Ada tiga hal yang akhir-akhir ini terasa sangat mahal dan mewah. Hal
pertama adalah harga barang dan jasa. Kebutuhan hidup semakin melangit
di tengah krisis ekonomi yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir.
Di tengah ekonomi dunia yang terpuruk,ekonomi Indonesia masih tumbuh
relatif tinggi.Pemerintah bahkan berani menargetkan pertumbuhan
ekonomi di atas 6%. Berdasarkan Sensus penduduk 2010, jumlah
pengangguran menurun dari 9,43% (2008) menjadi 9,26% (2009), 8,59%
(2010). Jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dari 32,53 juta
(2009) menjadi 31,03 juta (2010). Realitas ini adalah sebuah
pencapaian yang patut disyukuri dan diapresiasi.
Walau demikian, beberapa pihak mencatat pencapaian tersebut masih
menyisakan beberapa pertanyaan. Pertumbuhan ekonomi ternyata tidak
memiliki akar yang kuat pada dua sektor padat karya: pertanian dan
industri.Kehidupan petani dan nelayan belum beringsut jauh dari ambang
garis kemiskinan. Harga pupuk yang masih membumbung, lahan yang kian
sempit dan anomali cuaca membuat masa depan mereka tidak menentu.
Dengan sistem ekonomi terbuka yang lebih kapitalistik dari negara-
negara ”nenek moyang” kapitalis, rakyat jelata semakin terhimpit di
tengah proses pemiskinan yang sistematis. Kehidupan yang serba
hedonistik dan konsumtif terus memperlebar kesenjangan antara
mayoritas orang miskin dengan beberapa gelintir orang kaya.Angka
kematian bayi dan ibu saat persalinan juga masih tinggi.
Kemelaratan adalah pemandangan kehidupan yang semakin kasatmata.
Risiko sosial yang ditimbulkan oleh problematika sosial ini secara
teoretis dan empiris sudah sangat jelas. Jumlah orang bunuh diri
karena tekanan ekonomi kian bertambah. Demikian pula pengidap gangguan
jiwa.Walau demikian, respons para pemimpin di negeri ini terlihat
biasa-biasa saja.
Mahalnya Rasa Aman
Hal kedua yang semakin mahal adalah rasa aman.Di balik religiusitas
dan religiosasi masyarakat terpendam ketakutan massa.Ada gejala di
mana keberagamaan dan puber spiritual hanyalah eskapisme dari
kehidupan yang kian terancam. Tiga ancaman setiap saat bisa merampas
kehidupan dan rasa aman siapa saja.Pertama, kriminalitas yang semakin
sadistis dan brutal.Kekerasan menjadi pemandangan keseharian yang
menakutkan. Berbagai tindak kejahatan menghantui siapa saja, di mana
saja.
Perang antargeng, tawuran antarkampung, dan bentrokan antarsuku bukan
lagi khayal tontonan dunia maya, tetapi bagian dari dunia nyata.
Budaya amuk tumbuh subur di tubuh masyarakat yang mengidap frustrasi
sosial. Kita tentu saja patut mengapresiasi kerja keras polisi untuk
menangkap para penjahat dan memburu para teroris. Tetapi,dari hari ke
hari angka kriminalitas tidak kunjung berkurang.
Ada gejala di mana aparat keamanan seakan tidak berdaya dan tidak
berwibawa di hadapan para mafia kejahatan. Beberapa kali Presiden SBY
nguda rasa,menyampaikan kepada khalayak bahwa ada sekelompok orang
yang berniat jahat membunuhnya. Selain pesan politik,pernyataan
Presiden tersebut mengandung pesan betapa susahnya hidup aman. Ancaman
keamanan yang kedua adalah bencana alam.
Di balik kesuburan, kekayaan, dan kemolekannya, alam Nusantara
menyimpan potensi musibah yang bisa merenggut puluhan, ratusan, bahkan
ribuan nyawa seketika. Masyarakat mengalami trauma dan ketakutan
terhadap bencana alam, terutama sejak tsunami di Aceh yang menghempas
di ”boxing days” 2004, Yogyakarta, Padang, Jawa Barat, dan kawasan-
kawasan lainnya. Demikian halnya dengan gunung berapi.Dua bencana alam
tersebut adalah ”kehendak” Yang Maha Kuasa.
Tetapi,jika bangsa ini memiliki kesiapan rasional dan ikhtiar ilmiah
seperti mitigasi bencana dan kecanggihan teknologi early warning
system sangat mungkin lebih banyak kehidupan yang bisa terselamatkan.
Masyarakat juga terancam oleh tanah longsor dan banjir
bandang.Penyebab utama kedua bencana ini adalah perilaku manusia (man-
made disasters) yang tamak, ceroboh, dan masa bodoh terhadap alam.
Ancaman keamanan yang ketiga adalah kecelakaan lalu lintas.
Budaya tertib, teliti, dan tenggang rasa seakan menghilang dari denyut
nadi kehidupan bangsa.Tingginya kecelakaan di darat,laut,dan udara
adalah cermin budaya ugalugalan, teledor, dan tidak bertanggung
jawab.Keadaban publik begitu rendah mendekati titik nadir. Banyak
acara wisata berubah petaka.”
Ritual”pascakecelakaan selalu sama: sesama bangsa mulai saling
menuding, menyalahkan, dan mencari kambing hitam. Dan, terjadilah
”seleksi alam”: siapa lemah dia kalah, siapa kuat dia selamat. Sudah
pasti, dalam kasus kecelakaan kereta di Pemalang, masinis akan menjadi
pesakitan. Padahal, kealpaan masinis yang berujung tragedi kecelakaan
adalah produk dari sistem ”kerja rodi” ala kompeni.
Mencari Keadilan
Hal ketiga yang semakin mahal adalah keadilan. ”Yang benar dipenjara,
yang salah tertawa”. Barangkali lirik lagu Rhoma Irama, Narapidana,
tepat menggambarkan peradilan di negeri ini. Secara harfiah,hakim
bermakna penegak hukum,orang yang bijaksana atau pengadil. Di tengah
kegetiran hidup, hakim mengalami makna peyoratif. Di tengah mafia
peradilan yang merajalela, Hakim adalah akronim: Hubungi Aku Kalau
Ingin Menang.
Hukum kapitalisme tidak hanya berlaku di lantai bursa efek, tetapi
juga di lantai pengadilan. Adagium: ”maju tak gentar membela yang
bayar”seakan telah menjadi hukum ”pasar” yang dikuasai para markus
(makelar kasus).Perlahan- lahan kekerasan menjadi pilihan dan jalan
hidup untuk memuaskan ketamakan ekonomi, politik, kekuasaan, dan
keagamaan. Ringkihnya penegakan hukum dan keadilan yang mati suri
mendorong sebagian masyarakat main hakim sendiri.
Epidemi Narsisme
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendramatisasi keadaan. Bukan pula
menghakimi dan merendahkan mereka yang telah bekerja keras siang malam,
24 jam sepekan. Tulisan ini hanya berusaha menggugah dan menghidupkan
kesadaran berjamaah kita sebagai bangsa bahwa konstruksi
sosialkebudayaan kebangsaan Indonesia mengalami malaise. Jika kondisi
seperti sekarang ini berlarut- larut, bangsa dan negara Indonesia bisa
roboh (breaking down).
Berbagai problematika kebangsaan sebagaimana dipaparkan dalam tulisan
ini sudah sangat mengemuka dan luar biasa (extra-ordinary). Tetapi,
sikap dan penanganan pemerintah terasa sangat biasa-biasa saja, bahkan
cenderung lambat.Mahfud MD,ketua Mahkamah Konstitusi, menilai
pemerintah seakan tidak hadir. Penegakan hukum yang diharapkan menjadi
penyelesai masalah, justru memunculkan ketidakadilan (Kompas, 4/10).
Tugas pemerintah, sesuai amanat Konstitusi adalah melindungi segenap
bangsa. Artinya, pemerintah berkewajiban menciptakan kehidupan yang
aman,damai dan sejahtera. Dalam situasi seperti sekarang ini,
pemerintah seharusnya lebih tegas dan trengginas.Para pejabat negara
adalah barisan eksekutif, aktor utama yang memimpin dan menjalankan
pemerintahan. Mereka bukan guru yang tugasnya mengajar, atau akademisi
yang sibuk meneliti, berteori dan berwacana.
Pemerintah bukanlah ustad yang tugasnya memberikan tausiah.Tugas
pemerintah adalah untuk bekerja dan berkarya nyata. Beberapa saat
setelah kekerasan Monas (Juni,2009) Presiden SBY menegaskan: negara
tidak boleh kalah.Tetapi, kekerasan yang kurang lebih sama dengan
Monas berulang kali terjadi.Kepercayaan dan harapan masyarakat kepada
pemerintah sesungguhnya masih relatif tinggi.
Walau demikian, jika tidak cepat terselesaikan,masalahmasalah sosial
akan menjadi timbunan penyakit sosial yang merusak kesehatan dan
ketahanan bangsa. Cendekiawan Syafii Maarif mengingatkan: negara tidak
boleh gagal. Tetapi, negara tidak boleh keliru dan lambat
menyelesaikan masalah.Persoalan mafia peradilan tidak cukup
diselesaikan dengan membentuk satgas atau pernyataan verbal semata
(Republika, 5/10).Kehidupan kebangsaan kita seakan penuh sesak oleh
retorika, bukan hiruk-pikuk pekerja keras. Dalam sidang Tanwir di
Lampung (2009),
Muhammadiyah dengan tegas menyampaikan urgensi kepemimpinan publik
yang transformatif dan hadir. Mereka yang bisa memimpin negeri ini
dengan kearifan, kecerdasan, keberanian dan keteladanan. Sayangnya
banyak pemimpin di negeri ini yang mengidap gejala
narsisme.Sebagaimana ditengarai Jean M.Twenge dan W.Keith Campbell
(2010) masyarakat dunia sedang mengalami ”Narcissism Epidemic”. Mereka
ingin sekali tampil di muka publik laksana selebriti,sibuk berjam-jam
mengisi talk-show di televisi.
Alihalih membuat langkah-langkah kerja konkret, banyak departemen yang
menghabiskan dana bermiliar rupiah untuk beriklan yang memuat
keberhasilan programnya. Hampir semua memiliki akun Facebook, Twitter,
dan komunitas gaul di dunia maya lainnya sebagai upaya personal
entertainment. Era ABS (Asal Bapak Senang) mungkin saja sudah selesai.
Feodalisme sudah tamat.Tetapi, reinkarnasi ABS dalam bentuk narsisme
dan neo-feodalisme mulai jelas teramati.
Kegemaran mengagumi diri sendiri tumbuh menjadi penyakit yang akut
sehingga mereka kehilangan sensitivitas sosial. Penyakit sosial ABG
(Asal Bukan Gue) tidak hanya menghinggapi kalangan remaja, tetapi juga
sebagian pemimpin bangsa.Mereka cuek-bebek dan cenderung membiarkan
masalah tanpa masalah. Sekali lagi, pemerintah perlu lebih percaya
diri dan tegas memimpin penyelenggaraan negara.
Sebelum mewabah lebih luas, epidemi narsisme harus dicegah. Sekarang
waktunya kita hidupkan kembali slogan: sedikit bicara banyak bekerja,
bukan sebaliknya. Walaupun letih, rakyat siap bekerja dan bekerja sama
dengan pemerintah menuju negeri impian: adil dan makmur dalam rida
Tuhan Yang Maha Esa.(*)
Abdul Mu’ti
Sekretaris PP
Muhammadiyah
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/355606/
Membiarkan Masalah Tanpa Masalah
Written By gusdurian on Sabtu, 09 Oktober 2010 | 12.06
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar