BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Lupa

Lupa

Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 12.34

Saya menghubungi dokter spesialis yang mengurusi penyakit lupa. Penyakit ini menggerogoti saya. Padahal saya bukan merupakan terdakwa di sidang pengadilan, apalagi hanya saksi seperti, misalnya, Nunun Nurbaeti Daradjatun dalam kasus cek pelawat. Kalau terjerat kasus hukum seperti itu, saya malah berdoa supaya kena “penyakit lupa”—maklum, aparat hukum kita sangat toleran dan percaya dengan “penyakit”ini.

Penyakit saya adalah lupa kalau sudah tua. Saya selalu merasa muda dan punya kemampuan yang belum bisa diwariskan kepada anak-anak muda. Ternyata, menurut dokter, ini bukan penyakit kronis.

Saya diberi contoh kasus paling anyar. Megawati sudah 18 tahun memimpin PDI Perjuangan—saya tak tanya bagaimana menghitungnya—apakah dia lupa kalau sudah tua dan terlalu lama menjabat? Tidak, kata dokter itu. Beliau sehat, masih bersemangat memekikkan kata “merdeka”, masih hafal rumusan dan falsafah Pancasila versi 1 Juni 1945.“Yang lupa justru orang lain, tak pernah lagi memekikkan kata ‘merdeka’, tak paham isi Pancasila 1 Juni, tak tahu apa itu marhaenisme,”kata dokter.

Saya tertawa sambil menyebutkan, dalam kasus itu, saya pun tak pernah lupa. Saya marhaenis sejati, ketika di sekolah menengah pertama dalam usia 14 tahun, saya Ketua Gerakan Siswa Nasional Indonesia, setiap hari meneriakkan kata-kata “marhaen menang, Pancasila jaya”. Pidato Bung Karno lebih mudah saya hafalkan dibanding pelajaran sekolah, karena memang harus saya jadikan bahan orasi untuk menghadapi “lawan politik”. Kami sering berkelahi secara kelompok untuk mempertahankan soekarnoisme, meskipun ke sekolah dengan telanjang kaki—karena era itu tak ada murid pakai sepatu di seluruh kecamatan.

Kalau itu contoh kasusnya, yang saya lupa berat adalah mewariskan soekarnoisme itu kepada anak-anak. Saya baru sadar sekarang, di keluarga, saya termasuk “the last soekarnoist”. Anak saya tak tahu kalau Pancasila 1 Juni 1945 itu bisa diperas menjadi Trisila, lalu diperas lagi menjadi Ekasila, yakni gotong-royong. Nah, misalkan Anda saat ini bergotongroyong memperbaiki got yang mampet, atau contoh lain yang lebih keren, bergotong-royong memboikot Sri Mulyani ke sidang parlemen, artinya Anda sudah ber-”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bagaimana hal itu bisa dihubungkan, saya lupa, kan sudah saya jelaskan, lupa sudah jadi penyakit.

Kenapa Megawati dasawarsa belakangan ini mengganti “marhaen” dengan “wong cilik”? Apa karena adiknya, Sukmawati, memimpin partai PNI Marhaenisme? Lupa lagi menyelidiki. Tapi, jika anak Anda ditanya, siapa marhaen yang dikagumi Bung Karno sehingga dijadikan “isme”, mungkin pula anak Anda tak paham. Lain halnya istilah “wong cilik”, pastilah kita tahu. Mereka gelandangan, pemulung, pekerja serabutan. Bukan koruptor, penilap pajak, penerima cek pelawat.

Terpikir saat ini, apakah Megawati lupa bahwa PDI Perjuangan terus merosot suaranya di setiap pemilu dalam tiga periode terakhir ini? Apakah dia lupa, dua kali mencalonkan diri sebagai presiden, kedua kalinya pula tidak menang? Apakah dia lupa bahwa anak-anak masa kini adalah anak yang modern, yang paham bagaimana sebuah organisasi—apalagi organisasi politik— harus dikelola? Barangkali begitu, sehingga Ibu Mega dengan bersemangat—sesekali menangis kecil—siap kembali memimpin PDI Perjuangan, siap meneriakkan kata “merdeka”.

Mungkin Ibu berpikir bahwa partai ini adalah warisan Bung Karno, yang hanya bisa dipimpin oleh “the soekarnoist”—sementara pewarisan ajaran Bung Karno itu sendiri sudah lama dilupakan. ●

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/04/11/ArticleHtmls/11_04_2010_003_002.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: