KETIKA seorang wanita,Fatimah al-Makhzumiyah, putri dari kepala suku Bani Makhzumiyah, mencuri, sebagian sahabat menginginkan Rasulullah memperlunak hukuman baginya, bahkan sebelumnya mendapat amnesti dari Usamah bin Zaid.
Tetapi Rasulullah dengan suara lantang dan marah mengatakan: ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kehancuran umat dahulu disebabkan oleh perlakuan diskriminatif dalam bidang hukum. Jika yang mencuri itu orang-orang lemah dan rakyat kecil, maka mereka langsung menegakkannya.Tetapi jika yang mencuri itu kalangan elite, mereka membiarkannya. Demi Allah, andaikan Fatimah anak Muhammad (anakku sendiri) melakukan pencurian, maka akan kupotong langsung tangannya (Hadis Riwayat Imam Bukhari). Dalam bulan suci Ramadan, bulan pernah berkah ini, izinkan saya memulai tulisan kolom Novum dengan mengutip hadis sahih di atas.
Hadis tersebut terang-benderang menegaskan titah Baginda Rasulullah bahwa penegakan hukum yang diskriminatif akan menyebabkan kehancuran umat.Menurut Rasulullah,hukum yang diskriminatif adalah,hukum yang tajam kepada orang-orang kecil (the have not),tetapi tumpul kepada kalangan elite (the have). Sayangnya,potret hukum yang diskriminatif itulah yang masih saja kita temui dalam penegakan hukum di Tanah Air.Lihatlah beberapa kasus terakhir yang terekspos media massa.Tragedi yang dijalani nenek Minah, misalnya. Sang nenek divonis bersalah karena mencuri tiga biji kakao untuk menyambung hidupnya. Demikian pula yang dialami nona Maniseh.
Untuk menghidupi keluarganya, Maniseh ditahan karena mengambil beberapa kilogram kapuk randu. Serupa tapi tak sama, para janda sepuh pejuang harus berjibaku karena hampir terusir dari rumah tinggalnya. Beruntung dalam pengadilan tingkat pertama para janda divonis bebas oleh majelis hakim. Dalam kasus yang lain, bau anyir praktik mafia hukum sangat kuat tercium pada kasus keluarga Kadana di Indramayu, ataupun keluarga Indra Azwan dari Malang. Kadana, yang menghadapi kasus pembunuhan, terpaksa harus menjual tanah pekarangan yang luasnya tak seberapa.
Uang yang terkumpul, ditambah utang dari kiri-kanan keluarga Kadana harus disediakan untuk upeti kepada seorang oknum polisi.Tragedi tak berhenti begitu saja. Istri Kadana dan enam orang anaknya terpaksa harus tidur di bekas kandang kambing, berdesakan dan berimpitan karena ukuran kandang kambing itu hanya 2,5 x 1,5 meter.Tentulah tidak ada kenyamanan untuk tinggal dan tidur di bekas kandang kambing yang supermini tersebut. Lebih sulit lagi membayangkan, ada upeti “hanya” Rp300.000 yang tetap ditagih oknum polisi,dan untuk memberikannya Casnawi—kakak Kadana— harus menggenjot becak sejauh 10 kilometer,di tengah malam hingga dini hari yang dingin.
Indra Azwan dan keluarganya mengalami nasib tak kalah tragis. Keluarga sederhana yang kini menyambung hidup dengan menjual rokok dan kopi tersebut mengalami pahit-getirnya berjuang mengais keadilan. Kemalangan seakan melekat-erat pada keluarga dari kota Malang ini.Tujuh belas setengah tahun lalu, tepatnya pada 8 Februari 1993, pada hari yang nahas, ananda Rifki Andika harus meregang nyawa karena menjadi korban tabrak lari. Sang ayah dan keluarga terus berjuang agar keadilan hadir, tapi baru tiga belas setengah tahun kemudian berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.
Sang oknum penabrak yang juga seorang polisi,meskipun mengakui perbuatannya,akhirnya divonis bebas karena perkaranya telah melewati batas waktu yang ditentukan. Untuk kasus tabrak lari demikian, batas waktu kedaluwarsanya adalah dua belas tahun.Perkara ini adalah contoh nyata dari adagium: keadilan yang tertunda melahirkan kezaliman (justice delayed, justice denied). Untuk mengangkat tragedi kasusnya, Indra Azwan telah melakukan berbagai aksi.Terakhir dia nekat berjalan kaki dari Malang menuju Istana Negara. Berangkat tanggal 9 Juli 2010 setelah salat Jumat,dua puluh dua hari kemudian, pada tanggal 30 Juli 2010,Indra Azwan akhirnya tiba di depan Istana Negara.
Tujuannya tunggal: ingin bertemu Presiden SBY dan menyampaikan keprihatinan betapa mereguk keadilan bagi masyarakat kecil sangatlah sulit dan bagaikan mimpi.Ketika akhirnya bertemu dengan saya, hati kecil tidak dapat dibohongi,bahwa kasus ini sarat dengan ketidakadilan.Saya menyadari,ada risiko aliran tsunami pengaduan jika Presiden menerima langsung Pak Indra Azwan. Kasus sejenis Pak Indra dan keluarganya, di mana rakyat kecil menjadi bulan-bulanan penegakan hukum yang diskriminatif dan koruptif amatlah banyak. Sekali pintu bertemu Presiden dibuka, maka sulit dihindari akan muncul berbagai macam kasus lainnya.
Tetapi, dengan melihat detail kasusnya yang sangat menyakitkan,dan kegigihan Pak Indra sendiri,akhirnya saya melapor dan merekomendasikan agar Presiden SBY berkenan menerimanya. Seperti sudah saya duga,Presiden SBY tanpa berpikir panjang berkenan untuk menerima Pak Indra, bahkan akhirnya dengan putrinya, pada Rabu sore, 11 Agustus lalu.Terlihat jelas binar bahagia dan lega di wajah Pak Indra Azwan dan putrinya ketika berkesempatan bersalaman dan berbincang hangat dengan Presiden.Pak Indra bahkan mengatakan, “Rasanya plong.Tujuh belas tahun lebih luka hati saya rasanya terobati, setelah berhasil bertemu Bapak Presiden.” Saya katakan,“Maaf Pak,sementara inilah yang dapat kami lakukan.
Tidak mungkin dapat mengembalikan ananda Rifki Andika.” Tentu saja pertemuan sebentar tersebut belum menyelesaikan masalah hukum,pekerjaan belum selesai. Meski Pak Indra Azwan sendiri mengatakan, dia sendiri sudah ikhlas dan lebih tenang. Itulah ironi penegakan hukum yang dialami para masyarakat kecil. Di sisi lain, kasus-kasus besar semacam mafia peradilan, mafia korupsi, mafia pajak dan bea cukai, mafia tambang dan energi,mafia hutan, mafia tanah, mafia narkoba, mafia perbankan dan pasar modal dan mafia perikanan tidak sedikit yang tidak diproses hukum. Atau jika akhirnya diproses pun justru divonis bebas—atau dihukum sangat ringan.
Penyebab utamanya tidak lain dan tidak bukan adalah penyakit mafia hukum yang sudah sangat parah.Hukum yang dijangkiti mafia, pastilah koruptif dan diskriminatif.Keadilan tidak akan lahir dari proses penegakan hukum yang sarat praktik mafioso. Hukum hanya menjadi objek transaksional antara para penjahat berduit dengan oknum hakim, jaksa, advokat, dan polisi yang dengan tega menggadaikan keadilan. Padahal,tanpa hukum yang berkeadilan; hukum yang nondiskriminatif; hukum yang nonkoruptif; hukum yang tidak menoleransi mafia peradilan, suatu bangsa tidak akan mungkin maju dan bermartabat. Dengan hukum yang koruptif dan diskriminatif politik akan terus dibajak oleh politik uang; demokrasi akan sarat dengan korupsi; dan ekonomi akan terus berbiaya tinggi karena suap dan manipulasi di sana-sini.
Dengan hukum yang diskriminatif dan koruptif,kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat Indonesia akan semakin sulit untuk diwujudkan. Sebagaimana sabda Rasulullah di awal tulisan ini, dengan hukum yang diskriminatif dan koruptif, suatu kaum tidak akan makmur,tetapi hancur.Akhirnya, salam antimafia hukum. Doa and Do the best.Keep fighting for the better Indonesia.(*
DENNY INDRAYANA
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/344561/
Memberantas Hukum Koruptif
Written By gusdurian on Senin, 16 Agustus 2010 | 10.27
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar