BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Indonesia Lumbung Pangan Dunia?

Indonesia Lumbung Pangan Dunia?

Written By gusdurian on Senin, 27 September 2010 | 14.02

Oleh Murniaty Santoso

Memperingati Hari Agraria atau Hari Tani Nasional, 24 September, sebagai anak bangsa kita bertanya, masihkah Indonesia disebut negara agraris mengingat negara ini masih mengimpor beras, kedelai, dan gandum dalam jumlah yang besar?

Sekalipun mi instan telah menjadi makanan pokok rakyat kita selain nasi, tahu, dan tempe, gandum yang merupakan bahan baku mi instan merupakan produk impor. Padahal, Indonesia mestinya berswasembada pangan mengingat potensi agrarisnya yang begitu menjanjikan.

Pertama, ketersediaan lahan pertanian yang luas. Indonesia memiliki lahan pertanian lebih kurang 30 juta hektar (Departemen Pertanian, 2009). Kedua, ketersediaan air yang melimpah. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat curah hujan di Indonesia sangat tinggi, rata-rata 2.000-3.000 milimeter per tahun.

Persoalannya, apakah pemerintah mempunyai rencana jangka panjang 10-20 tahun ke depan untuk mengatasi krisis pangan? Rencana tersebut secara komprehensif mencakup pembibitan, pemupukan, perbaikan struktur tanah, reformasi irigasi, penggunaan mesin besar, hingga panen. Bagaimana pula dengan penggunaan teknologi nano di sektor pertanian, reformasi pertanahan (land reform), modernisasi lahan pertanian menjadi berskala besar (di atas 10.000 ha), penyediaan infrastruktur penunjang, dan pemberian insentif pemerintah? Semua ini sangat penting dalam mencapai ketahanan pangan.

Belajar dari Brasil

Kita harus mencontoh Brasil. Brasil kini muncul sebagai lumbung pangan dunia. Negara ini 15 tahun lalu adalah negara pengimpor bahan pokok dalam jumlah masif, seperti kedelai, gandum, dan daging. Namun, tahun 2010 Brasil menjadi negara tropis pengekspor gandum terbesar di dunia, di mana gandum merupakan makanan pokok dunia hari ini. Tak hanya itu, Brasil juga menyuplai seperempat total kebutuhan kedelai dunia (hanya dari sekitar 6 persen lahan pertaniannya), pengekspor kapas terbanyak, penghasil gula tebu, kopi, dan etanol terbanyak di dunia (The Economist, 28/8).

Padahal, potensi agraris Brasil jauh di bawah Indonesia. Brasil hanya memiliki sekitar 400.000 hektar lahan pertanian, jauh lebih kecil dibanding 30 juta hektar lahan pertanian Indonesia (FAO). Begitu pula dengan ketersediaan air. Curah hujan di Brasil Utara (daerah pertanian gandum dan kedelai) mencapai 975 mm per tahun, setara dengan curah hujan di Afrika yang kering, sedangkan curah hujan di Indonesia 2.000-3.000 mm per tahun.

Apa yang membuat Brasil mampu membalikkan nasib? Brasil sangat memerhatikan peningkatan populasi dunia yang diproyeksikan naik dari 7 miliar saat ini menjadi 9 miliar pada 2050 sehingga perencanaan pertanian dibuat sesuai dengan asumsi tersebut.

Embrapa (Lembaga Penelitian Pertanian Pemerintah Brasil) secara kontinu mencari sistem pertanian yang cocok bagi Brasil sejak 1970-an. Mereka meneliti kondisi tanah, tingkat keasamannya, kebutuhan air, dan campuran material untuk setiap jenis tanah, peningkatan intensitas tanaman pangan, serta pemilihan dan rekayasa benih. Semuanya memakan waktu dan percobaan panjang di laboratorium nanoteknologi Embrapa. Hasilnya, total nilai produksi pertanian Brasil selama periode 1996-2006 meningkat dari 26 miliar dollar AS menjadi 108 miliar dollar AS. Tak heran, padang sabana Brasil hijau dengan kedelai dan gandum.

Pekerjaan rumah kita

Belajar dari Brasil, penyebab utama Indonesia tidak bisa berswasembada pangan sekalipun memiliki potensi agraris yang menjanjikan adalah karena Indonesia tidak lagi punya rencana jangka panjang di bidang pertanian. Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I-VII) telah ditinggalkan bersama berlalunya Orde Baru. Padahal, garis besar perencanaan semacam inilah yang membuat Brasil berhasil.

Perencanaan pertanahan jangka panjang (land reform) harus dibuat untuk jangka waktu paling tidak 10-20 tahun mendatang. Perencanaan ini harus dirancang agar melibatkan pemerintah dan swasta. Kedua pihak harus berfokus pada pertanian yang mengedepankan economy of scale. Untuk itu, pihak swasta harus diberi ruang untuk mengembangkan pertanian skala besar dan berteknologi tinggi.

Pertanian pola tradisional tak lagi mumpuni untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik, dan tidak efisien, apalagi untuk mimpi menjadi lumbung pangan dunia. Mencontoh Brasil, perusahaan swasta di sektor pertaniannya terbukti mampu mengoptimalkan sekitar 15 persen dari total lahan pertanian dengan economy of scale yang sangat tinggi, produktivitasnya mencapai 365 persen!

Selain signifikannya swastanisasi pertanian, penyediaan infrastruktur penunjang sektor pertanian penting dimasukkan dalam rencana jangka panjang tersebut. Sebagai perbandingan, Brasil membangun jalan-jalan raya untuk memuluskan distribusi bahan mentah dan produk pertanian dari pedalaman sampai pesisir. Brasil bahkan membangun sekolah-sekolah dan klinik-klinik kesehatan bagi keluarga petani. Peran pemerintah juga dapat diwujudkan dalam pemberian insentif pajak, tingkat bunga rendah, dan kemudahan birokrasi.

Mengenai pembibitan, perlu dikaji ulang apakah monopoli bibit menguntungkan petani dalam jangka panjang. Penelitian-penelitian untuk penyediaan bibit unggul yang paling produktif, tahan hama dan perubahan cuaca, serta sesuai dengan struktur tanah di Indonesia sebaiknya didukung pemerintah. Bila petani masih menanam bibit rapuh tak tahan perubahan cuaca seperti hari ini, maka gagal panen akan semakin mengorbankan rakyat banyak.

Perencanaan jangka panjang dengan mempertimbangkan multifaktor sebagaimana disebutkan di atas, dilakukan oleh setiap negara yang ingin survive dari krisis pangan dunia. Brasil telah berbenah sejak 30 tahun lalu untuk menjadi lumbung pangan dunia hari ini. China sedang secara khusus mendorong penelitian agrikultur agar 1,3 miliar rakyatnya tak perlu lagi mengimpor gandum 10-20 tahun mendatang.

Ini saatnya Indonesia menata diri. Dan rencana jangka panjang adalah batu penjurunya. Maju Indonesiaku!

Murniaty Santoso Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society: Alumnus MIT Sloan School of Management

http://cetak.kompas.com/read/2010/09/24/0349580/indonesia.lumbung.pangan.dunia
Share this article :

0 komentar: