Helmy Faishal Zaini, MENTERI NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
Enam puluh lima tahun yang lalu, tatkala founding fathers memproklamasikan kemerdekaan, jalan untuk membangun bangsa dan negara Indonesia ini mesti berlandaskan atas bangunan demokrasi. Para bapak pendiri bangsa yakin dan percaya bahwa demokrasi adalah sistem yang baik, mesti bukan yang terbaik, untuk membangun bangsa dan negara yang baru merdeka ini.
Karena itu, sehari setelah kita merdeka, saat kita menetapkan konstitusi baru (Undang-Undang Dasar 1945), jelas sekali tentang roh demokrasi sebagai bangunan bangsa dan negara ini. Begitu pula ketika kita menggantinya dengan Konstitusi RIS atau UUDS 1950, tetap roh demokrasi menjadi inti bangunan bangsa dan negara ini.
Namun saat kita mempraktekkan demokrasi ternyata memunculkan kegaduhan.
Terjadi konflik ideologi, perebutan kekuasaan, dan gonta-ganti kabinet. Akibatnya, demokrasi yang kita praktekkan saat itu mengalami kegagalan. Diganti oleh sistem di luar demokrasi: sistem otoriterianisme.
Kini, setelah tumbangnya rezim Orde Baru, kita kembali memilih demokrasi dalam membangun bangsa dan negara tercinta ini. Indonesia tumbuh menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Pada era yang disebut dengan era reformasi ini terjadi liberalisasi politik, dengan adanya kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan mendirikan partai politik, dan kebebasan-kebebasan politik lainnya.
Pada era ini sudah tiga kali kita berhasil melaksanakan pemilihan umum yang berlangsung secara demokratis. Bahkan kita berhasil memilih presiden dan wakil presiden secara langsung pada 2004, dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden terpilih, yang kemudian pada pemilihan presiden 2009 terpilih kembali secara langsung.
Melalui politik desentralisasi dan otonomi daerah, kekuasaan tidak lagi tersentralisasi di pusat. Ada pelimpahan kewenangan kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Para kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) dipilih secara langsung. Terjadi partisipasi politik dan gelombang demokrasi di tingkat lokal.
Transisi demokrasi yang telah bergulir sejak 12 tahun lalu memang belum seluruhnya selesai. Agenda reformasi belum se luruhnya tuntas. Berbagai persoalan datang bertubi-tubi menghantam kehidupan masyarakat Indonesia. Inilah tantangan kita semua yang harus dihadapi bersama-sama.
Di tengah-tengah kita mempraktekkan demokrasi ini, muncul kritik dan kegalauan atas perjalanan demo lauan atas perjalanan de krasi ini. Kritik yang mengemuka saat ini, antara lain, bahwa demokrasi yang kita implementasikan cenderung implementasi kan cenderun bersifat prose dural, belum mengarah pada demokrasi substansial.
Dan de mokrasi yang kita praktekkan cenderung memunculkan kegaduhan dan hiruk-pikuk.
Bisa jad publik bertanya: bila praktek de mokrasi cenderung prosedural, bila praktek demokrasi terus-menerus memunculkan kegaduhan, lalu kapan ada waktu untuk membangun bangsa dan negara ini? Dengan demikian, tuntutan masyarakat menginginkan agar praktek demokrasi tidak hanya bersifat prosedural an sich, tetapi juga dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Sehubungan dengan itu, selain kita mempraktekkan demokrasi prosedural, maka mesti dibarengi dengan demokrasi substansial, yaitu dengan memberikan output di mana demokrasi mampu mengangkat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Seperti pernah dikemukakan oleh tajuk Kompas (4 Desember 2006), di mana peran dan tujuan demokrasi adalah kesejahteraan rakyat. Demokrasi tidak bisa dipisahkan antara hak sipil dan hak politik dengan hak sosial, ekonomi, serta budaya. Jangan sampai hak-hak sipil dan politik melepaskan kaitannya dengan hak dan kebutuhan dasar dalam bidang sosial, ekonomi, dan budaya.
Karena itu, saya kira, untuk mewujudkan demokrasi substansial, kegaduhan dalam berdemokrasi mesti disingkirkan. Hal ini karena rakyat menilai mengapa kita dalam mempraktekkan demokrasi begitu gaduh, terjadi unjuk rasa dan demonstrasi dengan kekerasan, serta kerap terjadi konflik, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal. Bila kondisinya terus-menerus seperti itu, energi kita bisa jadi habis untuk mengurusi persoalan-persoalan tersebut.
Apabila praktek demokrasi ini tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat, bisa jadi apatisme terhadap demokrasi juga akan meningkat di kalangan masyarakat. Lalu, pada gilirannya, bisa jadi pula apatisme politik tersebut digunakan oleh kalangan atau kelompok-kelompok tertentu untuk menyodorkan sistem politik di luar sistem demokrasi atau yang antidemokrasi Karena itu, tantangan kita dalam mempraktekkan demokrasi adalah bagaimana agar kesejahteraan rakyat dapat terwujud.
Demokrasi harus sama dengan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Jangan sampai pilihan kita terhadap demokrasi tidak berhasil mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.
Salah satu usaha untuk mengisi agar demokrasi dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat, marilah kita bersama-sama menciptakan kondisi yang kondusif. Menciptakan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat harus menjadi prioritas. Pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa mewujudkan kesejahteraan merupakan tujuan pembentukan negara Indonesia.
Dalam konteks itu, maka salah satu agenda pemerintah saat ini, peningkatan kesejahteraan rakyat merupakan bagian dari skala prioritas. Untuk itu pemerintah saat ini menggenjot sejumlah program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan dan penciptaan kesempatan kerja, peningkatan program di bidang pendidikan dan kesehatan, serta percepatan pembangunan infrastruktur dasar.
Dalam konteks untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) memiliki sejumlah program bagi pengentasan daerah dari ketertinggalan. Paradigma yang dilakukan KPDT dalam mengentaskan daerah dari ketertinggalan berbasis pada pedesaan. Untuk itu, infrastruktur desa, seperti irigasi, sarana dan prasarana transportasi, listrik, telepon, sarana pendidikan, kesehatan, serta sarana-sarana lain yang dibutuhkan, harus bisa disediakan sehingga memungkinkan desa maju dan berkembang.
Sebagai penutup, saya mengutip pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Bali Democracy Forum II di Bali bahwa baik demokrasi maupun pembangunan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin dan pejabat pemerintah. Pemimpin yang mendapatkan mandat rakyat harus bekerja keras untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat melalui demokrasi dan pembangunan. ●
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/08/21/ArticleHtmls/21_08_2010_009_021.shtml?Mode=1
Demokrasi = Kesejahteraan Rakyat
Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 09.35
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar