SIMON SARAGIH
Bingung juga mengikuti arah dari persengketaan RI-Malaysia terbaru ini. Awalnya hanyalah pengejaran nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Tanjung Berakit, Bintan, 13 Agustus 2010. Perairan ini jelas milik Indonesia. Nah, kemudian polisi kelautan Malaysia malah ”menculik” tiga petugas patroli dari Kementerian Kelautan dan Perikanan itu. Lebih jauh lagi, penangkapan terhadap tiga petugas itu berlanjut dengan perlakuan oleh aparat Malaysia.
Tiga petugas itu diminta membuka baju dan kemudian dipakaikan seragam narapidana dan tangan mereka diborgol pula. Intinya, inilah awal kemarahan. Di sisi lain, nelayan Malaysia tak diperlakukan seperti itu, malah dipulangkan ke Malaysia sekaligus membawa ikan curiannya ke Malaysia.
Hermanto, satu dari enam petugas Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) yang berpatroli saat insiden, menyatakan dengan tegas, Malaysia jelas melanggar batas wilayah Indonesia sebanyak dua kali.
Pertama, hal itu dilakukan lima kapal nelayan Malaysia yang mencuri ikan di perairan Bintan. Kedua, hal serupa dilakukan kapal patroli Polis Diraja Malaysia saat berusaha membebaskan lima kapal tersebut.
Bukti paling gampang, kata Hermanto, adalah saat terjadi komunikasi melalui telepon seluler dari Dolphine 015, atau kapal cepat yang digunakan untuk patroli PSDKP, dengan anggota Polis Diraja Malaysia.
Anggota Polis Diraja Malaysia saat itu menggunakan telepon seluler (HP) milik dari salah satu aparat PSDKP yang mereka tahan. ”Kalau HP saya dengan HP rekan saya masih bisa digunakan untuk berkomunikasi, artinya apa, posisi saat itu berada di wilayah Indonesia. Itu pasti,” kata Hermanto.
Pertemuan Kinabalu
Menlu Marty Natalegawa dengan jelas juga sudah menegaskan bahwa peristiwa itu terjadi di perairan Indonesia.
Merasa pemerintahnya tidak ”berdaya” karena banyak pertimbangan, muncullah kemarahan warga Indonesia, termasuk dengan pelemparan kotoran ke Kedubes Malaysia di Jakarta. Inilah ekses negatif dari aksi negara serumpun yang sudah tidak berterima di mata rakyat Indonesia. Kemarahan berawal dari perlakuan pada tiga aparat KKP itu.
Isu itu kemudian berkembang menjadi sengketa wilayah kelautan kedua negara. Mengapa ada sengketa untuk perairan Tanjung Berikat yang jelas-jelas sudah dinyatakan sebagai wilayah Indonesia oleh Menlu?
Memang ada persoalan, yakni petugas KKP tidak pakai GPS-lah, tidak berkoordinasilah, tidak inilah, tidak itulah. Namun, inilah negara petugas patroli itu, entah negara ini miskin, lembek, atau kehabisan baterai sehingga alat GPS mati. Mereka bertugas di wilayahnya sendiri, yang memang seharusnya tidak digerayangi nelayan asing, apalagi serumpun. Ini namanya serumpun?
Lalu, dari Kinabalu muncul berita bahwa Malaysia, lewat menlunya, Anifah Aman, berjanji tak akan memborgol lagi petugas RI. Menlu kita pun mengatakan, perlakuan itu hanya diberlakukan pada Indonesia. Lho, mengapa harus bangga dengan janji tak memborgol? Wong, ikan kita dicuri di wilayah kita. Janji tak diborgol saja, kok kita bangga ya? (las)
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar