Marty Natalegawa:
Marty sendiri langsung menelepon Menteri Luar Negeri Malaysia Dato Sri Anifah Hj. Aman. Dia meminta agar ketiga petugas yang mengenakan seragam dinas itu segera dibebaskan. "Saya tidak tahu bagaimana caranya. Saya tidak usah panjang-lebar, mereka tidak boleh di sana," dia mengulang ucapannya kepada Anifah.
Di mana pun berada, Marty terus berkomunikasi dengan Kuala Lumpur tentang insiden itu, bahkan ketika dia mengikuti upacara pada 16 Agustus dini hari di Taman Makam Pahlawan Kalibata. "Kejadiannya sangat cepat dan dinamis. Syukurlah, akhirnya mereka bisa kembali ke Tanah Air," ujarnya.
Kendati sebagai bangsa serumpun, hubungan Indonesia-Malaysia belakangan ini kerap diliputi ketegangan. Berbagai masalah menjadi penyebab, antara lain penganiayaan terhadap tenaga kerja Indonesia di negeri jiran itu, klaim Malaysia atas beberapa budaya Indonesia, dan pelanggaran wilayah terutama di perbatasan laut.
Toh, Marty menganggap gesekan itu sebagai hal wajar dalam hidup bertetangga. Dia mengambil perumpamaan atap tetangga yang bocor dan membuat rumah kita ikut kebanjiran, atau tetangga meninggikan tembok dan membuat rumah kita menjadi gelap. "Kita tak pernah bersitegang dengan Rwanda, Islandia, atau Zimbabwe karena kita tak bertetangga dengan mereka," ujarnya.
Jumat pekan lalu, Marty menerima Nugroho Dewanto, Purwani Diyah Prabandari, dan Cheta Nilawaty dari Tempo di kantornya, Jalan Pejambon, Jakarta Pusat. Dengan runtut dia menjelaskan upaya diplomasi untuk menyelesaikan berbagai masalah, termasuk sengketa perbatasan dengan negeri jiran.
Apa informasi awal yang Anda terima dalam kasus tujuh nelayan Malaysia dan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan di sekitar perairan Bintan-Batam?
Dari awal kami langsung mengetahui terjadinya pelanggaran terhadap wilayah kita. Namun kami perlu hati-hati. Saya ingat saat-saat pertama Kementerian Luar Negeri dituduh lamban. Kehati-hatian itu bukan karena kita lemah atau tidak tegas, tapi karena protes harus didasarkan pada bukti yang kuat. Informasi awal terjadinya pelanggaran disampaikan oleh petugas dari Kementerian Kelautan. Tapi harus kami tunggu, baru pada 18 Agustus kami peroleh koordinatnya. Kemudian data itu kami sampaikan ke Dinas Hidro Oseanografi Angkatan Laut. Mereka yang memplot petanya.
Anda sudah dengar informasi bahwa alat GPS petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan rusak?
Kami sudah mendengar juga masalah GPS itu. Tapi pihak Kementerian Kelautan menyatakan data yang disampaikan itu bisa dipertanggungjawabkan. Kami dari aspek diplomasi mengemas data itu dan menyampaikan ke pihak Malaysia.
Jadi Anda yakin memang ada pelanggaran terhadap wilayah kita?
Waktu di DPR secara terbuka sudah saya sampaikan bahwa ada tiga macam pelanggaran. Pertama, pelanggaran wilayah kita oleh nelayan Malaysia. Kedua, pelanggaran wilayah kita oleh Polisi Diraja Malaysia. Ketiga, pelanggaran berupa penahanan dan perlakuan tidak baik terhadap tiga petugas Kementerian Kelautan.
Insiden itu tidak terjadi di wilayah yang masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia?
Tidak ada wilayah abu-abu. Memang faktanya ada klaim Indonesia, ada klaim Malaysia. Berdasarkan klaim Indonesia, insiden ini terjadi di wilayah kita. Tentu Malaysia memiliki pandangan yang berbeda berdasarkan klaim mereka. Inilah yang dinamakan overlapping claim.
Wilayah itu belum selesai dirundingkan?
Belum. Justru karena itulah harus dibicarakan.
Bagaimana prosesnya Presiden Yudhoyono ikut terlibat dalam masalah ini, dari mengirim surat ke Perdana Menteri Malaysia sampai berpidato?
Presiden terlibat sejak awal. Beliau memanggil sejumlah menteri, termasuk saya. Instruksinya jelas: masalah harus diselesaikan dengan cara yang tepat, terutama soal keberadaan petugas kita. Masalah kedaulatan juga tak boleh dikompromikan sama sekali. Kemudian selalu kami laporkan perkembangannya kepada beliau. Ke depan kami persiapkan perundingan tanggal 6 September di Kinabalu, Malaysia.
Apa tanggapan pihak Malaysia atas protes Indonesia?
Mereka juga menyampaikan tanggapan berupa protes. Menurut mereka, justru kita yang melanggar karena memasuki wilayah mereka. Jadi kita mengirim nota protes, mereka juga mengirim nota protes. Pada akhirnya semua ini harus diselesaikan lewat perundingan, tidak lewat megaphone diplomacy.
Apa dasar klaim Malaysia atas wilayah itu?
Malaysia mengklaim berdasar peta tahun 1979 yang dipertentangkan bukan saja dengan Indonesia, melainkan juga dengan Singapura, Filipina, Thailand, dan lain-lain. Jadi ini peta yang menimbulkan masalah. Sebaliknya, klaim kita berdasarkan hukum internasional yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Benarkah ada keterangan dari pihak Malaysia bahwa ada upaya pemerasan dari petugas Indonesia dalam kasus ini?
Saya tidak mendengar isu seperti itu. Memang Anda mendengar seperti itu ya?
Banyak pihak menilai pidato Presiden tentang kasus ini kurang tegas....
Saya sangat tertarik dengan istilah tegas karena penerapannya sangat lentur. Apa yang dimaksud dengan tegas? Kalau dibaca dengan benar ini adalah pernyataan dari seorang kepala negara. Beliau jelas menyampaikan perihal kedaulatan negara. Saat ini kita tidak hanya berhadapan dengan Malaysia, tapi kita juga harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita sudah berada pada posisi higher moral. Saya tidak mau kita merendahkan posisi, sama saja dengan negara lain. Posisi negara kita kuat, kok.
Apa yang dimaksud dengan posisi kuat?
Kita memiliki instrumen yang baik untuk menyelesaikan masalah ini. Pelanggaran wilayah dan penangkapan petugas Kementerian Kelautan itu adalah amunisi yang sangat cukup. Dunia juga ingin melihat bagaimana Indonesia mengatasi masalah ini. Kalau kita melakukan sesuatu yang berlebihan, nanti malah dilihat kita tak beda. Lihat misalnya insiden tenggelamnya kapal perang Korea Selatan yang dicurigai ditorpedo oleh Korea Utara. Berapa puluh orang personel angkatan bersenjata Korea Selatan yang tewas? Walau diliputi kemarahan, akhirnya penyelesaiannya lewat jalur diplomasi. Pemerintah, DPR, dan rakyat semua merasa terusik dengan kasus ini, tapi kita harus menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru.
Kita menggunakan jalur diplomasi karena ada kepentingan lain yang lebih luas. Apa sebetulnya kepentingan yang lebih luas itu?
Saya tahu ke mana arah pertanyaan ini. Saya tegaskan bahwa kita tidak bergantung pada Malaysia. Kalau kita terus mendengungkan ketergantungan terhadap Malaysia, kita bersikap inferior. Padahal kita tidak inferior. Sebagai pelaku diplomasi, saya yakinkan kita memiliki banyak instrumen berunding. Kita harus menempatkan kasus ini dalam tempat yang lebih luas. Di mana posisi Indonesia di ASEAN? Atau posisi Indonesia di dunia? Peran kita di kawasan lebih dari peran Malaysia. Peran kita bahkan sebagai negara yang berada di atas perseteruan. Jadi, kalau ada negara yang berseteru, kita yang menyelesaikan.
Dibandingkan dengan pernyataan Menteri Luar Negeri dan Perdana Menteri Malaysia, pidato Presiden Yudhoyono terlalu santun....
Pernyataan yang mana? Sekarang tugas kita adalah memperjuangkan kepentingan nasional. Emosi itu penting, perlu, harus, wajar, normal untuk menggerakkan kita. Tapi untuk menang dalam perundingan harus dengan langkah cerdas dan kepala dingin. Kita jangan terjebak membuat pernyataan yang akan menghilangkan simpati masyarakat internasional. Kalau soal emosi, di dalam dada saya juga merah-putih, kok.
Mengapa perundingan perbatasan akan dilakukan di Kinabalu?
Memang kenapa kalau pertemuan di Kinabalu? Saya tidak takut berunding di mana pun. Perundingan di pelosok Malaysia sekalipun akan saya uber.
Mengapa akhir-akhir ini kita sering bersitegang dengan Malaysia?
Apakah kita pernah bersitegang dengan Rwanda, Islandia, atau Zimbabwe? Tidak pernah, karena kita tidak bertetangga dengan mereka. Dalam hidup bertetangga, wajar timbul masalah. Atap rumah tetangga bocor, jatuhnya ke rumah kita juga. Atau dia meninggikan tembok, rumah kita jadi gelap. Di antara dua negara bertetangga ada masalah perbatasan, menjadi tugas diplomasi untuk mengelolanya. Di samping perbedaan, kita memiliki banyak persamaan dengan Malaysia, misalnya budaya dan bahasa, yang mestinya jadi perekat.
Apa target perundingan di Kinabalu?
Kita akan membahas insiden 13 Agustus itu. Bagaimana soal pelanggaran wilayah, penangkapan petugas Kementerian Kelautan, dan upaya mencegah kejadian serupa di masa depan. Mudah-mudahan setelah pertemuan di Kinabalu ada semacam roadmap, pada bulan ini sampai bulan itu minimal harus ada beberapa kali perundingan.
Anda optimistis hasilnya akan positif buat Indonesia?
Saya sudah yakin hitam-putihnya masalah ini. Sekarang kita jangan memberikan kesempatan kepada pihak Malaysia untuk menimbulkan isu baru. Jadi kita harus mampu menahan emosi. Sampaikan protes dengan betul dan cerdas. Kita semua ada di satu kapal, jangan saling mencurigai. Diplomasi bukan arena lari cepat tapi lari maraton. Diperlukan kesabaran dalam berunding dan juga poker face.
Bagaimana faktor dukungan internasional?
Dulu, pada 1999, ketika ada kejadian Timor Timur dan Atambua, memang saya rasakan ada rasa trust deficit di mata masyarakat internasional terhadap Indonesia. Apa pun pembelaan yang kita lakukan, masuk ke telinga kiri, keluar di telinga kanan. Sekarang kepercayaan itu sudah kembali.
Benarkah secara resmi ada pertukaran tiga petugas Kementerian Kelautan dengan tujuh nelayan Malaysia?
Sebelum ada tuduhan seperti itu, saya sudah mengantisipasi. Pada 13 atau 14 Agustus pagi saya sudah berbicara langsung dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Pak Fadel Muhammad. Saya katakan, "Saya baca di beberapa koran mulai muncul istilah-istilah populer: tukar guling, barter, ditukarkan. Tidak ada visi seperti ini dan tidak ada keperluan ke arah itu. "Jadi kita bagi tugas secara jelas. Saya bertugas diplomasi untuk memastikan tiga petugas Kementerian Kelautan kita pulang. Untuk tujuh nelayan Malaysia ada proses tersendiri yang harus dijalani. Dalam konsep internasional tidak ada pertukaran, yang ada exchange of prisoners.
Bagaimana Kementerian Luar Negeri menangani tiga petugas Kementerian Kelautan sampai kembali ke Indonesia?
Saya langsung melakukan intervensi diplomatik. Di sana sudah akan ada proses secara hukum. Kalau sudah masuk proses hukum, berarti kejaksaan Malaysia sudah masuk. Itu nanti pemerintah Malaysia harus sudah lepas tangan karena menghormati proses hukum dan lain-lain. Untungnya, sebelum itu sempat bergulir, kita sudah masuk. Saya juga minta ke Pak Duta Besar dan Konsulat Jenderal untuk tidak sekali pun menandatangani dokumen apa pun agar mereka bisa pulang.
Dokumen itu biasanya pengakuan bersalah?
Saya tidak mau mereka disodori satu dokumen yang mengakui kesalahan. Ternyata benar juga, kepulangan mereka tertunda tiga hari karena harus menandatangani dokumen itu. Jadi seolah-olah mereka membuat pengakuan bersalah. Saya bilang ke Konsulat Jenderal, "Pak Konjen, mereka harus segera pulang, tapi mereka tidak harus menandatangani surat itu. Tidak ada ceritanya tanda tangan dokumen itu." Kita bersikeras dan akhirnya besok paginya mereka bisa pulang. Kita tidak mengupayakan dengan mengemis dan mengiba-iba, tapi dengan ketegasan.
Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa
Tempat dan tanggal lahir: Bandung, 22 Maret 1963 Pendidikan: | Doktor Hubungan Internasional, Australian National University, 1993 | Master, Corpus Christi College, University of Cambridge, 1985 | BSc, London School of Economics and Political Science, 1984 Karier: | Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, 2009-sekarang | Kepala Perwakilan Tetap Indonesia di PBB, 2007-2009 | Duta besar di Inggris | Juru bicara Kementerian Luar Negeri
--
0 komentar:
Posting Komentar