORI-007 menjanjikan kupon berturut-turut 9,5%,11,45%,9,35%,serta 7,95%.

Pekerjaan Rumah

Tegasnya, upaya menipiskan bunga kredit masih menjadi pekerjaan rumah (PR).Padahal makin tipis bunga kredit akan makin menarik bagi sektor riil untuk menikmati pembiayaan perbankan. Sektor riil yang makin bergairah diharapkan memperkencang gerak roda perekonomian nasional. Tapi, ingat, masih terdapat PR lain yang juga mendesak untuk dituntaskan pemerintah.

Pertama, jaring pengaman sistem keuangan (JPSK).Hingga saat ini UU JPSK belum terbentuk. Padahal JPSK sangat bermanfaat bagi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan kebijakan pencegahan dan penanganan krisis. Kasus Bank Century sudah sepatutnya menjadi pelajaran sangat mahal. Ringkas kata, JPSK sebagai payung hukum dalam mengendalikan krisis yang masih mengancam. Kedua, otoritas jasa keuangan (OJK). Kini Dewan Perwakilan Rakyat sedang membidani lahirnya bayi OJK di tengah aneka pandangan pro dan kontra. Padahal OJK itu sudah diamanatkan UU No 3/ 2004 tentang Perubahan atas UU No 23/1999 tentang BI Pasal 34 ayat 1.

Pembentukan lembaga pengawasan tersebut selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Diharapkan, tuntasnya PR itu akan makin menegaskan kinerja KIB II. Untuk itu, gandeng mesra antara pendekar moneter dan fiskal patut ditingkatkan. Kepentingan dan perlindungan nasabah dan investor harus menjadi prioritas utama dalam setiap pembentukan peraturan perundangundangan.(*)

Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/359945/
Share this article :

0 komentar: