BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bajak Lagu Ini

Bajak Lagu Ini

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 10.03

JUDUL di atas bukan dari saya, melainkan judul lagu ciptaan Pandji Pragiwaksono dalam albumnya Provocative-Proactive.Dengarkan penggalan lirik pembukaannya yang pasti membuat musisi lain yang antibajakan kecewa.

“Kalau suka lagu ini ngga papa. Bajak aja dan bantu gue sebarkan ke seluruh negeri!” Sebarkan ke seluruh negeri? Apakah penembang hip-hop itu tidak paham para musisi Indonesia tengah berduka menghadapi para pembajak? Saat Shawn Fanning dan Sean Parker meluncurkan situs Napster (1999) yang mempertemukan seluruh penggemar musik sehingga memungkinkan mempertukarkan album MP3 mereka lewat internet,musisi dan industri label Amerika berteriak.

Sontak penjualan CD album mereka merosot dan masa depan industri label dan musisi rekaman terancam.Namun itu hanya terjadi di Amerika.Bagaimana di sini? Sampai tahun 2000-an, industri label dan para musisi Indonesia justru tengah menikmati bulan madu. Pembajakan marak, tetapi saat itu (1999) angka penjualan yang dilaporkan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) berhasil mendekatiangka100jutakeping.

Namun semakin ke sini pembajakan pun semakin menggila.Pada tahun 2006, di tengah-tengah puncak kemunculan boys-band lokal, album yang dijual hanya 24 juta keping, lalu menjadi 19 juta (2007), dan tahun lalutinggalsekitar12juta– 14jutakeping. Benarkah orang Indonesia sudahgilamembajakataumengunduh secara cuma-cuma dari internet? Kalau itu benar, masa depan artis rekaman di sini pun ikut terancam. Namun, jangan-jangan cara para musisi mencari uang pun harus berubah.

Di manakah uang itu berada? Sebagian artis percaya uang itu masih tetap berada di dunia RBT (ring back tone). Beberapa informasi menyebutkan satu-dua artis berhasil mencapai unduhan sebanyak 5 juta klik (misalnya Vagetoz yang merupakan “lulusan”kontes musik sebuah rokok). Kalau CD-nya dilepas kemungkinan terjual 1 juta keping saja rasanya sulit di zaman ini.Sejak 2006, mencapai penjualan 1 juta keping tinggal impian.

Terakhir hanya Ada Band yang diberitakan berhasil menjual albumnya sebesar itu, setelahnya konsumsi musik bergeser ke RBT. Di dunia RBT, nama-nama baru pun bermunculan dan besar kemungkinan musisi bisa langsung berhubungan dengan operator telepon dan direct users. Anda mungkin tak pernah mendengar lagu-lagu buatan grupband Mocca. Namun, di Korea Selatan lagu-lagu buatan band asal Indonesia itu sangat digemari, lagu-lagu mereka ternyata sangat diminati.

Bahkan beberapa lagunya dipakai sebagai theme song sebuah reality show pada salah satu stasiun televisi Korea. Namun benarkah RBT mampu menggantikan isi kantong musisi? Lagi-lagi pertanyaan itu perlu dijawab dengan penuh kehati-hatian. Kalau posisi tawar musisi terhadap operator seluler lemah, bisa jadi nasib mereka akan sama-sebangun dengan produsen barang-barang konsumsi yang hanya menaruh produknya di gerai-gerai hipermarket. Margin yang mereka peroleh semakin hari akan tipis dan pembayarannya pun terhambat.

Lupakan Pembajak

Jadi apa yang harus dilakukan musisi? Sejumlah kalangan industri masih memakai cara berpikir 10 atau 20 tahun yang lalu, yaitu mencari solusi melalui perang hukum dengan para pembajak.Meski secara hukum para lawyer mengatakan “hukum harus ditegakkan” dan kita sepakat dengannya, realitas di lapangan menunjukkan pembajakan sulit dihentikan. Setelah gagal memberantas perdagangan CD musik ilegal,kini mereka harus berhadapan dengan para pengunduh dari dunia maya yang jauh lebih sulit diberantas.

Napster saja di Amerika Serikat sempat menghadapi tuntutan hukum sehingga bisnisnya mengalami perubahan. Di Amerika, orang sekarang mulai terbiasa membeli musik melalui internet secara legal. Model bisnisnya juga telah jauh berkembang. Setelah populer di internet,ternyata angka penjualan CD pun terkereknaik. Anda mungkin masih ingat dengan penyanyi berusia 47 tahun yang tiba-tiba terkenal dari audisi Britain’s Got Talent.Wajahnya tidak begitu menarik,tapi suaranya luar biasa bagus.

Penonton pun jatuh hati setelah menyaksikan perjuangannya di televisi dan dari jaringan situs video YouTube.Dalam waktu singkat angka penjualan CD-nya tercatat 5 juta keping. Dia menjadi ikon yang hebat. Itulah Susan Boyle yang kisahnya saya tulis sebagai pembuka pada buku Myelin(2010). Dapatkah musisi-musisi Indonesia keluar dari perangkap lama dan dengan kepala tegak memasuki alam berpikir baru yang tengah melanda dunia? Alam baru itu disebut Rolf Jensen sebagai The Dream Society, masyarakat pemimpi.

Manusia abad ke-21 ini bukanlah memberi produk atau legalitas, melainkan membeli cerita. Cerita tentang perjuangan membentuk identitas dan harapan. Jangan lagi kita bertanya bagaimana artis-artis bertampang bukan artis seperti Kangen Band atau Raja bisa berhasil menguasai dunia musik dan memiliki penggemar setia yang luar biasa. Penggemarpenggemar setia mereka yang di dunia remaja sebagian dikenal sebagai kelompok “Alay” menjadi pengikut mereka karena “cerita hidup”mereka.

Bagi mereka sukses adalah buah dari kerja keras dan itu patut menjadi anutan. Ketika cerita berakhir, popularitas artis pun menguap.Jadi sekali lagi cerita. Buatlah cerita yang heroik. Ungkapkan sejarah kejuangan Anda dalam sebuah perjalanan yang menarik, yang original. Jangan mengada-ada, apalagi berbohong. Di era digital ini semua yang bohong cepat terlacak. Jangan berjualan CD, sebab cara orang mengonsumsi musik telah berubah. Income seorang musisi bukan lagi didapat dari penjualan CD,melainkan dari produk-produk turunan karya musik mereka.

Saya sempat bertanya kepada Pandji Pragiwaksono berapa besar CD hip-hop yang menurut saya berisi pesan-pesan bagus dan dinyanyikan dengan baik pula itu terjual? Tidak banyak, hanya 3.000– 4.000 keping. Tapi apakah cuma konsumen sejumlah itu yang mengonsumsi lagu-lagu Pandji? Tidak. Saya percaya ratusan ribu orang pernah mendengarkan dan menyukai lagu-lagunya. Rezeki Pandji memang bukan berasal dari CD, tetapi tanpa musik,mungkin cerita hidup Pandji akan menjadi lain.

Dengarkanlah penggalan lain lirik lagu “Bajak Lagu Ini”. “Kita minta pendidikan gratis, tetapi kalau lagu dibajak mengapa nangis? Musik adalah pendidikan, pembebasan dari pembelengguan, kebodohan, keminderan, Jangan heran kalau orang banyak yang berharap bisa mengecap musik dengan gratisan.”(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345622/
Share this article :

0 komentar: