KOLOM POLITIK-EKONOMI
Budiarto Shambazy
Demokrasi dapat cobaan setelah anggota Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, mewacanakan amandemen UUD 1945 tentang masa jabatan presiden. Gagasan itu bukan iseng karena Ruhut tentu tak asal ngomong. Seperti kata pepatah, jika ada asap, tentu ada api.
Terbukti lagi ada elite politik yang antidemokrasi. Ini bukan gejala aneh karena, misalnya, keputusan DPR bail out Bank Century menyimpang saja sampai kini tak digubris. Sikap inkonstitusional ini berbahaya bagi demokrasi, apalagi dengan mempermainkan UUD 1945 seolah lembar-lembar kertas belaka.
Kalau Orde Lama dan Orde Baru menjaga—bahkan cenderung menyembah—konstitusionalitas UUD 1945, Orde Reformasi sebaliknya. Proses amandemen serampangan membuat sejumlah kelompok masyarakat meminta stop amandemen.
Beberapa tahun terakhir muncul desakan pemerintah kembali ke UUD 1945 versi awal sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 karena proses perubahan 2002 ilegal. MPR dituding bukan mengamandemen, tapi mengganti konstitusi.
UUD 1945 versi lama sebenarnya masih berlaku sebab tak pernah dicabut. Proses amandemen sejak 2002 tidak sah dan menyimpang, baik secara hukum maupun materinya. Amandemen pertama, misalnya, tidak didasari ketetapan MPR atau tercatat dalam Lembar Negara. MPR juga tak pernah diberikan mandat melakukan amandemen itu.
Proses ”pembekuan” UUD 1945 yang diganti UUD produk amandemen 2002 juga bertentangan dengan sumpah anggota MPR yang setia dan mempertahankan Pancasila/UUD 1945. Namun, yang terjadi saat itu, MPR menugaskan Panitia Ad Hoc I MPR memulai penyusunan UUD versi amandemen 2002 dengan UUD 1945 sebagai initial paper.
Salah satu akibat dari amandemen, sistem tata negara rancu antara presidensial dan parlementer. Sudah empat kali UUD 1945 diacak-acak, itu tidak membuat SBY memiliki kabinet presidensial. Dukungan langsung rakyat membuatnya membentuk kabinet parlementer yang tak seefektif presidensial. Ibaratnya, kabinet ”parlemensial/presidenter”: kalau merasa sial, parlemen memanggil presiden yang gemeter.
Berbagai persoalan yang muncul—seperti memudarnya kebinekaan dan tak berjalannya penegakan hukum—akibat bangsa ini kehilangan pedoman. Persoalan-persoalan itu dapat diselesaikan jika bangsa kembali ke UUD 1945 versi asli dan Pancasila. Namun, belum ada yang berani menunjukkan kepada rakyat jalan yang harus ditempuh.
Di lain pihak, tak sedikit kalangan mendukung amandemen dengan alasan konstitusi bukan kitab suci. Zaman berubah, konstitusi di mana-mana di dunia membuka peluang diamandemen. Untung pro dan kontra amandemen masih belum membahayakan.
Namun, kadang muncul kegalauan publik, terutama menyangkut peranan MK. Ambil contoh keputusan MK membolehkan calon independen ikut pilkada. Keputusan diambil karena gugatan politisi yang ditolak partainya mencalonkan diri kembali di Nusa Tenggara Barat.
MK mengabulkan uji materi itu. Terjadi ketidaksinkronan konstitusional karena UUD 1945 mengatur calon pilkada gubernur tetap harus diajukan partai/gabungan partai alias bukan calon independen. Kini terbukti hanya satu-dua calon independen yang memenangi pilkada, fakta sosiologis yang menunjukkan vonis MK kurang kredibel.
Intinya, kita bangsa yang keren dalam soal ubah-mengubah karena tak mau ketinggalan mode. Padahal, kita belum becus menaati konstitusi, undang-undang, dan aturan yang ada. Kita pun punya pengalaman buruk dengan Bung Karno dan Pak Harto yang memanipulasi konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan.
Bung Karno melakukannya lewat Dekrit Presiden 5 Juli, Pak Harto menyamakan dirinya dengan UUD 1945/Pancasila. Keduanya terjebak penyakit delusion of grandeur (megalomania) karena kultur kepemimpinan ala Mataram yang sentralistis dan feodalistis. Bagi mereka, semua hal yang berbau magis-religius, termasuk UUD 1945/Pancasila, sumber primer karisma dan wibawa.
”Presiden Mataram” menyamakan konstitusi dan asas seperti pusaka keris atau sinar biru. Kesaktian pusaka bertambah dengan slogan ”revolusi belum selesai” atau ”jika rakyat menghendaki”, seolah mereka mampu meramalkan kapan kesejahteraan dan keadilan akan tiba.
Berkat jampi-jampi ”revolusi belum selesai” dan ”jika rakyat menghendaki” itulah, Bung Karno dan Pak Harto ogah turun takhta jika tidak dipaksa.
Mereka manusia setengah dewa yang merasa mampu menaungi semua kekuatan politik, menjaga keteraturan negara, dan mengurus rakyat dengan gaya kepemimpinan antikritik yang sentralistik dan feodalistik. Itu sebabnya muncul kultus individu: Presiden Seumur Hidup dan Bapak Pembangunan—kini ada upaya penobatan Bapak Kesejahteraan.
Mereka terpukau pada salah satu taktik politik fasisme: setelah sampai ke puncak, vulgarkanlah kekuasaan. Vulgarisasi itu mencapai puncaknya ketika mereka memanjang-manjangkan masa kekuasaan sebagai presiden. Kita tetap Indonesia, jangan berubah jadi Mataram.
http://cetak.kompas.com/read/2010/08/21/03092140/presiden.mataram
"Presiden Mataram"
Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 09.41
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar