BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memusnahkan Sel-Sel Koruptor?

Memusnahkan Sel-Sel Koruptor?

Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 12.42

Memburu para pelaku korupsi yang menjadi mafia hukum di setiap lembaga negara dan lapis jabatan mungkin sama halnya memburu para teroris yang tidak jelas posisi persembunyiannya.


Betapa tidak, para koruptor memiliki keserupaan dengan para teroris.Cara kerjanya sembunyi-sembunyi dan dampak operasinya adalah kekerasan kemanusiaan dan keresahan publik. Bedanya para teroris memberi dampak yang kasatmata,langsung bisa dilihat dalam bentuk korban jiwa atau kerusakan bangunan fisik.Adapun para koruptor memberi dampak dalam bentuk hilangnya dana negara yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya.

Semakin banyaknya jumlah pengemis dan anak-anak jalanan secara kualitatif berkaitan dengan praktik kekerasan para koruptor tersebut. Korupsi pada perspektif ini adalah praktik kekerasan sebagaimana yang dilakukan kelompok teroris. Sehingga metode menghancurkan praktik korupsi sama halnya dengan memusnahkan praktik terorisme.

Sel-Sel Koruptor

Kelompok teroris yang saat ini belum benar-benar hilang dari Indonesia memiliki organisasi yang sangat rapi dan sulit dibasmi. Studi terorisme menemukan adanya pengorganisasian dalam bentuk sel-sel kecil yang memiliki wilayah operasi sendiri-sendiri. Jika satu sel tertangkap dan terbasmi, sel lain tetap dalam keadaan aman untuk meneruskan praktik kekerasannya. Jangan-jangan para koruptor memiliki pengorganisasian yang sama, yaitu sistem sel-sel kelompok koruptor. Setiap sel koruptor beroperasi pada wilayah yang khusus.

Terungkapnya Gayus Holomoan Tambunan, pegawai pajak pusat, akan membongkar satu sel kelompok koruptor. Paling tidak satu sel kelompok koruptor yang ada di lingkungan departemen pajak. Namun apakah ini berarti akan membongkar sel-sel kelompok koruptor lainnya di departemen pajak secara keseluruhan? Jawabannya menjadi tergantung pada integritas publik dan ketangguhan aparatur penegak hukum dalam menyisir para anggota sel koruptor. Secara umum dengan menggunakan tingkat korupsi di Indonesia yang masih tinggi,masuk lima besar negara terkorup di Asia menurut PERC, sel-sel koruptor akan tampak seperti noda-noda hitam yang rata di atas kertas putih.

Epistemologi pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bisa jadi berangkat dari fakta sel-sel koruptoryangratadanmengemudikan jalannya negara. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bisa dianalogikan sebagai Densus 88 Mabes Polri yang bertugas menemukan sel teroris,menangkap,menyerahkannya pada pengadilan, dan atau memusnahkannya di tempat. Berhadapan dengan sel-sel koruptor di berbagai lembaga negara, satgas mafia hukum perlu meniru cara kerja Densus 88 Mabes Polri. Tentu saja ini mensyaratkan kualitas organisasi yang super baik dan kuat sistem intelijennya. Persyaratan yang belum dimiliki oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

Kondisi ini mengharuskan Satgas mampu menciptakan sistem kerja sama dengan lembagalembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian,kejaksaan, dan KPK. Namun bagaimana jika di dalam lembaga-lembaga penegak hukum tersebut ternyata sel-sel koruptor juga telah tumbuh kuat? Jawaban normatifnya, karena pertanyaan itulah Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dibentuk.Satu organisasi khusus yang bisa bergerak cepat dan efektif dalam melacak kejahatan-kejahatan mafia hukum tanpa terbebani oleh birokrasi yang rumit.Namun jawaban normatif ini perlu ditindaklanjuti oleh Presiden SBY dengan memberi legitimasi hukum yang lebih kuat.Kepercayaan politik rakyat saat ini akan sangat tergantung pada keberhasilan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum membasmi sel-sel koruptor.

Sistem Sterilisasi

Jika kita menjadikan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sebagai kunci pemusnahan sel-sel koruptor dan sekaligus menjaga kepercayaan politik rakyat pada pemerintah maka perlu diciptakan sistem sterilisasi terhadap organisasi ini. Agar kinerja organisasi benar-benar bersih dan memiliki klaim integritas publik terhadap pemberantasan mafia hukum di Indonesia. Sistem sterilisasi ini juga salah satu yang harus disiapkan matang oleh Presiden SBY, selain landasan hukum yang lebih kuat. Sistem sterilisasi ini tujuannya memberi kontrol agar virus-virus yang disebarkan oleh sel-sel koruptor tidak masuk dan memengaruhi kinerja Satgas.

Lapis pertama dari sistem sterilisasi sudah dilakukan SBY dengan melakukan evaluasi pengalaman profesionalitas dan bukti integritas publik para anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Lapis kedua adalah dengan menyediakan mekanisme pengawasan publik yang bisa dilihat secara mudah seperti melalui televisi dan media cetak. Mekanisme pengawasan publik ini berkaitan dengan jalur keluar masuk kekayaan para anggota Satgas sehingga publik bisa menilai tingkat kredibilitas para anggota Satgas dalam pemberantasan sel koruptor. Lapisan ketiga,SBY perlu menyediakan jalur komunikasi diskursif antara publik dan Satgas.

Selama ini media televisi memberi ruang diskursif, tapi belum diorientasikan pada kepentingan sterilisasi terhadap para anggota Satgas,melainkan lebih pada pembahasan kasus,bukan secara khusus menyediakan ruang komunikasi bagi masyarakat yang ingin melakukan kontrol integritas para anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Presiden SBY perlu menyadari bahwa memperkuat eksistensi Satgas Pemberantasa Mafia Hukum dengan menciptakan sistem sterilisasi sekaligus menjawab berbagai wacana yang menyebut pembentukan tersebut hanya sebagai pencitraan politik semata.

Faktanya sel-sel koruptor tersebar luas di berbagai lembaga negara dan lembaga sosial di negeri ini. Ini sama halnya dengan membiarkan para teroris berkeliaran menciptakan kekerasan kemanusiaan sehingga berbagai langkah konkret memusnahkan sel-sel koruptor perlu ditindaklanjuti oleh komitmen politik pemerintah dan seluruh kekuatan politik negeri ini.(*)

Novri Susan
Dosen di FISIP Unair, Kandidat PHD di Doshisha University, Kyoto

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/316688/
Share this article :

0 komentar: