BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » PEMILIHAN KEPALA DAERAH

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Written By gusdurian on Sabtu, 09 Oktober 2010 | 11.54


Politik Uang, Sisi Gelap Demokrasi


Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2007 tidak hanya berlangsung tanpa gejolak, tetapi juga membuka sisi gelap demokrasi. Dari kisah tercecer pemilihan kepala daerah di Ibu Kota, Mayor Jenderal (Purn) Djasri Marin dan Mayor Jenderal (Purn) Slamet Kirbiantoro terang-terangan menagih uang mereka, yang telah diberikan kepada partai politik. Keduanya mengaku menjadi ”korban” politik.

Djasri mengaku menyetor Rp 50 juta saat mendaftar sebagai bakal calon. Setelah itu, ia dimintai uang oleh sejumlah pengurus partai untuk musyawarah kerja, rapat pimpinan, sosialisasi, dan alasan lain. Ia mengeluarkan Rp 3 miliar. Sebagian disertai tanda terima. Slamet juga mengaku memiliki bukti dari dana yang ditransfer kepada pengurus partai. Keduanya ditawari menjadi calon gubernur atau wakil gubernur (Kompas, 16/6/2007).

Keberanian Djasri dan Slamet membuka permainan parpol itu menjadi semacam konfirmasi bahwa selama ini memang ada ”jual beli” dalam pencalonan seseorang menjadi kepala daerah. Nilai ”perdagangan politik” itu tak murah, miliaran rupiah.

Kisah Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip tahun 2005, yang pada periode pertama dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, lalu berganti partai pengusung, diduga juga terkait mahalnya biaya untuk partai itu. Meski tak pernah terbuka diakui, ketika mencalonkan kembali, Sukawi diusung Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Saat mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Tengah tahun 2009, Sukawi diusung Partai Demokrat.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki pun pernah disebut-sebut sebagai calon gubernur Banten tahun 2007. Namun, akhirnya ia tidak pernah maju sebagai calon. ”Enggak punya uang,” katanya saat itu.

Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, Senin (4/10) di Jakarta, mengakui, untuk menjadi calon kepala daerah, ada bantuan dari partai. ”Tetapi tak banyak karena saya diusung satu partai saja,” katanya. Apalagi ia adalah petahana. PDI-P mendukung sepenuhnya.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menuturkan, ada perbedaan menjadi calon kepala daerah pada masa lalu dan sejak masa reformasi tahun 1998. Ia tak mengeluarkan sepeser uang pun saat menjadi Bupati Solok, Sumatera Barat, periode 1995-2000. Ia dipilih anggota DPRD dan lancar karena disetujui tiga jalur, yakni ABRI, birokrasi, dan Golongan Karya.

Namun, situasi berubah. Saat mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Barat tahun 2005, ia menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 miliar. Jumlah ini relatif kecil untuk pencalonan gubernur.

”Dana Rp 3,5 miliar itu hasil sumbangan banyak orang. Ada yang membawa stiker ke posko. Posko pun hanya saya sewa selama tiga bulan,” kata Gamawan, peraih Bung Hatta Anticorruption Award tahun 2004.

Ia mengakui, ada calon gubernur yang harus menyediakan uang Rp 50 miliar untuk membiayai pencalonannya. Sumber dana bisa macam-macam, termasuk ”investasi” pengusaha.

Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, juga mengakui sempat gamang saat ada beberapa pengusaha di daerah asalnya menawarinya siap menjadi sponsor untuk pencalonan dirinya sebagai bupati. Namun, tawaran itu tak gratis. Mereka meminta proyek di daerah itu harus diserahkan kepada promotor. Hadi menolak. Ia juga kalah pada Pilkada Banjarnegara tahun 2006.

”Pilkada masih menjadi ajang percaloan. Bahkan, sepertinya lebih parah lagi sekarang,” kata Hadi, yang menuliskan pengalamannya itu dalam buku berjudul Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan. ”Pilkada butuh banyak uang. Bagi yang tengah menjabat (petahana), dalam dua tahun terakhir pasti jorjoran cari uang dari proyek. Bagi yang tak menjabat, pasti cari dana dari sponsor. Padahal, tiada makan siang gratis,” katanya.

Teras Narang mengakui, tidak jarang kepala daerah yang masih menjabat, saat mencalonkan diri lagi, memainkan APBD untuk meningkatkan keterpilihannya. Dana bantuan sosiallah yang bisa dimainkan. ”Sebab itu, setahun sebelum pilkada, saya tidak mengeluarkan dana bantuan sosial. Pemberian bantuan, dengan dana bantuan sosial, menjelang pilkada, dapat saja dianggap politik uang,” katanya. Tak sedikit kepala daerah yang terjerat kasus korupsi terkait APBD.

Beban biaya

Selain bantuan dana dan barang dari pendukung, tak jarang calon kepala daerah terpaksa berutang atau menjual harta bendanya untuk membiayai pencalonan dan kampanye. Jika menang dan terpilih, ia bisa mengembalikan pinjaman itu. Namun, jika gagal, ia bisa berhadapan dengan masalah hukum.

Kisah pengusaha Sutoto Agus Pratomo, yang Juni 2010 ditemukan tewas gantung diri di kantornya, bisa menjadi bahan renungan. Istri Sutoto, Dasih Ardiyantari, adalah calon wakil wali kota Semarang pada Pilkada 2010. Dasih kalah. Kematian Sutoto diduga terkait beban biaya politik yang harus ditanggungnya setelah istrinya gagal.

Juni 2010, Memet Rochamad juga ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di Jaka Sampurna, Bekasi, Jawa Barat. Memet adalah calon bupati Bekasi pada pilkada tahun 2007, tetapi gagal. Kematiannya juga diduga terkait dengan depresi atas kekalahannya dan penyakit stroke yang dideritanya.

Sebaliknya, Yuli Nursanto tahun 2008 tak sampai melakukan tindakan fatal. Namun, calon bupati Ponorogo, Jawa Timur, itu pernah lari dari Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Harjono, Ponorogo, hanya dengan memakai celana dalam. Ia juga pernah tiduran di trotoar sehingga menjadi tontonan warga. Namun, ia akhirnya dinyatakan sehat sehingga bisa diadili di Pengadilan Negeri Ponorogo atas dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp 2,9 miliar. Bisa jadi, uang itu adalah biaya pencalonannya. (aik/ato/tra)

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/08/03450411/politik.uang.sisi.gelap.demokrasi
Share this article :

0 komentar: