BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memikir Ulang Pemilihan Kepala Daerah

Memikir Ulang Pemilihan Kepala Daerah

Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 13.06


Salah satu arus besar era Reformasi adalah desentralisasi penyelenggaraan negara yang melahirkan penguatan otonomi daerah. Sentralisasi dan keseragaman pemerintahan daerah masa lalu merupakan bagian dari otoritarianisme yang menindas keragaman dan potensi daerah.


Melalui penguatan otonomi daerah diharapkan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah semakin meningkat sehingga memperkecil kesenjangan pusat dan daerah serta dapat mengembangkan keragaman potensi yang dimiliki setiap daerah. Era otonomi daerah sebagai bagian dari era Reformasi menempatkan kepala daerah semakin penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kepala daerah yang juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan daerah memiliki kekuasaan yang cukup besar untuk melakukan perubahan demi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan daerah. Kepala daerah tidak hanya memiliki wewenang yang lebih besar untuk mengelola daerah sendiri, tetapi juga memiliki otonomi dari intervensi pemerintah pusat.

Di era Reformasi juga terjadi perubahan dalam hal pemilihan kepala daerah. Pertama-tama pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD secara penuh, bukan mengusulkan nama kepada presiden seperti pada masa Orde Baru. Dengan UU No 22 Tahun 1999, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD. Selanjutnya dengan UU No 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Perubahan cara pemilihan kepala daerah tentu dimaksudkan agar sesuai dan dapat mencapai tujuan otonomi daerah. Kepala daerah yang terpilih diharapkan benar-benar sesuai dengan aspirasi rakyat dan mampu memenuhi harapan rakyat di daerah. Kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat diharapkan benar-benar berpihak kepada rakyat, tidak hanya mementingkan elite politik.

*** Setelah lima tahun berjalan sejak berlakunya UU No 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah secara langsung banyak mendapat sorotan dan tampaknya memang perlu dipikirkan kembali. Hal ini bukan berarti melangkah mundur, tetapi untuk melihat apakah pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung memang sejalan dan bermanfaat bagi pelaksanaan otonomi daerah. Kalaupun hal itu belum dicapai juga, tidak berarti lalu dilakukan perubahan cara pemilihan, tetapi dapat dipikirkan langkah-langkah perbaikan.

Paling tidak terdapat empat fenomena yang mengecewakan terkait dengan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Pertama, pemilukada selalu disertai dengan konflik masyarakat,mulai dari tahap pencalonan hingga bahkan berlanjut pasca-pemilukada. Konflik memang merupakan bagian dari demokrasi, tetapi konflik yang berkepanjangan dan mengarah pada kekerasan dan terhentinya pemerintahan tentu sangat merugikan dan mencederai makna demokrasi itu sendiri. Kedua, politik uang selalu “tercium” dalam setiap pelaksanaan pemilukada dan telah dianggap sebagai bumbu penyedap.

Politik uang yang sejatinya merupakan proses suap-menyuap telah bergeser menjadi kewajaran, baik bagi calon maupun masyarakat. Akibat dari politik uang ini, suara rakyat jadi tergadai. Calon yang terpilih belum tentu calon yang benar-benar ideal dan dikehendaki rakyat. Karena merasa sudah “membeli”suara rakyat, tidak ada hubungan lagi antara kepala daerah terpilih dengan rakyat pemilih. Politik uang mengakibatkan pelaksanaan pemilukada menjadi sangat mahal bagi pasangan calon. Padahal, dari sisi pelaksanaan pemilukada tentu membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD.

Apalagi jika harus dilakukan dalam 2 putaran serta kemungkinan pemungutan suara ulang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi. Ketiga,walaupun telah dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, ternyata hal itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan daerah.Tidak banyak daerah yang mengalami peningkatan kesejahteraan dan kemajuan secara signifikan. Beberapa daerah memang mengalami kemajuan cukup fenomenal di bawah kepemimpinan kepala daerahnya,tetapi lebih banyak lagi yang jalan di tempat.

Keempat, fakta menunjukkan bahwa di era otonomi daerah semakin banyak kasus korupsi yang terjadi.Kepala daerah yang dipilih secara langsung tidak memiliki dampak terhadap upaya pemberantasan korupsi.Alih-alih memberantas korupsi, ternyata banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Keempat fenomena di atas memunculkan gagasan untuk mengubah cara pemilihan kepala daerah kembali oleh DPRD.Di sisi lain,ada yang berpendapat bahwa mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD adalah langkah mundur.Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dipandang akan mengebiri hak rakyat.

Kepala daerah hanya ditentukan oleh anggota DPRD yang merupakan elite politik. Pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD juga tidak menutup kemungkinan terjadinya politik uang, bahkan mungkin menjadi faktor penentu jika dibandingkan dengan kekuatan politik uang pada pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga berpotensi melahirkan konflik, apalagi jika kepala daerah yang terpilih bertentangan dengan harapan rakyat.

*** Dari sudut konstitusi, baik pemilihan kepala daerah secara langsung maupun pemilihan oleh DPRD dapat dilakukan karena ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya menegaskan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Baik mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat maupun melalui “wakil rakyat” adalah mekanisme pemilihan yang demokratis sepanjang memang dilaksanakan secara demokratis. Kata “demokratis”merupakan refleksi dari dua pandangan yang ada pada saat pembahasan PerubahanUUD1945, yaituyangmengusulkan pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat dan yang masih menghendaki pemilihan dilakukan DPRD.

Kesepakatan rumusan “secara demokratis”untuk pemilihan kepala daerah dicapai dengan maksud agar bersifat fleksibel. Pembuat undang-undang dapat menentukan sistem pemilihan kepala daerah yang sesuai dengan kondisi daerah tertentu, apakah secara langsung atau melalui perwakilan di DPRD. Hal itu juga dimaksudkan sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan negara terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat daerah yang berbeda-beda serta pengakuan dan penghormatan negara kepada satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 18B ayat (1) dan (2) UUD 1945. Dengan sendirinya sistem pemilihan kepala daerah juga tidak harus sama di semua daerah.

*** Berdasarkan garis konstitusional, memang terdapat peluang untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD.Namun tentu kurang pada tempatnya apabila hal itu diputuskan tanpa mempertimbangkan alternatif lain yang dapat dilakukan.Terdapat dua alternatif selain kembali pada pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Pertama,fakta negatif yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah secara langsung tentu bukan merupakan “cacat bawaan” dari pemilihan langsung itu sendiri. Fakta negatif terjadi karena tidak dipenuhinya hal-hal tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung.

Dua hal utama yang harus dihadirkan agar pemilihan kepala daerah secara langsung semakin berkualitas dan mencegah terjadinya fenomena negatif adalah penegakan hukum dan peningkatan kesadaran politik masyarakat. Penegakan hukum sangat diperlukan, terutama untuk menjaga dan menghukum pelanggaran pemilukada sehingga tidak merusak esensi pemilukada itu sendiri.Pelanggaran dapat dilakukan oleh siapa pun, baik peserta, penyelenggara, aparat maupun warga negara biasa.Semuanya harus diperlakukan secara sama. Seiring dengan itu, diperlukan peningkatan kesadaran politik masyarakat.Kesadaran dalam hal ini tidak hanya pengetahuan dan keterampilan aturan dan teknik pelaksanaan pemilu.

Kesadaran yang lebih dibutuhkan adalah kesadaran terhadap makna kedaulatan dan suara yang dimiliki sebagai warga negara serta konsekuensi dari pilihannya. Kesadaran ini juga meliputi nilai dan etika dalam berdemokrasi sehingga tidak akan dapat disuap, menjual suara,ataupun melakukan tindakan lain yang merusak demokrasi. Keduaadalah menentukan cara pemilihan secara berbeda-beda. Penentuan sistem pemilihan langsung atau melalui DPRD tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, ekonomi, dan karakter masyarakat di daerah setempat.Faktor-faktor itu tentu berbeda-beda yang dengan sendirinya membawa konsekuensi bahwa tidak dapat diterapkan sistem pemilihan yang sama untuk semua daerah.

Pengaturan secara beragam ini tentu memerlukan pengaturan yang kompleks yang harus disusun bersama secara komprehensif. Pengaturan secara beragam ini pun tidak bertentangan dengan konstitusi, bahkan dapat dikatakan yang sesuai dengan latar belakang pemikiran saat perumusan perubahan UUD 1945.(*)

Janedjri M Gaffar
Sekretaris Jenderal MK

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/349394/
Share this article :

0 komentar: