BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menghidupkan Kereta Api

Menghidupkan Kereta Api

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 09.25

Oleh: Saratri Wilonoyudho

Menjelang Lebaran ini, tiket kereta api (KA) untuk H-7 dan H+7 sudah habis terjual. Sama dengan biasanya, masyarakat sangat antusias menggunakan transportasi KA karena memang dirasa efektif, relatif aman, nyaman, murah, dan cepat. KA sudah menjadi perhatian utama negara-negara maju karena alasan tersebut.

Anehnya, hal itu tidak berlaku di negeri yang justru padat penduduknya di satu sisi dan tinggi mobilitasnya pada sisi yang lain. Negeri ini boleh bangga mampu memberantas teroris kelas berat, namun selalu KO jika bermusuhan dengan calo tiket KA.

Sudah lama Michael Replogle dari Institute for Transportation and Development Policy meramalkan akan terjadi krisis transportasi di negara-negara berkembang. Logikanya sederhana saja, pertambahan jumlah penduduk di negara-negara berkembang sangat cepat. Di ujungnya, kebutuhan kendaraan juga bertambah banyak. Sialnya, kesemuanya itu tidak diimbangi mutu dan lebar jalan serta manajemen transportasi yang baik.

Orang barangkali akan geleng-geleng menyaksikan ratusan truk dari arah Surabaya menuju Jakarta dengan membawa beban puluhan ton dan berjalan bagai siput. Pertanyaannya, mengapa mereka memilih angkutan kontainer dan bukan KA? Saya hanya membayangkan, jika muatan kontainer puluhan ton yang memacetkan jalur pantura tersebut diangkut dengan ratusan gerbong KA, jalur pantura akan nyaman.

Pemandangan lain yang menyedihkan sekaligus ''mengagumkan'' adalah aksi ''akrobatik'' para penglaju KA di Jakarta. Lihatlah, mereka berani duduk di atas gerbong KA, di bawah kawat aliran listrik, bahkan kadang melalui terowongan sempit.

Dari pemandangan itu tampak bahwa jalur KA listrik Bogor-Jakarta tersebut sangat diminati warga kelas bawah. Hasil wawancara seorang kru TV swasta dengan salah seorang penumpang juga menunjukkan bahwa KA listrik menjadi ''favoritnya''. Sederhana saja alasannya, antimacet (meski kadang tidak tepat waktu), cepat, dan murah.

Mereka pada umumnya adalah para penglaju dari daerah Depok-Botabek yang bekerja di pusat kota Jakarta. Tum­buhnya kota-kota raya di sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, Serpong, dan Depok, menambah beban Jakarta. Sebab, sebagian besar warga pinggiran tersebut bekerja di Jakarta.

Pertanyaan selanjutnya, melihat peluang pasar yang sedemikian besar tersebut, mengapa tidak ada tindakan nyata untuk menghidupkan jalur KA? Bukankah pembangunan jalur KA hanya membutuhkan dana seperlima biaya membangun jalan tol dan sejenisnya? Pertanyaan nakal selanjutnya, adakah permainan kapitalis otomotif dunia dalam hal ini?

Reformasi KA

Saya membayangkan bagaimana jika pemerintah mulai serius membangun rel ganda dari Surabaya-Jakarta dan jalur selatan dari Jogjakarta-Bandung-Jakarta. Selanjutnya, silakan swasta berlomba membangun rangkaian gerbong secara kompetitif. Dengan kata lain, dibutuhkan keseriusan untuk menata struktur yang mengarah pada kompetisi dan keikutsetaan swasta (misalnya) melalui kebijakan yang terbuka dan penyertaan modal. Itu berarti pemerintah dituntut agar mengubah paradigma dari sifat monolitik ke arah core competence, dari public service ke aspek komersial, dari BUMN ke privatisasi swasta, dan dari monopoli ke arah kompetisi.

Dari reformasi tersebut diharapkan PT KA akan mampu mencari masinis, kondektur, penjaga lintasan pintu KA yang profesional dengan gaji tinggi dan juga menata manajemen yang andal. Tujuannya, mengurangi kecelakaan dan menambah kenyamanan.

Kelemahan KA di Indonesia memang banyak. Pada masa lalu, transfortasi itu dikelola pemerintah, natural monopoly, namun tidak didukung oleh kebijakan finansial, subsidi, teknologi, dan mutu SDM yang mengelolanya (Dikoen, Edy Haryoto 2001). Karena itu, perlu adanya semacam restrukturisasi, misalnya 1).Memisahkan tegas antara fungsi ownership, regulator, dan operator. Ownership menyangkut misi, publik atau komersial, return komersial, lalu ada kompensasi publik, dan investasi.

Sedangkan regulator menyangkut safety, tarif dan kompetisi, dan terakhir operator untuk mencapai misi yang ditetapkan, 1) melaksanakan regulasi dan profesionalisme; 2). Menata kembali sistem bisnis KA; 3).Menetapkan dengan tegas arah dan sasaran reformasi perkeretaapian; dan 4).Menata kembali struktur industri perkeretaapian dengan mengarah kepada kompetisi dan keikutsertaan swasta melalui kebijakan open access dan penyertaan modal.

Jika tuntutan di atas dapat diwujudkan, diharapkan infrastruktur dan jasa pelayanan KA dapat menjadi bagian integral dari ekonomi makro nasional, atau paling tidak ekonomi regional (catatan: sumbangan KA Indonesia hanya 0,08 persen PDRB Jawa). Selanjutnya, pembangunan jalur railway system yang terintegrasi di Indonesia, atau setidaknya Jawa dan Jabotabek, diharapkan akan menyejahterakan rakyat, memberikan kenyamanan dan keamanan, serta syukur menciptakan ekonomi baru yang lebih mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat.

Khusus untuk Jabodetabek, pembangunan jalur KA mestinya juga harus diintegrasikan dengan moda-moda angkutan lain, seperti angkutan laut dan bandar udara. Masalahnya, otonomi daerah kadang juga bikin pusing. Misalnya, jika jalan raya rusak parah, pemerintah daerah relatif lebih cepat tanggap untuk memperbaikinya. Sebaliknya, jika jalur rel rusak, pemerintah daerah angkat tangan dan mengelak.

Pemarginalan KA juga tampak dari data, jumlah jaringan rel KA yang menurun hampir 40 persen dari 6.000 jari­ngan menjadi sekitar 4.000 jaringan. Hal itu terjadi sejak zaman Belanda hingga saat ini. Bahkan, jaringan rel di tengah kota, seperti Semarang, malahan diuruk aspal. Akibatnya, nyanyian abadi KA Indonesia hanya satu, yakni ''darah dan air mata'' (baca: kecelakaan).

Sederhana saja, menurut Djoko Setijowarno dari Pusat Studi Transportasi Unika Sugiyopranoto Semarang menyebutkan bahwa di tubuh PT Kereta Api terjadi krisis sumber daya manusia masinis KA. Menurut hasil penelitiannya terhadap 50 orang masinis di PT KA Daerah Operasi IV, hanya sepuluh orang yang memenuhi syarat. Sisanya disarankan untuk tidak memilih pekerjaan sebagai masinis (Kompas, 20 April 2006).

Krisis SDM itu yang barangkali merupakan salah satu faktor mengapa tren kecelakaan kendaraan ekonomis itu terus meningkat. Kalau pada 2004 hanya ada tujuh kasus tabrakan KA versus KA, pada 2005 terjadi sepuluh kasus. Demikian pula, kalau pada 2004 ada 90 kasus gerbong yang anjlok, pada 2005 malahan meningkat menjadi 99 kasus. Yang jelas, kesemuanya membawa puluhan korban tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Tentu tidak adil kalau menyalahkan para masinis atau penjaga pintu lintasan KA. Faktor motivasi kerja, profesionalitas dan disiplin kerja, serta kesejahteraan barangkali juga menjadi kunci jawaban.

Semua itu hanya dapat diatasi jika ada reformasi KA. (*)

*) Saratri Wilonoyudho, peneliti dan dosen MK planologi di Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. Kandidat doktor UGM

http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: