BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mengurai Benang Kusut Perizinan Peneliti Asing

Mengurai Benang Kusut Perizinan Peneliti Asing

Written By gusdurian on Rabu, 27 Oktober 2010 | 14.22


Oleh Lukman Shalahuddin Kementerian Riset dan Teknologi

Kemajuan teknologi informasi dapat dioptimalkan untuk aplikasi peningkatan pelayanan perizinan ini, dengan cara pembentukan pusat data yang akurat dan terpadu, dan bisa diakses berbagai pihak yang berkepentingan."

P ELAYANAN publik di Indonesia masih jauh dari memuaskan. Mengurus kartu tanda penduduk, SIM, yang melibat kan publik secara luas saja belum memuaskan, meskipun di banyak daerah, kini lini pelayanan publik ditingkatkan.
Pasalnya baik-buruknya pelayanan publik erat kaitannya dengan pencitraan aparat negara di daerah tersebut.
Lalu bagaimana dengan pelayanan publik untuk perizinan peneliti asing?
Apakah sudah jauh lebih baik dibandingkan pelayanan publik lainnya?
Jujur saja jawabannya sebagian besar belum, walaupun kebijakan pemerintah sudah mengarah ke sana. Saat ini payung undang-undang yang menjamin tersedianya pelayanan publik sudah ada, yaitu UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Dalam UU tersebut negara memiliki tanggung jawab melayani kepentingan publik atau masyarakat luas, bukan sebaliknya dilayani.

Pemerintah sebagai provider pelayanan publik nyaris tanpa kompetitor sama sekali karena kewenangan (otoritas) yang diberikan kepadanya oleh undang-undang. Namun, bukan berarti bahwa ketidakpuasan masyarakat tidak berdampak atau berimplikasi pada penyedia jasa di sektor publik.
Justru sebaliknya, meskipun pelayanan publik merupakan sektor nirlaba dan praktis jarang mendapatkan tekanan pasar, ketidakpuasan masyarakat cenderung menimbulkan dampak negatif dalam berbagai bentuk terhadap pemerintah.

Perizinan merupakan salah satu aspek penting dalam pelayanan publik.
Tanpa perizinan, banyak yang tidak dapat kita lakukan karena izin adalah bukti penting secara hukum. Tidak ada bagian lain dalam domain publik tempat interaksi antara pemerintah dan masyarakatnya begitu jelas dan langsung selain pada bagian pelayanan perizinan. Sebagai garda terdepan atas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat, dapat dikatakan bahwa kinerja pemerintah secara keseluruhan dinilai dari seberapa baik pelayanan unit perizinan.
Birokrasi Harapan masyarakat terhadap proses perizinan sebenarnya tidak berbeda dengan harapan pemerintah, yakni sederhana, murah. Adanya kepastian waktu, pelayanan yang berkualitas, kepastian hasil, transparansi, dan sah secara hukum.

Proses perizinan yang sederhana mencakup tidak saja menghilangkan birokrasi yang panjang, tetapi juga menghindari prosedur dan persyaratan yang berlebihan. Serta memberikan informasi yang akurat kepada pemohon perizinan.

Lalu seperti apa perizinan peneliti asing di Indonesia? Kesannya selama ini perizinan peneliti asing sangat berbelit-belit. Pasalnya kehadiran peneliti asing di Indonesia menyangkut beberapa aspek seperti masalah ilmiah, yang berarti domain Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Di sisi lain ada perpindahan orang antarnegara, berarti domain keimigrasian.
Demikian juga keberadaan orang asing di daerah akan diawasi, yang notabene domainnya ada di Kementerian Dalam Negeri.

Ia juga mengandung unsur keamanan yang berarti domain kepolisian dan badan intelijen. Bisa dibayangkan prosedur peneliti asing di Indonesia saat ini cukup panjang dan terkesan berbelit-belit. Padahal masyarakat ilmiah internasioal sangat berminat terhadap penelitian di Indonesia.

Berdasarkan UU No 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan (Litbangtrap) Iptek di Indonesia, disebutkan bahwa dalam rangka kerja sama ilmiah internasional, Indonesia harus berperan aktif. Namun, peneliti atau lembaga asing yang melakukan kegiatan penelitian di Indonesia harus mendapat perizinan dari pemerintah Indonesia, yang diatur dalam PP No 41/2006. Data 2009, Kemenristek telah mengeluarkan sebanyak 461 SIP (surat izin penelitian) dan tahun ini hingga Agustus sudah mencapai 350 SIP. Itu merupakan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 100 sampai 300 SIP per tahunnya. Untuk mendapatkan SIP itu tidak cukup di satu lembaga saja. Jika masuk kawasan konservasi, harus ada izin dari kementerian terkait. Tentunya hal ini cukup menyita waktu dan biaya. Sering kali waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan dokumen-dokumen tersebut mencapai beberapa bulan. Untuk masa penelitian yang singkat, sangat tidak lucu jika masa tunggu proses administratif melebihi masa penelitian yang direncana kan. p Padahal semua persyaratan itu u memiliki dasar UU masing-masing.
Misalnya Kemendagri mempunyai dua s mekanisme, yaitu Koordinasi Penga s wasan Orang Asing (sipora) berdasar g kan UU No 34/1999, ditambah dengan m Tim Koordinasi Pemantauan Orang N Asing, berdasarkan SE No 472/3035/ SJ/2003. Ini menunjukkan pemantauan d dan pengawasan di daerah masih ber P sifat ego sektoral dan belum terpadu.

Di samping itu terdapat hal yang p krusial, yaitu menyangkut sampel t ataupun spesimen penelitian yang akan k dibawa ke luar wilayah NKRI. Jika hal a itu tidak diatur, niscaya terdapat ke n mungkinan bahwa sampel tersebut K disalahgunakan untuk pengembangan p di luar kendali pemerintah Indonesia. w Untuk itu, disyaratkan adanya suatu MTA (material transfer agreement) sebe d lum sampel tersebut dibawa keluar w Indonesia. Kementerian Kesehatan dan m Kementerian Pertanian serta LIPI sudah a memiliki peraturan untuk itu. Namun, h payung undang-undang secara na p sional belum ada. Kemenristek sedang t menggodok rancangan undang-un j dang tentang MTA ini. t d Reformasi perizinan t Untuk merevisi prosedur perizinan peneliti asing secara menyeluruh dan d terpadu, yang dapat dilakukan adalah a MoU antarkementerian, atau paling p tidak selevel pejabat eselon I. Misalnya d antara sesmenristek dan Dirjen Imi p grasi, tentang pengecualian prosedur perizinan di atas bagi penelitian yang K durasinya kurang dari tiga bulan, atau s minimal kurang dari satu bulan. Lebih p jauh lagi, Kemenristek, Kementerian a Luar Negeri, Kementerian Dalam Ne d geri, Kementerian Hukum dan HAM, d dan Polri kiranya dapat duduk bersama k dan sepakat agar perizinan untuk pe s neliti asing cukup sah. Cukup satu t pintu saja, tidak disamakan dengan p prosedur penanganan orang asing pada umumnya.

MoU antarlembaga dalam pelayanan sudah diterapkan pada sektor lain, misalnya antara Kemenbudpar dan Imigrasi tentang visa on arrival; antara Kementerian PAN dan pemda, yaitu UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Model semacam itu sudah diterapkan di Kabupaten Solok, Sragen, Jembrana, Pare-Pare, dan Purbalingga.

Memang dengan prosedur yang panjang seperti yang berlaku sekarang, terdapat beberapa kelebihan dalam hal keamanan, pemantauan, dan pendapatan negara. Seandainya perizinan peneliti dibuat satu pintu, misalnya di Kemenristek saja, barangkali bisa lebih praktis, sederhana, dan tidak memakan waktu, biaya, dan tenaga.

Peran koordinator harus diperkuat dan dipercaya. Kemenristek telah diberi wewenang dan tanggung jawab dalam memberikan izin penelitian asing, berarti cukuplah pihak lain memercayakan hal itu kepada Kemenristek. Pada pelaksanaan di lapangan, mitra peneliti merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap risiko-risiko yang ada, termasuk kemajuan dan sekiranya terdapat penyalahgunaan izin penelitian tersebut.

Kemajuan teknologi informasi dapat dioptimalkan untuk aplikasi peningkatan pelayanan perizinan ini, dengan cara pembentukan pusat data yang akurat dan terpadu, dan bisa diakses berbagai pihak yang berkepentingan.

Pelayanan perizinan peneliti asing di Kemenristek kiranya dapat dijadikan salah satu selling point dalam pelayanan pemerintah terhadap masyarakat ilmiah internasional. Hendaknya hal itu didukung secara nasional sehingga dapat menjadi nilai tambah peran dan kontribusi Indonesia di dunia internasional. Selain itu, perizinan yang praktis akan lebih menggairahkan kegiatan penelitian di Indonesia.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/10/27/ArticleHtmls/27_10_2010_021_025.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: