BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Rumah Aspirasi, Perlu

Rumah Aspirasi, Perlu

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 09.55

Mufid A. Busyairi ANGGOTA DPR RI 2004-2009

Entah bagaimana publik memaknai kabar bahwa pemerintah menyatakan tidak ada alokasi anggaran untuk rumah aspirasi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011 yang sudah diajukan ke DPR, sebagaimana diungkapkan Menteri Keuangan Agus Martowardojo (Tempointeraktif, 4 Agustus). Meski pada anggaran DPR RI 2011 yang telah disahkan dalam rapat paripurna 17 Juni 2010 ada alokasi untuk rumah aspirasi sebesar Rp 209 miliar atau masing-masing anggota Dewan memperoleh Rp 374 juta per tahun.

Maraknya pemberitaan negatif soal rumah aspirasi memicu sejumlah fraksi dan pemerintah kemudian menolak rumah aspirasi. Perdebatan rumah aspirasi akhirnya menghilang. Walaupun publik tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi di rapat-rapat tertutup Badan Urusan Rumah Tangga.

Apakah pembahasan rumah aspirasi benarbenar dihentikan, diendapkan, atau diamdiam tetap dilanjutkan. Tapi, secara opini, penolak rumah aspirasi menjadi pihak yang demikian populer dan terkesan populis. Inikah sebuah kemenangan rakyat? Rumah aspirasi bukan wacana tiba-tiba, melainkan refleksi DPR sebelumnya atas berat dan ruwetnya proses constituency outreach (upaya-upaya sistematis untuk mengembangkan jaringan yang kuat, memelihara hubungan yang dekat dengan konstituen, menjembatani serta mewakili kepentingan mereka dan fungsi-fungsi lain dalam kaitan dengan perwakilan). Dengan kesadaran itu, DPR periode 2004-2009 mencantumkan rumah aspirasi pada usulan Tata Tertib DPR, yang diadopsi DPR periode 2009-2014. Namun tampaknya DPR sekarang kurang yakin sehingga harus melakukan studi banding ke Jerman, Prancis, dan Maroko. Kesimpulannya ternyata sama, rumah aspirasi itu perlu, bahkan dengan usulan dana baru.

Dalam pemikiran awal, rumah aspirasi merupakan instrumen yang disediakan DPR (negara) kepada anggotanya untuk melaksanakan fungsi penyerapan aspirasi.

Ada kemungkinan suatu saat rumah aspirasi tidak relevan lagi. Namun, sejauh ini, ia diperlukan karena pertimbangan geografis, demografis, problem infrastruktur fisik, dan keterbatasan akses komunikasi. Di Amerika Serikat saja, selain disediakan komunikasi via Internet dan telepon bebas pulsa untuk warga, anggota House of Representative

(DPR) tetap memiliki beberapa country house atau country office di daerah yang diwakilinya. Adapun partai, tanpa mengabaikan fungsi katalisator kepentingan warga, mestinya berfokus pada pendidikan politik, pengaderan, dan rekrutmen.

Sayangnya, sebagian besar partai ternyata justru menyumbang persoalan. Meski negara memberikan anggaran kepada partai-partai di DPR, tidak banyak yang melakukan pendidikan politik kepada warga.

Padahal tingkat kesadaran dan kompetensi individu-individu mempengaruhi kuantitas serta kualitas partisipasi. Dalam proses penyerapan aspirasi, sebagian partai juga cenderung mengkotakkan prioritas kepentingan warga berdasarkan preferensi politik, aliran kepercayaan, hingga mazhab keagamaan. Sikap komunalisme ini merusak fungsi perwakilan.

Kontribusi negatif lainnya adalah pada proses penentuan calon legislator. Bukan rahasia jika sebagian elite partai berwatak juragan, calon legislator ditentukan berdasarkan setoran dan kedekatan. Faktor dukungan warga kepada seseorang untuk mewakili mereka di sebuah daerah tak masuk hitungan. Mereka yang bekerja bertahuntahun di rakyat tingkat bawah, mengadvokasi kepentingan warga, justru dicalonkan ke daerah lain. Padahal modal sosial yang dibangun sedemikian lama itu menjadikan proses outreach dan relationship konstituen, mudah, murah, dan hidup. Ini penyakit kronis partai yang perlu dibenahi.

Sembari mengusahakan proses itu berjalan, DPR sendiri harus ditekan untuk membenahi mekanisme kerjanya.“Enak banget, duitnya nambah terus tapi kerjanya enggak. Harus diatur, dong,”begitulah kata seorang rekan. Mereka yang menolak rumah aspirasi, karena cuma melihat dari perspektif anggaran, mungkin akan berubah jika disodori fakta bahwa anggota DPR selama ini banyak mendapat anggaran penyerapan aspirasi, akankah kita membiarkan mereka bebas menggunakan tanpa kejelasan mekanisme kerja dan akuntabilitas? Untuk diketahui, anggota DPR mendapat anggaran Rp 452.231.500 dalam setahun untuk kepentingan penyerapan aspirasi (reses Rp 53.080.000 x 4, kunker pribadi Rp 8.983.500 x 6, tunjangan penyerapan aspirasi masyarakat Rp 7.225.000 x 12, tunjangan peningkatan komunikasi intensif Rp 12.019.000 x 12). Namun, hingga sekarang, ada problem ketidakjelasan mekanisme pe

nyerapan aspirasi, output, dan akuntabilitas. Anggaran yang besar itu tidak bisa dibebasmanfaatkan kepada anggota DPR.

Di sisi lain, rumah aspirasi sesungguhnya juga merupakan kebutuhan konstituen.

Berdasarkan pengalaman, para petani dan nelayan, juga mereka yang jauh dari pusat pemerintahan, mengungkapkan perlunya wadah penyaluran aspirasi yang pasti dari segi lokasi, waktu, juga terjangkau, dan terbuka setiap saat, terhindar dari calo-calo, sampai ke anggota, dan tidak tereduksi oleh berbagai sentimen/kepentingan lain. Rumah aspirasi diharapkan menjadi salah satu solusi masalah tersebut, sehingga fungsi artikulasi, agregasi, dan advokasi kepentingan masyarakat dapat berjalan dengan baik dan independen. Kewajiban personal itu selama ini cenderung diabaikan sebagai salah satu alat ukur kinerja. Umumnya, DPR lebih sering disorot dari aspek kuantitas legislasi (secara kelembagaan). Keberadaan rumah aspirasi dengan kejelasan mekanisme kerja dan tertib administrasi menjadikan penilai

an mudah dilakukan.

Persoalan selanjutnya adalah mengupayakan seluas-luasnya partisipasi publik pada rumah aspirasi. Mengutip Vetter (Lokal Burgerbeteiligung, 2008), ada beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam politik dan pemerintahan.
Antara lain karakteristik personal masyarakat (tingkat kesadaran, motivasi, pendidikan, dan kompetensi individu-individu), pandangan dan perilaku elite politik, struktur/konteks/sejarah/tradisi partisipasi masyarakat, adanya bentuk/instrumen partisipasi secara hukum dan politik, serta jaminan sejauh mana hal tersebut mengikat pengambil keputusan.

Poin terakhir relevan dengan wacana pentingnya rumah aspirasi. Selebihnya, perlu keterlibatan banyak pihak untuk menyadarkan anggota DPR dan masyarakat bahwa partisipasi dalam sebuah sistem perwakilan adalah keniscayaan. Konsekuensi logis yang perlu dipikirkan berikutnya adalah mendesain secara hukum agar masyara kat dapat mengganti wakilnya yang tidak bermanfaat bagi mereka. Hal ini antara lain bisa dilihat dari berjalan-tidaknya fung si-fungsi rumah aspirasi tersebut. Jika kondisi ini tercipta, rumah aspirasi akan memaksa anggota DPR bekerja serius. Dengan demikian, rumah aspirasi akan menjadi alat kontrol publik dalam penguatan demokratisasi lokal.

Sekali lagi, DPR harus mengembangkan jaringan yang kuat, memelihara hubungan yang dekat dengan konstituen, serta menjembatani dan mewakili kepentingan mereka. Anggaran penyerapan aspirasi, yang jumlahnya lebih dari Rp 400 juta per anggota per tahun itu mestinya diperjelas mekanisme kerja, output, dan akuntabilitasnya.Tidak bisa diserahkan begitu saja. Maka menuntut DPR agar anggotanya membangun rumah aspirasi serta fungsi-fungsinya dari anggaran yang telah diberikan negara tersebut, adalah sebuah kewajaran, bahkan keharusan. DPR periode lalu telah berupaya mendorong itu melalui Tata Tertib DPR.Tapi, hampir di semua media, pembahasan rumah aspirasi dihiasi kejengkelan,"Jangan lanjutkan, hentikan, batalkan!"Tanpa sadar, ekspresi yang kita sebut marah itu justru menggandeng musibah, karena ia makin melanggengkan ketidakjelasan. Dengan perspektif demikian, penghentian wacana rumah aspirasi sejatinya bukanlah sebuah kabar menggembirakan.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/08/20/ArticleHtmls/20_08_2010_012_008.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: