BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Urgensi Menjaga Hubungan Serumpun

Urgensi Menjaga Hubungan Serumpun

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 10.10

Oleh Ali Maksum

UNTUK kali kesekian, hubungan dua bangsa serumpun Indonesia-Malaysia kembali panas. Apalagi kalau bukan masalah perbatasan. Kali ini mungkin tidak sepanas sengketa Ambalat yang memancing emosi semua lapisan masyarakat Indonesia.

Namun, sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di perairan Tanjung Berakit, Bintan, Kepulauan Riau, menunjukkan sebuah kekhawatiran akan masa depan hubungan kedua negara. Kabar terakhir, sengketa yang dipicu tangkap-menangkap antara satgas DKP dan Polis Diraja Malaysia (PDRM) akan berakhir damai (Jawa Pos, 17/8).

Masalah perbatasan ini memang tidak akan terselesaikan jika kedua negara tidak melakukan langkah konkret untuk mengatasi. Namun, hal tersebut juga menjadi ironi jika kedua negara akan menyelesaikannya dalam waktu singkat. Tidak hanya akan menimbulkan gejolak baru seputar perbatasan. Bahkan, yang paling krusial, masalah akan dialami masyarakat di daerah perbatasan seperti di daerah Kalimantan dan tentunya Sumatera. Hal tersebut tidak lepas dari keterkaitan yang erat antara masyarakat di daerah perbatasan itu. Meski terpisah oleh status kewarganegaraan, banyak di antara mereka yang merupakan satu keluarga dan kerabat dekat.

Menurut penelitian seorang teman penulis yang merupakan warga Malaysia, daerah perbatasan tidak dibatasi secara jelas. Bahkan, ada rumah yang dapurnya di Malaysia namun ruang tamunya di Indonesia. Begitu juga dengan masalah perbatasan laut. Kasus terakhir itu, penulis yakin, merupakan sebagian kecil kasus saja yang ''sengaja'' di-blow up. Masih banyak kasus yang sebenarnya ada dan itu merupakan kasus ''biasa'' yang akan mudah ditemukan.

Bahkan, ketika penulis menghadiri konferensi Peringatan Hubungan Malaysia-Indonesia 2009 di Kuala Lumpur, sebuah pernyataan mengejutkan diungkapkan salah seorang anggota Eminent Persons Group (EPG) dari Malaysia sebagai organisasi yang menaungi hubungan kedua negara. Si anggota EPG tersebut mengungkapkan pengalamannya ketika ''sengaja'' menaiki boat dari Sumatera menyeberang ke Johor, Malaysia, yang ditumpangi pendatang ilegal Indonesia. Orang itu mengatakan, ''Pak sopir boat dengan bangganya mengatakan, wah kemarin lebih banyak lagi Pak yang saya bawa ke Johor!''

Peristiwa tersebut mungkin hanya sebagian kecil dan masih banyak kasus yang, jika prosedur perbatasan berlaku, akan sangat merepotkan saudara-saudara kita di perbatasan.

***

Lalu, apa sebenarnya pemicu pasang surutnya hubungan Indonesia-Malaysia? Menurut penulis, kasus-kasus yang saat ini sedang marak antara Indonesia dan Malaysia ditentukan beberapa faktor. Pertama, pasca pemerintahan Soeharto, kedua negara ''kehilangan'' sosok yang mampu meredam ketegangan.

Mungkin pendapat ini menimbulkan kontroversi, namun kenyataan memang demikian. Sepanjang 32 tahun Soeharto memegang kekuasaan, hubungan kedua negara sangat romantis dan nyaris tanpa masalah serius. Faktor Soeharto juga yang membuat orang Indonesia ''diundang'' berkarya ke Malaysia dan bahkan banyak yang menjadi ''orang penting'' di Malaysia. Tidak saja dalam kerangka hubungan Indonesia-Malaysia, bahkan secara de facto Indonesia menjadi ideologi ASEAN.

Kedua, adanya perubahan politik global pasca-Perang Dingin dan menurunnya tekanan politik internasional. Pasca-Perang Dingin dengan Amerika Serikat sebagai adidaya tunggal, skenario Asia Tenggara juga ikut berubah. Khususnya mencuatnya isu-isu baru seperti globalisasi, demokrasi, dan pasar bebas. Isu-isu itu membuat skenario politik di kedua negara ikut berubah. Kedua negara juga semakin terbuka, termasuk media massa yang juga ikut menentukan pencitraan kedua negara.

Zaman Soeharto yang ''tertutup'', tampaknya, justru menguntungkan bagi hubungan Indonesia-Malaysia. Sebaliknya, reformasi degan segala ''keterbukaan'' ternyata memunculkan dilema. Sebab, sedikit saja ada isu, hubungan kedua negara akan menjadi panas.

Ketiga, faktor konfrontasi. Setelah terjadinya G 30 S dan naiknya Jenderal Soeharto sebagai presiden kedua RI, tampaknya, kedua negara semaksimal mungkin menghindari konflik. Karena itu, persoalan perbatasan, termasuk sengketa beberapa pulau terluar, memang ''sengaja'' dibiarkan oleh kedua pemerintahan untuk menghindarkan konflik. Tampaknya, hal itu juga dilakukan atas desakan Barat, khususnya Amerika Serikat, untuk menjaga stabilitas politik Asia Tenggara pascakonfrontasi.

Karena itu, diperlukan sikap bijak dari kedua negara dan khususnya masyarakat untuk saling memahami akan pentingnya menjaga hubungan kedua negara. Tidak bisa dinafikan, kedua negara juga saling membutuhkan. Jangan sampai hanya karena masalah-masalah sepele kedua negara akan berkonflik. Jalur-jalur diplomasi dan kerja sama kalangan media massa sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas politik kedua negara. Ibarat pepatah, apa pun bentuk konflik, ''yang menang jadi arang yang kalah jadi abu''. Wallahu a'lam.

*). Ali Maksum, research fellow, International Relations, School of Social Sciences, UMS, Malaysia

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=151003
Share this article :

0 komentar: