BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pertumbuhan dan Ketimpangan

Pertumbuhan dan Ketimpangan

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 10.11

Oleh Agus Suman

HARI-hari ini kita sedang merayakan hari ulang tahun ke-65 kemerdekaan RI. Di tengah kemeriahan itu, kita juga mendapat informasi yang menggembirakan. Misalnya, informasi tentang pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Diperkirakan, tahun ini ekonomi akan tumbuh sekitar enam persen.

Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia menurun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni dari 8,14 persen menjadi 7,41 persen (2/2010). Selain itu, tingkat kemiskinan berkurang dari 14,15 persen (2009) menjadi 13,33 persen (2010). Atau menurun sekitar 1,51 juta pada periode yang sama.

Data yang dirilis BPS beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa secara nasional rasio gini Indonesia pada 2010 menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni dari 0,357 menjadi 0,331. Seperti diketahui, ukuran ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat tecermin, misalnya, dalam rasio gini. Semakin kecil angka rasio gini, berarti distribusi pendapatan semakin merata dan demikian pula sebaliknya.

Jadi, penurunan angka rasio gini di atas mengindikasikan adanya perbaikan dalam distribusi pendapatan di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan hasil kajian Bank Dunia tentang semakin membaiknya distribusi pengeluaran penduduk Indonesia (Agust Supriadi, 2010).

Hasil kajian lembaga tersebut mencatat bahwa kontribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terendah meningkat dari 18,96 persen (2009) menjadi 19,88 persen (2010). Demikian pula halnya dengan kelompok penduduk 40 persen menengah, meningkat dari 36,14 menjadi 37,97 persen.

Sebaliknya, kelompok penduduk 20 persen teratas menurun dari 44,90 persen menjadi 42,15 persen. Tentu itu semua menjadi berita yang menggembirakan bagi kita semua.

***

Sungguh pun begitu, tanpa menafikan kenyataan positif yang ada, tampaknya, ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian kita. Beberapa catatan tersebut, antara lain, pertama, tingkat kemiskinan di pedesaan masih lebih besar daripada di kota. Angka kemiskinan di desa memang menurun sekitar 690 ribu jiwa, dari 20,62 juta (3/2009) menjadi sekitar 19,93 juta (3/2010).

Tetapi, pada periode yang sama, angka kemiskinan di kota menurun lebih besar, sekitar 810 ribu jiwa, dari 11,91 juta menjadi 11,1 juta. Padahal, hingga saat ini komposisi penduduk di Indonesia masih didominasi penduduk desa yang mencapai 56 persen, sedangkan penduduk kota hanya sekitar 44 persen.

Karena itulah, rasio gini di pedesaan cenderung meningkat, yakni dari 0,288 persen menjadi 0,297persen. Sedangkan rasio gini di perkotaan menurun, yakni dari 0,362 persen menjadi 0,352 persen.

Kedua, kontribusi produk domestik bruto (PDB) masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera. Dari data BPS juga terungkap bahwa sekitar 80 persen kontribusi PDB dalam struktur ekonomi pada kuartal kedua 2010 masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera.

Jawa memberikan kontribusi 57,5 persen, sedangkan Sumatera 23,7 persen. Kalimantan 9,6 persen dan Sulawesi 4,6 persen. Sementara Bali dan Nusa Tenggara 2,7 persen. Sedangkan Maluku dan Papua hanya memberikan kontribusi 1,9 persen.

Ketiga, ketimpangan antarsektor juga tinggi. Sektor pertanian pada semester I 2010 ini tercatat paling rendah tingkat pertumbuhannya jika dibandingkan dengan sektor usaha lainnya, yakni hanya tumbuh 3 persen. Bandingkan dengan sektor-sektor lain seperti pengangkutan dan komunikasi yang mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi, yaitu 12,4 persen.

Kemudian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran tumbuh 9,6 persen; konstruksi 7,1 persen; listrik, gas, dan air bersih 6,4 persen; keuangan, realestat, dan jasa 5,7 persen; jasa-jasa 4,9 persen; industri pengolahan 4 persen; serta pertambangan dan penggalian 3,4 persen.

Padahal, dari sisi lapangan usaha, sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap PDB pada kuartal II-2010 ini, yakni 15,9 persen. Posisi tersebut berada di bawah industri pengolahan yang memberikan kontribusi terbesar, yakni 24,9 persen. Sedangkan perdagangan, hotel, dan restoran menyumbang 13,7 persen, pertambangan dan penggalian 11 persen.

Itu menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan masih cukup tinggi, tetapi menghadapi pertumbuhan yang sangat lambat.

Kondisi tersebut masih diperparah oleh semakin berkurangnya lahan pertanian di tengah pertambahan penduduk yang cukup tinggi. Hal itu terlihat dari data perkembangan lahan dan pertambahan penduduk yang terlihat bertolak belakang.

Ketika jumlah penduduk mencapai 147.490.298 (1980), lahan beririgasi dan nonirigasi tersedia 7 juta ha. Dan ketika penduduk berjumlah 179.378.946 (1990), lahan beririgasi dan nonirigasi tersedia sekitar 8,2 juta ha.

Tapi pada 2000, ketika jumlah penduduk mencapai 205.132.000, lahan sawah malah berkurang dan tinggal 7,75 juta ha (2002). Antara 2000 hingga 2002 saja konversi lahan sawah mencapai 563.000 ha atau rata rata 188.000 ha per tahun.

Jadi, tampak bahwa lahan pertanian, baik yang beririgasi maupun yang tidak beririgasi, semakin lama semakin berkurang dengan tingkat pertumbuhan yang semakin cepat, sementara penduduk terus bertambah. Tidaklah mengherankan jika pertumbuhan sektor itu menjadi begitu lamban dan tentu saja memprihatinkan kita semua.

Perkembangan desa dan kota yang tidak seimbang tersebut menyebabkan tumbuhnya kesenjangan. Saat ini, seperti disampaikan Direktur Perkotaan dan Pedesaan Bappenas Hayu Parasati (2010), ketimpangan antara desa dan kota di wilayah barat Indonesia mencapai 200 persen, sedangkan di wilayah timur Indonesia mencapai 100 persen.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tentu patut disyukuri, tapi akan lebih baik lagi bila pertumbuhan ekonomi berdampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penurunan tingkat kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.

Seperti yang diungkapkan Dudley Seers bahwa pembangunan tidak cukup hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tapi juga harus dilihat dari seberapa pertumbuhan tersebut mampu menjawab persoalan kemiskinan (poverty), pengangguran (unemployment), dan ketidakmerataan (inequality). Jika itu belum terjawab, pembangunan masih berada di posisi yang jauh dari harapan. (*)

*) Agus Suman, guru besar Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: