BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Menata Ulang Sistem Pendidikan Nasional

Menata Ulang Sistem Pendidikan Nasional

Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 12.47

Respons positif terhadap pembatalan Undang- Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) telah dinyatakan secara eksplisit oleh orang nomor satu di negeri ini (Presiden SBY).


Dalam rapat kabinet Senin (5/4), Presiden berpesan kepada Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh, bahwa ada atau tidaknya UU BHP, pemerintah tetap berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan nasional. “Kata Presiden, sekarang ini waktu yang bagus untuk menata dan mendesain ulang sistem pendidikan nasional,” ujarnya.

*** Makna pernyataan Presiden tersebut perlu ditangkap dengan mata hati yang jernih agar seorang Mendiknas beserta jajarannya mampu menindaklanjuti dengan membuat kebijakan yang selaras dengan komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan tersebut. Pada hemat saya, ada beberapa poin penting yang perlu mendapatkan perhatian untuk dijadikan sebagai jiwa (roh) pendidikan nasional. Pertama, perlu ada kesadaran kolektif sebagai bangsa untuk bersama-sama meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kita sadar bahwa hingga saat ini kualitas pendidikan masih rendah. Begitu banyak sarjana dihasilkan oleh perguruan tinggi, tetapi kecerdasan mereka jauh sebagaimana diharapkan.

Hal ini antara lain berindikasi dengan wawasan keilmuan yang sempit dan moralitas yang rendah.Alih-alih mereka menjadi pelita dan teladan kehidupan, umumnya justru cenderung larut ke dalam kehidupan yang pragmatis, hedonis, dan materialistis. Hal ini merupakan tantangan yang perlu diatasi. Kedua, kedaulatan nasional di bidang pendidikan.Pembatalan UU BHP bermakna sebagai ketiadaan kendala yuridis normatif sehingga bangsa ini menjadi leluasa dan berkesempatan menunjukkan jati diri serta kedaulatan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Kedaulatan ini amat penting sebagai benteng penyelenggaraan pendidikan nasional yang berbasis pada ideologi Pancasila.

Diakui atau tidak, ideologi asing, khususnya kapitalisme, selama ini telah secara intensif dan sistematis menggerogoti pengelolaan pendidikan sehingga muncul komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan. Ketiga, dalam kerangka ideologi pendidikan nasional, sesungguhnya pendidikan itu merupakan public goods dan bukan private goods. Pendidikan tidak boleh sekali- kali dijadikan komoditas yang dapat diperdagangkan sehingga muncul usaha bisnis berkedok pendidikan. Pemerintah justru mempunyai tanggung jawab penuh agar setiap komponen bangsa mempunyai akses untuk mendapatkan dan menikmati pendidikan tanpa ada diskriminasi berdasarkan kekayaan materiil (kemampuan membayar biaya pendidikan).

Dalam hubungan ini benar dan perlu dioperasionalkan pernyataan Wamendiknas Fasli Jalal bahwa hak masyarakat miskin untuk mendapatkan pendidikan yang layak tetap dijamin. Keempat, sistem pendidikan nasional (sisdiknas) merupakan wahana yang terhormat dan strategis untuk penyemaian ilmu yang bermanfaat dan merupakan bidan bagi lahirnya ilmuwan sejati. Melalui sisdiknas kita berharap akan lahir ilmuwan-ilmuwan yang berkarakter khas Indonesia sekaligus mampu mengubah kebudayaan dan peradaban dunia ke arah lebih maju. Hal demikian hanya akan terwujud apabila ilmu yang dipelajari dan diajarkan bermuatan nilai-nilai Pancasila dalam satu kesatuan utuh, sejak dari nilai ketuhanan, kemanusiaan sampai dengan keadilan.Inilah garansi bagi berkembangnya ilmu dan ilmuwan religius khas Indonesia dan terjauhkan dari sekularisasi keilmuan.

Dalam konteks ini, Pancasila perlu dikaji secara ilmiah dan menjadi bagian dari kurikulum pada semua jenjang pendidikan. Kelima, tidak boleh terulang adanya penyeragaman bentuk badan hukum penyelenggara pendidikan seperti diatur dalam UU No 9 Tahun 2009. MK telah memberikan rambu-rambu bahwa istilah badan hukum pendidikan dalam Pasal 53 ayat (1) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu,melainkan hanya sebutan dari fungsi penyelenggaraan pendidikan, artinya suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum.Konsekuensinya, pemerintah wajib mengapresiasi adanya keberagaman nama dan bentuk badan hukum penyelenggara pendidikan.

Bentuk apresiasi itu antara lain dengan memberikan fasilitas dan bantuan pembiayaan yang proporsional. Keenam, setiap badan hukum penyelenggara pendidikan wajib diberi otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan karakteristik masing-masing. Majelis Luhur Tamansiswa, pondok pesantren,Perguruan Muhammadiyah, dan berbagai penyelenggara pendidikan lain yang sangat beraneka perlu diberi otonomi untuk merumuskan visi dan misi masingmasing dalam bingkai ke-selarasan dengan nilai-nilai Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Setiap insan pendidikan wajib terus menjaga pemahaman akan keberagaman sebagai kekayaan bangsa dan atas dasar perbedaan itulah kita bisa saling berbagi pengetahuan serta melengkapi dengan keterampilan sehingga pendidikan menjadi lebih maju.

Dengan demikian, mereka tidak perlu dikontrol secara ketat dalam pengelolaan akademik maupun keuangan karena sesungguhnya otonomi pendidikan bukanlah bermakna swadana,melainkan swakelola. Ketujuh, tanggung jawab utama keberhasilan meningkatkan kualitas pendidikan tetap pada pemerintah. Tidak boleh ada pereduksian tanggung jawab tersebut melalui pembatasan kontribusi keuangan,apalagi disertai pelemparan tanggung jawab tersebut kepada peserta didik dan keluarganya. Kita sepantasnya menengok dan belajar dari negara lain yang sudah berhasil menggratiskan pendidikan bagi setiap warga negaranya.

*** Dengan memperhatikan ketujuh poin di atas,pola pikir pembenahan PTN yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) hendaknya dilakukan dalam sistematika berpikir yang mengedepankan isi dulu, baru kemudian dicari bentuk yang cocok dengan isi tersebut.Apa yang dimaksud isi adalah makna filosofis dan ideologis pendidikan nasional sebagaimana secara singkat dan padat terurai di atas.Analog dengan tuntunan dalam lagu Indonesia Raya, penataan ulang sisdiknas harus dimulai dulu dari ”bangunlah jiwanya” baru kemudian diikuti ”bangunlah badannya”.

Apakah nantinya bentuk badan hukum pendidikan itu Badan Layanan Umum (BLU) ataukah yang lain, perlu direkontruksi dan dimusyawarahkan secara terbuka di antara kementerian dan/atau lembaga terkait. Tanpa mengurangi peran dari instansi lain, paling tidak harus ada kesamaan persepsi dan jalinan hati antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Pendidikan Nasional sehingga kendala keuangan tidak lagi muncul dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Semua pelaku dan pemerhati pendidikan berharap, dalam waktu yang tidak lama, pemerintah telah berhasil membuat kebijakan- kebijakan penataan sisdiknas yang betul-betul sejalan dengan filosofi dan ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.Semoga.(*)

Prof Dr Sudjito, SH, MSi
Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316685/
Share this article :

0 komentar: