Meskipun skenario film Sang Pencerah ditulis berdasarkan catatan perjalanan hidup KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, apakah karya Hanung Bramantyo ini dapat disebut sebagai film sejarah? Hanung dan krunya memang telah melakukan riset berbulan-bulan, bahkan sampai harus pergi ke Leiden (Belanda), untuk mengumpulkan informasi mengenai karakter tokoh utama dalam film terbarunya ini. Tetapi apakah proses pembuatan film ini dapat dikatakan sebagai penelitian sejarah?
Beruntung penulis termasuk orang yang mendapat kesempatan menyaksikan gala premiere Sang Pencerah pada 7 September pukul 19.00 WIB di Cinema XXI,Yogyakarta.
Film Sang Pencerah berkisah tentang tokoh KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, kata Hanung dalam sambutannya sebelum film diputar. Sebagai seorang hasil didikan salah satu sekolah Muhammadiyah, Hanung telah terinspirasi oleh sepak terjang sosok KH Ahmad Dahlan semasa muda. Karena itulah, film besutannya ini bercerita tentang bagaimana perjuangan pendiri Muhammadiyah selagi berusia muda, kira-kira usia 21 tahun.
Kehadiran film Sang Pencerah di belantika perfilman nasional memang menjadi sesuatu yang spesial karena mampu mengangkat jenis film berdasarkan sumber-sumber sejarah.
Biasanya, film-film yang diangkat dari sejarah tertentu dijamin tidak laku di pasar. Peminat film jenis ini sangat sedikit. Tidak jarang para produser yang sok idealis menanggung kerugian besar karena nekat melayarlebarkan sebuah kisah berdasarkan sumbersumber sejarah. Akibatnya, amat sedikit produser di Tanah Air yang melirik untuk mendanai film jenis ini. Kenyataan ini pun dialami Hanung ketika dia menawarkan proposal pendanaan film Sang Pencerah, tak ada satu pun produser muslim yang berminat terhadap film ini. Beruntunglah dia bisa meyakinkan Raam Punjabi, pemilik Multivision Plus, yang bersedia menyediakan dana untuk pembuatan film Sang Pencerah.
Selain faktor pendanaan, proses penyusunan skenario Sang Pencerah juga tidak mudah.
Harap diketahui, sosok dan karakter KH Ahmad Dahlan bukanlah tokoh imajinatif yang murni buah karya Hanung. KH Ahmad Dahlan adalah tokoh sejarah, ia manusia yang lahir di Kauman (Yogyakarta) dan hidup pada 1868-1923. Sialnya, Hanung mendapati tokoh utama yang akan difilmkan tidak didukung oleh sumber-sumber informasi yang akurat.
Minimnya sumber-sumber primer dan lemahnya verifikasi terhadap sumber-sumber sekunder membuat kualitas isi film ini jauh dari kebenaran sejarah. Kenyataan ini jelas menjadi problem tersendiri ketika banyak kalangan memberikan penilaian bahwa Sang Pencerah adalah film sejarah.
Bukan Sejarah merupakan serangkaian peristiwa di masa lampau, demikian menurut Baverley Southgate (lihat Ahmad Syafi'i Ma'arif, 2003: 34). Dengan demikian, sejarah bukanlah rekayasa imajinasi, melainkan fakta atau peristiwa. Menulis sejarah jelas berbeda dengan me nulis karya fiksi, sekalipun sama-sama membutuhkan sumber-sumber yang akurat.
Penulisan skenario film Sang Pencerah hanya mengandalkan sumber-sumber yang terbatas. Hampir tak ada sumber primer yang dapat menjadi rujukan dalam penyusunan skenario film ini, kecuali catatan Haji Syuja'.
Sumber-sumber lisan tak banyak membantu dalam penulisan skenario ini karena satu narasumber justru berbeda dengan narasumber lain ketika memberikan informasi tentang sebuah peristiwa, sehingga membingungkan.
Sedangkan sumber dari catatan Haji Syuja' masih butuh kritik untuk menguji validitas data-data sejarah yang disuguhkan. Selain tidak memenuhi standar penulisan sejarah, catatan Haji Syuja' masih perlu dikomparasikan dengan sumber-sumber lain. Misalnya, dalam catatan Haji Syuja' disebutkan Boedi Oetomo berdiri pada 1907 (lihat Syuja', 2010: 55). Padahal pendapat umum menyebutkan kelahiran Boedi Oetomo pada tahun 1908.
Sekalipun sejarah adalah fakta atau peristiwa, manakala ditulis oleh seorang sejarawan jelas ia membutuhkan sentuhan imajinasi kreatif.Yang membedakan sejarah dengan karya fiksi adalah keterbatasan sejarawan dalam berimajinasi, bergantung pada banyak atau sedikitnya sumber-sumber sejarah. Di sinilah seorang sejarawan mengalami apa yang disebut "situasi limit"--meminjam istilah Louis Gottschalk (2006). Imajinasi Hanung pun dibatasi oleh sumber-sumber sejarah yang minim manakala menyusun skenario film ini.
Apalagi sumber-sumber sejarah tentang kehidupan masa kecil dan masa remaja KH Ahmad Dahlan hampir tak ditemukan hingga sa at ini. Dikhawatirkan, Hanung terlampau jauh melakukan interpretasi terhadap sumbersumber sejarah yang sangat minim, sehingga ia melampaui situasi limit. Pertanyaannya, benarkah sosok Mohammad Darwis kecil seperti yang ditampilkan dalam film tersebut? Dalam menginterpretasikan sumber-sumber sejarah, Hanung Bramantyo juga kurang akurat. Dalam sebuah scene film ini, misalnya, Mohammad Darwis naik haji pertama kali pada 1889 dalam kondisi masih lajang.
Padahal, menurut sumber catatan Haji Syuja’, Mohammad Darwis naik haji pertama kali setelah beberapa bulan menikah dengan Siti Walidah (lihat Syuja’, 2009: 7).
Beberapa adegan dalam film Sang Pencerah juga kelihatan tidak sejalan dengan napas zamannya. Misalnya, papan nama untuk musala milik KH Ahmad Dahlan jelas kelihatan rancu. Dalam adegan film terpampang tulisan “Langgar Hadji Ahmad Dahlan”(dikenal dengan sebutan Langgar Kidul). Tulisan tersebut memang menggunakan ejaan lama, seolah-olah untuk menyesuaikan setting waktunya. Tetapi penulisan tersebut jelas keliru. Sebab, ejaan lama untuk menyebut nama pendiri Muhammadiyah adalah “Hadji Achmad Dachlan”. Ejaan seperti ini ditemukan dalam surat-surat resmi yang ditandatangani oleh KH Ahmad Dahlan. Begitu juga adegan ketika KH Ahmad Dahlan menandatangani rechtpersoon Muhammadiyah, bentuk tanda tangannya berbeda jauh dengan aslinya. Tanda tangan pendiri Muhammadiyah memakai namanya sendiri: HA Dachlan (lihat Junus Salam, 1962).
Barangkali, kekeliruan paling fatal adalah ketika Hanung Bramantyo menginterpretasikan kelahiran Muhammadiyah tanggal 12 November 1912. Bagi warga Muhammadiyah, interpretasi ini jelas cukup kontroversial. Dalam Statuten Muhammadiyah 1912 (disahkan lewat besluit Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 22 Agustus 1914), kelahiran Muhammadiyah adalah pada 18 November 1912. Salah satu kru film ini sempat berdalih kepada penulis bahwa kelahiran Muhammadiyah tanggal 12 November 1912 mengacu pada peristiwa ketika KH Ahmad Dahlan dan murid-muridnya mendeklarasikan organisasi ini di Malioboro. Dengan tegas penulis menjawab bahwa Deklarasi Malioboro bukan pada November, melainkan Desember. Tepatnya pada hari Sabtu malam akhir Desember 1912 di Loodge Gebouw Malioboro (sekarang gedung DPRD DIY).
Walaupun banyak catatan kritik, terutama seputar minimnya sumber-sumber sejarah, proses verifikasi data yang lemah, dan interpretasi terhadap data yang menimbulkan kontroversi, penulis harus jujur mengatakan bahwa film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo telah berhasil memuaskan para penontonnya. Hanya, perlu dicatat di sini, Sang Pencerah bukanlah film sejarah. Minimnya sumber-sumber sejarah dan lemahnya kritik terhadap akurasi data-data sejarah menyebabkan proses penyusunan skenario film ini melampaui situasi limit. Sang Pencerah lebih tepat disebut sebagai film yang diadaptasi dari riwayat hidup KH Ahmad Dahlan dan sejarah berdirinya Muhammadiyah. ●
http://epaper.korantempo.com/
0 komentar:
Posting Komentar