BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Akumulasi dan Eskalasi Ketidaknyamanan

Akumulasi dan Eskalasi Ketidaknyamanan

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 10.08

Telah 65 tahun merdeka,tapi tidak nyaman.Ketidaknyamanan kita terus berakumulasi, bahkan tereskalasi.Hal itu mencapai puncaknya hari-hari ini ketika tak ada satu pun kekuatan di negara ini yang bisa mengerem lonjakan harga kebutuhan pokok, termasuk pemerintah sebagai regulator.

Beberapa tokoh mengkritik situasi mutakhir itu.Menurut mereka, keadaan sekarang kacau balau. Saya sependapat dengan mereka. Wajar jika pemerintah dikritik. Bukankah kritik itu mengingatkan kita untuk realistis menyikapi fakta? Belum lama ini, Presiden sempat mengecam balik pers yang dituduhnya menjelek-jelekkan kinerja pemerintah.

Presiden kemudian meminta semua pihak tidak tutup mata atas banyak hal yang sudah dicapai walaupun Presiden sendiri mengatakan pihaknya terbuka atas kritik yang dialamatkan pada beberapa hal yang memang buruk. Memang, itu hak Presiden untuk membela kinerja pemerintahannya. Saya dan semua pihak harus menghormati hak serta sikap dan posisi yang diambil Presiden.

Itulah dinamika demokrasi. Saling kritik pemerintah/Presiden versus pers dan para analis bukan hal luar biasa.Karena itu,saya tak mau ikut-ikutan mengecam balik Presiden, misalnya dengan mengatakan Presiden terlalu sering curhat. Kalau saya dikritik, saya pun akan tampil menjelaskan apa yang perlu dijelaskan, tentu saja dengan respons yang proporsional.

Kritik kepada pemerintah, Presiden,dan para menterinya bukanlah hal yang mengada-ada, setidaknya untuk hari-hari ini. Bukan juga tanpa alasan riil. Kritik publik kepada Presiden dan para pembantunya mengacu pada fakta-fakta riil yang memengaruhi langsung beban hidup dan derajat kesejahteraan rakyat.

Sebab, fakta-fakta yang mengganggu kenyamanan hidup orang banyak itu bersumber dari atau disebabkan oleh “kehendak” pemerintah yang sering disebut dengan kebijakan itu. Pada akhirnya, rangkaian kritik masyarakat itu hanya bermuatan satu pesan yang sangat strategis kepada Presiden dan para menteri:

bahwa rangkaian kehendak pemerintah akhir-akhir ini telah mengakumulasi ketidaknyamanan hidup sebagian besar masyarakat kita, yakni mereka yang berpenghasilan tidak tetap, berpenghasilan pas-pasan, dan mereka yang miskin.Selain aspek keekonomian rakyat kebanyakan, rasa keadilan rakyat pun mulai terusik lagi sehingga mengeskalasi ketidaknyamanan itu.

Bukti Riil

Sebelumnya, alat-alat pemerintah yang berfungsi melakukan penegakan hukum mencampakkan rekomendasi dan keputusan sidang paripurna DPR tentang proses hukum skandal Bank Century. Penegak hukum mengklaim tidak cukup bukti.Ketidakyakinan publik terhadap integritas penegak hukum pun memuncak setelah mereka ingkar janji dalam perkara percobaan penyuapan terhadap pimpinan KPK dengan terdakwa Anggodo Widjaja.

Mereka akhirnya mengaku tak punya bukti rekaman pembicaraan telepon Ary Muladi-Ade Raharja. Padahal, publik mencatat bahwa kepada DPR,Polri maupun Kejaksaan Agung dengan yakin mengatakan memiliki rekaman dimaksud dan siap diperdengarkan manakala pengadilan memintanya. Lain lagi cerita kompor gas di dapur puluhan juta rumah tangga yang penggunaannya “dipaksakan” pemerintah kini malah berubah menjadi sumber teror.

Ledakan kompor terjadi di mana-mana dengan korban dan kerugian tidak sedikit. Hari-hari ini, masyarakat masih dihantui kemungkinan ledakan kompor di rumah. Kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji tak salah, tapi pelaksanaannya asal-asalan sehingga terjadi ekses. Keawaman puluhan juta ibu rumah tangga terhadap penggunaan kompor gas dan perlengkapannya tidak diperhitungkan.

Urgensi sosialisasi dan edukasi masyarakat tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Baru setelah terjadi serangkaian ledakan, masyarakat diberi pemahaman bahwa kompor gas dan perlengkapannya punya batas maksimal usia atau durasi pemakaian. Ketika durasi pemakaian jatuh tempo, tabung dan selang harus diganti. Pertanyaannya, mengapa halhal teknis seperti itu tidak diedukasi dan disosialisasikan sejak awal?

Mengapa risiko itu tidak diinformasikan secara berkesinambungan guna membangun kewaspadaan setiap rumah tangga? Kita ingat bahwa ketika program konversi serentak dimulai, kita hanya menyaksikan pembagian tabung gas di semua pelosok. Tidak ada edukasi tentang penggunaan kompor yang aman.Tidak juga ada informasi tentang usia pemakaian semua perlengkapan dapur itu.

Pun tidak ada penjelasan tentang risiko terjadi ledakan jika usia pemakaian terlampaui. Setelah korban berjatuhan dan kerugian yang tidak kecil, kita disadarkan bahwa pelaksanaan konversi bahan bakar di dapur itu ternyata asal-asalan. Kita makin prihatin karena pertanggungjawaban pemerintah begitu minimal. Bahkan menyalahkan masyarakat karena tidak segera mengganti perlengkapan yang sudah kedaluwarsa.

Ketidaknyamanan makin menjadi- jadi bagi jutaan keluarga dengan penghasilan pas-pasan dan mereka yang miskin karena harus membayar Rp35.000 untuk mengganti perlengkapan kompor gas. Cengkeraman suasana teror menjadi berkepanjangan karena pemerintah bukan hanya sangat lamban, tetapi juga bingung mencari solusi. Bahkan di televisi atau surat kabar, rakyat menyaksikan aksi saling menyalahkan di antara sesama pejabat pemerintah.Tak ada kementerian yang mau memikul tanggung jawab.

Tak Mau Peduli

Belum lagi teror ledakan kompor berakhir, pemerintah mewacanakan kenaikan harga energi di dalam negeri.Gelisah akan wacana itu, hampir semua komponen masyarakat, termasuk komunitas pengusaha, mengimbau pemerintah untuk tidak menaikkan harga energi.Tidak tanggung-tanggung, sebab diwacanakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL),harga gas,pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sampai kenaikan tarif tol.

Siapa sih yang bisa merasa nyaman dengan kenaikan harga atau tarif ini itu? Ketidaknyamanan kita menjadi berlipat ganda karena kenaikan TDL memicu kenaikan harga barang dan jasa. Bukannya mengada- ada,tetapi kurva kenaikan harga itu berbanding terbalik dengan daya beli rakyat.Kurva harga melesat ke atas, sementara daya beli rakyat menukik ke bawah. Kontradiksi dua kurva ini cukup jelas menggambarkan penderitaan banyak orang.

Seperti belum puas “menyiksa” rakyat, dimunculkan lagi isu kenaikan harga gas elpiji 3 kg. Saya menilai pemerintah seperti orang yang sangat cuek yang tidak mendengar erangan derita rakyat. Saya juga berpendapat bahwa pemahaman pemerintah tentang psikologi massa amat minim. Kalau kenaikan harga gas elpiji 3 kg direalisasikan sekarang, jangan kaget kalau langkah itu memicu gerakan berskala Tritura di tahun 1960-an.

Tentang lonjakan harga kebutuhan pokok sekarang ini, respons pemerintah benar-benar memprihatinkan saya dan banyak orang. Bayangkan, rakyat mengeluhkan lonjakan harga yang sudah di luar batas kewajaran, pemerintah malah menjawabnya dengan pernyataan bahwa stok kebutuhan pokok aman sampai Lebaran mendatang.

Para ibu rumah tangga mengumpat ketika dikatakan bahwa skala kenaikan harga masih dalam batas wajar. Menurut saya, jawaban seperti itu manipulatif, sama sekal tidak menyelesaikan masalah. Bahkan coba mengalihkan persoalan, yakni dari soal lonjakan harga ke isu stok pangan. Secara moral, perilaku regulator seperti itu tak layak dipuji.

Langkah Nyata

Di sejumlah forum dan dalam kesempatan kunjungan kerja ataupun reses ke daerah,saya sering disodori pertanyaan yang gampanggampang susah untuk menjelaskannya. Beberapa kali saya gelagapan ketika ditanya perihal nasib Susno Duadji yang whistle blower itu. Begitu juga saat ditanya isu rekening gendut oknum polisi.

Tak sedikit yang mempertanyakan apa yang bisa dilakukan DPR untuk menuntaskan beberapa kasus penggelapan pajak yang telah diungkap di ruang publik? Bahkan, terpilihnya Darmin Nasution sebagai Gubernur Bank Indonesia pun mengusik perhatian banyak orang. Sebab, pilihan itu dinilai sejumlah kalangan sebagai tidak masuk akal sehat.Kok bisabisanya DPR memilih Darmin,padahal DPR sendiri sebelumnya menilai Darmin sebagai sosok bermasalah karena posisinya dalam skandal Bank Century.

Ada yang berseloroh dengan mengatakan skandal Bank Century sendiri akhirnya benar-benar dibawa ke laut oleh para penegak hukum. Mereka sudah menyatakan bahwa tidak cukup bukti untuk memproses hukum skandal itu. Kalau unsur dalam DPR sendiri plus institusi penegak hukum sudah berani mencampakkan keputusan dan rekomendasi Sidang Paripurna DPR, bukankah sudah lebih dari cukup alasan bagi kita untuk gelisah karena potensi rusaknya tatanan negara kita? Saya pribadi menilai alat bukti perampokan Century lebih dari cukup.

Barangkali, Presiden dan para pembantunya menilai keadaan atau situasi sekarang sudah ideal. Namun, saya mengatakan dan memastikan bahwa keadaan serta situasi sekarang jauh dari ideal. Bahkan nyaris tidak keruan. Itu sebabnya saya sajikan beberapa fakta masalah mutakhir.Bukan hanya sebagai ilustrasi,tetapi dengan harapan pemerintah tidak terusmenerus mengingkari fakta tak menyenangkan itu. Selama bulan puasa Ramadan dan menuju persiapan perayaan Idul Fitri tahun ini,masyarakat sudah merasa sangat tidak nyaman.

Gerak naik harga diperkirakan berlanjut hingga mendekatnya momentum Idul Fitri. Akumulasi dan eskalasi ketidaknyamanan sekarang ini berimplikasi negatif terhadap Presiden dan para pembantunya.Masyarakat sering menggunjingkan dan mempertanyakan efektivitas kepemimpinan Presiden.

Presiden terkesan tak peduli dengan keluh kesah rakyat tentang lonjakan harga kebutuhan pokok. Sementara para menteri tampak tak berdaya menghadapi para pemain besar di pasar kebutuhan pokok. Muncul pertanyaan, di mana peran pemerintah sebagai regulator di pasar dalam negeri? Pasca pemberlakuan TDL baru, mulai muncul aksi protes di manamana. Pesannya jelas, turunkan harga! Pesan itu merefleksikan ketidaknyamanan hidup rakyat.(*)

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III,
Anggota Badan Anggaran DPR

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/345614/
Share this article :

0 komentar: