Artinya, UU Kejaksaan pun menjadi wajar kalau tidak sempurna, ada cacatnya.Cacat tersebut kini tampak jelas, terlihat oleh publik, yaitu tidak mengatur dengan jelas dan tegas perihal masa jabatan dan keabsahan jabatan jaksa agung. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu, 22 September 2010, mengeluarkan putusan No 49/PUUVIII/ 2010 yang membenarkan sebagian permohonan Yusril Ihza Mahendra tentang uji tafsir Pasal 16 dan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dihadapkan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Oleh Ketua MK Mahfud MD dikatakan bahwa jabatan jaksa agung itu dibatasi.Salah satu pilihannya disesuaikan dengan jabatan kabinet. Dengan putusan itu mestinya kedudukan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung sudah berhenti bersamaan dengan berakhirnya masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid I pada 20 Oktober 2009. Berhubung sejak saat itu tidak ada Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengangkatan Jakgung,maka kedudukan Hendarman Supandji sebagaijaksaagung “mengambang”, dan dipersoalkan.
Namun,sejak putusan MK diketok pada Rabu 22 September 2010 jam 14.35 WIB, maka sejak saat itu Hendarman Supandji bukan lagi jaksa agung . Tulisan ini mencoba melihat peristiwa hukum itu dari sudut pandang ilmu hukum, khususnya tentang penafsiran hukum. Hal demikian menjadi penting karena sesungguhnya pola perilaku dan pelaksanaan hukum sampai dengan penegakannya sangat dipengaruhi oleh kapasitas keilmuan dari manusia di belakangnya dalam menafsirkan hukum.
Konvensional
Sejak sistem peradilan di negeri ini dibawa ke dalam dunia modern yang senantiasa menghendaki hukum tertulis (written law), maka institusi kejaksaan sebagai bagian dari sistem harus memiliki UU Kejaksaan. Upaya mewujudkannya dilakukan melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam UU No 10 Tahun 2004.Pada sisi proses, selama ini tidak ada permasalahan. Akan tetapi dilihat pada sisi produk, ternyata ada permasalahan, yakni ketidakjelasan tentang masa jabatan jaksa agung.
Tidak perlu saling menyalahkan atau lempar tanggung jawab atas produk hukum yang cacat tersebut. Bukankah sudah jelas bahwa UU merupakan produk hukum hasil karya bersama antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat? Jadi pada dua lembaga pemerintahan itulah terletak kesalahan dan mereka yang mestinya bertanggung jawab secara konstitusional atas cacatnya UU Kejaksaan tersebut.
Kecacatan UU No 16/2004 tentang Kejaksaan merupakan bukti bahwa memang UU tersebut dibuat bukan oleh para ahlinya. Boleh jadi mereka miskin ilmu tentang perundang- undangan dan miskin hati nurani.Target waktu, kurang rasa tanggung jawab, dan berbagai bentuk transaksi politis maupun materi sering mewarnai perilaku para legislator. Jadilah UU Kejaksaan yang jauh dari kualitas ideal.
Benarlah sebuah ungkapan bahwa “rusaklah suatu urusan apabila diurus oleh bukan ahlinya”. Barangkali kecacatan UU Kejaksaan tidak perlu berlanjut dan menjadi heboh apabila kekurangan yang melekat pada pasal tentang masa jabatan jaksa agung direspons dengan tafsir hukum progresif. Kita sadar bahwa pembacaan pasal-pasal tidak cukup hanya tekstual saja, melainkan perlu dilakukan dengan membaca keseluruhan unsur-unsurnya.Dalam teori organisme, UU dipadankan sebagai organ manusia.
Di dalamnya ada jiwa dan di luarnya ada raga. Jiwa dan raga merupakan satu kesatuan utuh.Apabila di antara keduanya terpisahkan, matilah manusia. Identik dengan itu, UU Kejaksaan pun harus dibaca secara utuh,baik jiwa maupun raganya. Penafsiran hukum merupakan aktivitas yang mutlak dilakukan oleh para pelaksana dan penegak hukum agar pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya sampai pada sasarannya.
Pada UU Kejaksaan, pesan moral hukum yang perlu dikedepankan selain adanya kepastian hukum mengenai masa jabatan dan keabsahan jabatan jaksa agung, juga peran untuk aktif dalam pemberantasan korupsi. Oleh karenanya, walaupun tidak ada teks tertulis yang tegas mengamanatkan hal itu, tetap saja ada kewajiban (moral) hukum bagi Presiden untuk mengatasi kekurangan Pasal 16 dan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dengan membuat keppres pengangkatan jaksa agung.
Apabila hal demikian dilakukan, Presiden dan keppres diberlakukan bersamaan dengan pelantikan Kabinet Bersatu jilid II,saya kira keabsahan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung tidak dipersoalkan oleh siapa pun.Sayang, hal demikian tidak dilakukan. Sayang pula justru ada pembelaan untuk melegalkan jabatan jaksa agung dengan berpolemik di media antara Staf Khusus Presiden Bidang Hukum berhadapan dengan Mantan Menteri Kehakiman dan HAM yang keduanya menempatkan diri sebagai pakar hukum tata negara.
Apabila polemik di antara kedua pakar tersebut dicermati,nyata betul bahwa mereka berkutat pada tafsir hukum konvensional, yaitu tafsir hukum yang mengakar pada tradisi civil law,bahwa hukum positif (tertulis), sekalian penalaran hukum, senantiasa dikembalikan kepada a finite-closed scheme of permissible justification yang tidak lain UU Kejaksaan yang dihadapkan dengan UUD 1945. Model tafsir hukum demikian pada hemat saya sudah amat ketinggalan zaman.
Mengapa? Karena konstelasi politik, hukum, dan kehidupan pada umumnya telah berubah dengan cepat serta berpengaruh cukup signifikan dalam menjalankan hukum (pemberantasan korupsi) sehingga hal demikian tidak mungkin bisa dikategorikan sebagai schemeyang finite-closed lagi. Yusril Ihza Mahendra sebenarnya tidak akan mempersoalkan model tafsir hukum dan dari lembaga kepresidenan, Kejaksaan Agung atau siapa pun asalnya apabila dirinya tidak dijerat masalah sistem administrasi badan hukum pada kementerian yang pernah dipimpinnya.
Dikatakan,“…adalah hak konstitusional saya untuk menolak penetapan itu serta semua tindakan yang merupakan turunannya”(SINDO,21 Juli 2010). Ternyata, kepentingan pribadi seorang Yusril tersebut pada gilirannya membawa berkah,yaitu melahirkan putusan MK yang berimplikasi luas, baik pada dimensi hukum, politik maupun pemerintahan. Mengapa bisa demikian?
Progresif
MK dengan tafsir hukum progresif memutuskan Hendarman Supandji bukan lagi jaksa agung sejak keluarnya putusan MK. Sebelum momen itu kedudukannya tetap sah (legal). Putusan MK tidak berlaku surut. Mengapa ? Pada hemat saya,ini persoalan normatif terkait dengan UU MK,tetapi bukan hal substantif. Legalitas Jaksa Agung dipersoalkan oleh Yusril Ihza Mahendra dengan mengangkat ranah logika hukum linier,bahwa jabatan jaksa agung wajib ada masa berlakunya dan keabsahannya wajib dengan Keppres.
Permainan bahasa (language game) yang dilancarkan sebagai serangan balik bahwa keharusan seperti itu tidak ada secara tekstual dalam UU Kejaksaan, dimentahkan oleh Yusril Ihza Mahendra dengan logika linier tersebut. Logika linier ini diterima oleh MK. Namun,pada sisi lain MK pun membenarkan language game dan sikap “diam” Presiden, tanpa mengangkat dan melantik jaksa agung sebagai bagian Kabinet Bersatu jilid II.
Tampaknya MK memahami betul bahwa kapasitas keilmuan (ilmu hukum) Yusril Ihza Mahendra dan Denny Indrayana amat menentukan konklusi pembacaan (tafsir) atas pasal-pasal UU Kejaksaan maupun UUD 1945 yang dipersoalkan tersebut. Oleh karenanya kedua pihak tidak bisa dipersalahkan. Di situlah putusan MK berada pada sebuah pengakuan bahwa kedua belah pihak berada pada kebenaran dalam sudut pandang masing-masing.
Jadi, tidak benar bahwa putusan MK tersebut sekadar untuk tidak mempermalukan di antara mereka, melainkan ada argumentasi ilmiahnya. Saya sangat setuju bahwa dalam kasus ini MK bertendensi memberikan pendidikan hukum bagi segenap komponen bangsa agar aktivitas penafsiran hukum bukan semata-mata pembacaan peraturan dengan logika linier dan bukan pula soal language game, melainkan juga harus membaca realitas kehidupan bangsa yang sedang mengalami krisis hukum, politik, ekonomi, kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.
Penafsiran hukum wajib dilakukan dengan visi ke depan dalam rangka membebaskan bangsa dan negara dari krisis multidimensional yang korup tersebut.Di situlah kita bersama-sama MK perlu percaya diri untuk melakukan inovasi, kreativitas, dan progresivitas penafsiran hukum sebagaimana dikenal dengan sebutan penafsiran hukum progresif. Penafsiran hukum progresif demikian sungguh merupakan keniscayaan bagi bangsa yang ingin maju mengejar keadilan substansial dan tidak berkutat pada kepastian hukum saja.
Ini bukan tradisi baru, apalagi mengada-ada. Kita bisa menengok bahwa di Belanda tradisi ini telah ada sejak tahun 1916 ketika Hoge Raad Belanda membuat putusan revolusioner tentang onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum).Walaupun tidak ada teksnya, dalam putusan itu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan dimasukkan sebagai melawan hukum. Bukankah hal demikian merupakan tafsir hukum kreatif,inovatif,dan progresif? Tidak hanya itu.
Aliran realisme hukum di Amerika yang berkembang pada abad ke-19 dan didukung oleh Ajaran Hukum Bebas (Freirechtslehre) dari Eropa kontinental telah memberi jalan baru bagi berkembangnya penafsiran hukum progresif di negara tersebut.Maka, kita pun perlu secara berani dan bijak belajar cara-cara berhukum kepada bangsa-bangsa yang telah maju itu.
Mari kita terima, patuhi, dan laksanakan putusan MK tersebut secara konsisten. Mudah-mudahan putusan MK tentang keabsahan Jaksa Agung ini dapat dimaknai sebagai aktivitas mengurai kusutnya (UU) kejaksaan sekaligus sebagai momentum kebangkitan bangsa dalam berhukum dengan menerapkan konsep dan penafsiran hukum progresif. Wallahu a’lam.(*)
Prof Dr Sudjito, SH, MSi
Ketua Program Doktor
Ilmu Hukum
Fakultas Hukum UGM
http://www.seputar-indonesia.Oleh Ketua MK Mahfud MD dikatakan bahwa jabatan jaksa agung itu dibatasi.Salah satu pilihannya disesuaikan dengan jabatan kabinet. Dengan putusan itu mestinya kedudukan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung sudah berhenti bersamaan dengan berakhirnya masa Kabinet Indonesia Bersatu jilid I pada 20 Oktober 2009. Berhubung sejak saat itu tidak ada Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengangkatan Jakgung,maka kedudukan Hendarman Supandji sebagaijaksaagung “mengambang”, dan dipersoalkan.
Namun,sejak putusan MK diketok pada Rabu 22 September 2010 jam 14.35 WIB, maka sejak saat itu Hendarman Supandji bukan lagi jaksa agung . Tulisan ini mencoba melihat peristiwa hukum itu dari sudut pandang ilmu hukum, khususnya tentang penafsiran hukum. Hal demikian menjadi penting karena sesungguhnya pola perilaku dan pelaksanaan hukum sampai dengan penegakannya sangat dipengaruhi oleh kapasitas keilmuan dari manusia di belakangnya dalam menafsirkan hukum.
Konvensional
Sejak sistem peradilan di negeri ini dibawa ke dalam dunia modern yang senantiasa menghendaki hukum tertulis (written law), maka institusi kejaksaan sebagai bagian dari sistem harus memiliki UU Kejaksaan. Upaya mewujudkannya dilakukan melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam UU No 10 Tahun 2004.Pada sisi proses, selama ini tidak ada permasalahan. Akan tetapi dilihat pada sisi produk, ternyata ada permasalahan, yakni ketidakjelasan tentang masa jabatan jaksa agung.
Tidak perlu saling menyalahkan atau lempar tanggung jawab atas produk hukum yang cacat tersebut. Bukankah sudah jelas bahwa UU merupakan produk hukum hasil karya bersama antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat? Jadi pada dua lembaga pemerintahan itulah terletak kesalahan dan mereka yang mestinya bertanggung jawab secara konstitusional atas cacatnya UU Kejaksaan tersebut.
Kecacatan UU No 16/2004 tentang Kejaksaan merupakan bukti bahwa memang UU tersebut dibuat bukan oleh para ahlinya. Boleh jadi mereka miskin ilmu tentang perundang- undangan dan miskin hati nurani.Target waktu, kurang rasa tanggung jawab, dan berbagai bentuk transaksi politis maupun materi sering mewarnai perilaku para legislator. Jadilah UU Kejaksaan yang jauh dari kualitas ideal.
Benarlah sebuah ungkapan bahwa “rusaklah suatu urusan apabila diurus oleh bukan ahlinya”. Barangkali kecacatan UU Kejaksaan tidak perlu berlanjut dan menjadi heboh apabila kekurangan yang melekat pada pasal tentang masa jabatan jaksa agung direspons dengan tafsir hukum progresif. Kita sadar bahwa pembacaan pasal-pasal tidak cukup hanya tekstual saja, melainkan perlu dilakukan dengan membaca keseluruhan unsur-unsurnya.Dalam teori organisme, UU dipadankan sebagai organ manusia.
Di dalamnya ada jiwa dan di luarnya ada raga. Jiwa dan raga merupakan satu kesatuan utuh.Apabila di antara keduanya terpisahkan, matilah manusia. Identik dengan itu, UU Kejaksaan pun harus dibaca secara utuh,baik jiwa maupun raganya. Penafsiran hukum merupakan aktivitas yang mutlak dilakukan oleh para pelaksana dan penegak hukum agar pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya sampai pada sasarannya.
Pada UU Kejaksaan, pesan moral hukum yang perlu dikedepankan selain adanya kepastian hukum mengenai masa jabatan dan keabsahan jabatan jaksa agung, juga peran untuk aktif dalam pemberantasan korupsi. Oleh karenanya, walaupun tidak ada teks tertulis yang tegas mengamanatkan hal itu, tetap saja ada kewajiban (moral) hukum bagi Presiden untuk mengatasi kekurangan Pasal 16 dan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan dengan membuat keppres pengangkatan jaksa agung.
Apabila hal demikian dilakukan, Presiden dan keppres diberlakukan bersamaan dengan pelantikan Kabinet Bersatu jilid II,saya kira keabsahan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung tidak dipersoalkan oleh siapa pun.Sayang, hal demikian tidak dilakukan. Sayang pula justru ada pembelaan untuk melegalkan jabatan jaksa agung dengan berpolemik di media antara Staf Khusus Presiden Bidang Hukum berhadapan dengan Mantan Menteri Kehakiman dan HAM yang keduanya menempatkan diri sebagai pakar hukum tata negara.
Apabila polemik di antara kedua pakar tersebut dicermati,nyata betul bahwa mereka berkutat pada tafsir hukum konvensional, yaitu tafsir hukum yang mengakar pada tradisi civil law,bahwa hukum positif (tertulis), sekalian penalaran hukum, senantiasa dikembalikan kepada a finite-closed scheme of permissible justification yang tidak lain UU Kejaksaan yang dihadapkan dengan UUD 1945. Model tafsir hukum demikian pada hemat saya sudah amat ketinggalan zaman.
Mengapa? Karena konstelasi politik, hukum, dan kehidupan pada umumnya telah berubah dengan cepat serta berpengaruh cukup signifikan dalam menjalankan hukum (pemberantasan korupsi) sehingga hal demikian tidak mungkin bisa dikategorikan sebagai schemeyang finite-closed lagi. Yusril Ihza Mahendra sebenarnya tidak akan mempersoalkan model tafsir hukum dan dari lembaga kepresidenan, Kejaksaan Agung atau siapa pun asalnya apabila dirinya tidak dijerat masalah sistem administrasi badan hukum pada kementerian yang pernah dipimpinnya.
Dikatakan,“…adalah hak konstitusional saya untuk menolak penetapan itu serta semua tindakan yang merupakan turunannya”(SINDO,21 Juli 2010). Ternyata, kepentingan pribadi seorang Yusril tersebut pada gilirannya membawa berkah,yaitu melahirkan putusan MK yang berimplikasi luas, baik pada dimensi hukum, politik maupun pemerintahan. Mengapa bisa demikian?
Progresif
MK dengan tafsir hukum progresif memutuskan Hendarman Supandji bukan lagi jaksa agung sejak keluarnya putusan MK. Sebelum momen itu kedudukannya tetap sah (legal). Putusan MK tidak berlaku surut. Mengapa ? Pada hemat saya,ini persoalan normatif terkait dengan UU MK,tetapi bukan hal substantif. Legalitas Jaksa Agung dipersoalkan oleh Yusril Ihza Mahendra dengan mengangkat ranah logika hukum linier,bahwa jabatan jaksa agung wajib ada masa berlakunya dan keabsahannya wajib dengan Keppres.
Permainan bahasa (language game) yang dilancarkan sebagai serangan balik bahwa keharusan seperti itu tidak ada secara tekstual dalam UU Kejaksaan, dimentahkan oleh Yusril Ihza Mahendra dengan logika linier tersebut. Logika linier ini diterima oleh MK. Namun,pada sisi lain MK pun membenarkan language game dan sikap “diam” Presiden, tanpa mengangkat dan melantik jaksa agung sebagai bagian Kabinet Bersatu jilid II.
Tampaknya MK memahami betul bahwa kapasitas keilmuan (ilmu hukum) Yusril Ihza Mahendra dan Denny Indrayana amat menentukan konklusi pembacaan (tafsir) atas pasal-pasal UU Kejaksaan maupun UUD 1945 yang dipersoalkan tersebut. Oleh karenanya kedua pihak tidak bisa dipersalahkan. Di situlah putusan MK berada pada sebuah pengakuan bahwa kedua belah pihak berada pada kebenaran dalam sudut pandang masing-masing.
Jadi, tidak benar bahwa putusan MK tersebut sekadar untuk tidak mempermalukan di antara mereka, melainkan ada argumentasi ilmiahnya. Saya sangat setuju bahwa dalam kasus ini MK bertendensi memberikan pendidikan hukum bagi segenap komponen bangsa agar aktivitas penafsiran hukum bukan semata-mata pembacaan peraturan dengan logika linier dan bukan pula soal language game, melainkan juga harus membaca realitas kehidupan bangsa yang sedang mengalami krisis hukum, politik, ekonomi, kemiskinan, ketidakadilan, dan keterbelakangan.
Penafsiran hukum wajib dilakukan dengan visi ke depan dalam rangka membebaskan bangsa dan negara dari krisis multidimensional yang korup tersebut.Di situlah kita bersama-sama MK perlu percaya diri untuk melakukan inovasi, kreativitas, dan progresivitas penafsiran hukum sebagaimana dikenal dengan sebutan penafsiran hukum progresif. Penafsiran hukum progresif demikian sungguh merupakan keniscayaan bagi bangsa yang ingin maju mengejar keadilan substansial dan tidak berkutat pada kepastian hukum saja.
Ini bukan tradisi baru, apalagi mengada-ada. Kita bisa menengok bahwa di Belanda tradisi ini telah ada sejak tahun 1916 ketika Hoge Raad Belanda membuat putusan revolusioner tentang onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum).Walaupun tidak ada teksnya, dalam putusan itu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan dimasukkan sebagai melawan hukum. Bukankah hal demikian merupakan tafsir hukum kreatif,inovatif,dan progresif? Tidak hanya itu.
Aliran realisme hukum di Amerika yang berkembang pada abad ke-19 dan didukung oleh Ajaran Hukum Bebas (Freirechtslehre) dari Eropa kontinental telah memberi jalan baru bagi berkembangnya penafsiran hukum progresif di negara tersebut.Maka, kita pun perlu secara berani dan bijak belajar cara-cara berhukum kepada bangsa-bangsa yang telah maju itu.
Mari kita terima, patuhi, dan laksanakan putusan MK tersebut secara konsisten. Mudah-mudahan putusan MK tentang keabsahan Jaksa Agung ini dapat dimaknai sebagai aktivitas mengurai kusutnya (UU) kejaksaan sekaligus sebagai momentum kebangkitan bangsa dalam berhukum dengan menerapkan konsep dan penafsiran hukum progresif. Wallahu a’lam.(*)
Prof Dr Sudjito, SH, MSi
Ketua Program Doktor
Ilmu Hukum
Fakultas Hukum UGM
0 komentar:
Posting Komentar