Firoz Gaffar, DOSEN PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA, DAN ADVOKAT
Tampak banyak pekerjaan rumah advokat tidak selesai, namun kita sedikit lega. Meski terhambat biaya, Perhimpunan Advokat Indonesia mulai mewajibkan anggotanya, yang berjumlah 21 ribu orang, melayani secara cuma-cuma pencari keadilan.
Dada kita bergemuruh. Dengar sajakisah dramatis Indra Aswan, loper koran yang mengais keadilan un tuk bocahnya yang tewas 15 ta hun silam akibat ditabrak oknum polisi tapi hingga saat ini tidak tersentuh hukum. Sebelum diterima Presiden SBY, ia sempat "mengadukan nasib"kepada gorila di kebun binatang. Lain lagi cerita tragis Soetarti Soekarno, 78 tahun, dan Roesmini, 78, janda pahlawan yang didakwa dalam kasus penyerobotan rumah dinas dengan hukuman penjara 2 tahun 4 bulan. Beruntung, pengadilan memvonis mereka bebas. Ini potret kelabu kondisi segelintir kaum papa. Dalam kenyataan, kasus terlanggarnya hak konstitusional, terhambatnya penegakan hukum, dan tertutupnya akses keadilan makin menggunung. Spontan jari kita menuding kemiskinan sebagai biang keladinya. Ia membuat orang tak berdaya dan terpinggirkan. Di sini kita menunggu hadirnya bantuan hukum yang secara universal diusung profesi advokat. Namun kita bertanya, apa sesungguhnya bara di balik api kemiskinan ini? Sebagian kita juga mungkin sangsi kepada role of play kepengacaraan.
Akar dan jenis Dengan derajat terendah dalam strata ekonomi, pertumbuhan jumlah orang miskin dari waktu ke waktu membuat kita miris. Kalkulasi Badan Pusat Statistik menunjukkan, dengan penduduk 237 juta pada tengah tahun ini, Indonesia bakal disesaki 32 juta orang miskin. Lebih spektakuler, kalau dipakai patokan lembaga internasional bahwa penghasilan US$ 2 dolar adalah orang miskin, maka sejatinya ada 100 juta orang miskin.
Tapi mengapa terjadi kemiskinan? Pangkalnya ialah kegagalan distribusi ekonomi yang adil. Melalui kategorisasi, faktor kegagalan ini lebih terungkap. Pertama, kemiskinan natural yang bergulir secara alami, akibat minimnya mutu manusia dan langkanya kekayaan alam. Kedua, kemiskinan kultural yang dipicu budaya atau mental yang mendorong orang hidup miskin, seperti malas bekerja, nihil kreativitas, dan absen gairah hidup untuk maju. Ketiga, kemiskinan struktural, yang dibuat tangan manusia dalam wujud kebijakan negara, sehingga lahir kesenjangan struktur ekonomi. Bisa jadi kebijakan diam-diam mengangkangi konstitusi demi kelanggengan kekuasaan, atau kebijakan yang dijadikan alat dominasi faktor produksi guna kejayaan bisnis.
Kemiskinan struktural bukan isu baru.
Pada 1970-an kalangan intelektual menyitir eksklusi sosial atas golongan ekonomi lemah dalam struktur ekonomi global. Eksklusi ini akibat dependensi ekonomi negara berkembang ke negara industri. Hal ini tergambar dalam relasi antara daerah periferi dan daerah pusat. Teori ini ditinggalkan karena terbukti pada era ini banyak negara yang tadinya terbelakang tapi kemudian mampu merebut pasar global. Contohnya, Taiwan, Korea, atau Cina.
Namun eksklusi sosial terhadap lapisan akar rumput dalam struktur ekonomi nasio nal bukan isapan jempol. Hasil pembangunan ekonomi masih jatuh kepada segelintir orang. Hubungan sosial-politik pun terkadang tidak sepenuhnya demokratis pada sejumlah tataran. Praktek kongkalikong dalam kegiatan di parlemen, pemerintah, asosiasi usaha masih dirasakan. Di sini peran bantuan hukum mendapatkan salurannya.
Bantuan hukum Masalahnya, secara eksistensial bantuan hukum belum mendapat pijakan formal yang jelas dari segi historis dan regulasi.
Implikasinya, ia belum sepenuhnya melekat dalam skema kerja advokat kita. Jadi, tidak aneh bila ia tidak masuk agenda utama kepengacaraan. Belum lagi melihat kumulasi pekerjaan internal advokat, seperti belum tuntasnya wadah tunggal, keterlibatan dalam mafia peradilan, dan profesionalitas yang kurang mumpuni.
Masalah lain, secara ideal bantuan hukum menuntut fokus perhatian luas advokat, karena konsepnya yang berwatak emansipatoris. Berasal dari Barat dan berkembang hampir serentak pada 1970-an sebagai salah satu aksi negara kesejahteraan (welfare state) yang terlambat ditunaikan, mengingat gelombang perhatian atas kemiskinan dimulai 1960-an. Indonesia--meski resminya bukan negara kesejahteraan melainkan negara hukum--juga mengadopsi pentingnya bantuan hukum (Aswab Ma hasin: 1981). Gelombang ini membuat bantuan hukum dikaitkan dengan pembangunan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Dengan kata lain, dalam watak aslinya, bantuan hukum menuntut wawasan politik.
Itu sebabnya, bantuan hukum tidak boleh dianggap sebagai perbuatan karitatif dengan pertimbangan perikemanusiaan semata. Ia bukan sekadar tugas formal advokat yang lebih mempertimbangkan profesionalitas, keahlian, atau bahkan imbalan. Ia adalah tuntutan melakukan minimalisasi akibat buruk yang terjadi dalam criminal justice process dengan kacamata lebar. Di sini advokat harus menjadi mesin pembaru hukum yang menyikapi secara kritis produk legislasi nasional, proses peradilan pidana, serta praktek sosialisasi hukum dalam kerangka melindungi mereka yang rentan dan buta hukum. Mereka yang harus dibela tidak lagi terbatas karena lemah secara finansial, tapi juga mencakup anak-anak, manula, wanita, suku terasing, atau masyarakat adat.
Ambil contoh. Produk legislasi nasional tidak lengkap tanpa Undang-Undang Bantuan Hukum. Apakah sudah mencukupi UU Advokat dan PP Bantuan Hukum Cuma-cuma? Praktek peradilan pidana juga diragukan telah menjalankan habeaus corpus (kehadiran tersangka) atau pre-trial hearing (pengujian sebelum sidang) untuk mengetahui alasan penahanan. Apakah kezaliman yang dialami pesakitan sudah terhapus? Praktek sosialisasi hukum selama ini dijalankan banyak pihak, mulai kementerian sampai pemda. Apakah segala penyuluhan atau kampanye ini telah mengena ke kelompok sasarannya?
Awal karya Tampak banyak pekerjaan rumah advokat tidak selesai, namun kita sedikit lega.
Meski terhambat biaya, Perhimpunan Advokat Indonesia mulai mewajibkan anggotanya, yang berjumlah 21 ribu orang, melayani secara cuma-cuma pencari keadilan.
Misalkan hanya 1 persen dari 32 juta orang miskin yang menghadapi problem hukum.
Supaya semua terlayani, dalam hitungan sederhana, 1 orang advokat bakal menangani 15 orang miskin. Kita tunggu realisasinya. Ini bukti awal karya. Ingat kata pepatah, kebajikan itu terwujud dalam karya (virtus in actione consistit).
0 komentar:
Posting Komentar