BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Uang Negara dan Bukan Uang Negara = Korupsi

Uang Negara dan Bukan Uang Negara = Korupsi

Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 11.04

Uang Negara dan Bukan Uang Negara = Korupsi

Perdebatan mengenai apakah objek penyelidikan dan penyidikan adalah
uang negara atau bukan uang negara telah berlangsung sejak pembahasan
Rancangan Undang-undang (Nomor 3 Tahun 1971) tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Jadi pro dan kontra saat ini, mengenai kasus bailout Bank Century,
bukan hal yang baru. Rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 yang dilengkapi
dengan kalimat, “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara,” dilatarbelakangi bahwa pembangunan nasional Indonesia
bertumpu pada pembangunan di bidang ekonomi untuk menciptakan
kesejahteraan rakyat.

Jika harta kekayaan negara (berasal dari APBN) dikorup maka berarti
mutatis mutandis, menghambat upaya mengambil hasil pajak yang
diperoleh dari rakyat dan sejatinya untuk kepentingan rakyat. Alasan
kedua, yang juga penting adalah paham negara kesejahteraan (welfare
state) masih mendominasi pemikiran terbanyak para ahli hukum dengan
jargon negara hukum sesuai dengan kehendak pembentuk UUD 1945.

Negara berperanan besar untuk memakmurkan rakyat. Dalam era
globalisasi, paham bahwa negara berperanan menyejahterakan rakyat
sudah tidak relevan lagi, terutama setelah Indonesia menyepakati masuk
ke dalam perjanjian perdagangan bebas dengan sistem deregulasi dan
nonproteksi terhadap produksi dalam negeri. Paham yang dominan dalam
era globalisasi saat ini adalah kapitalisme-liberalisme yang telah
“memaksakan”terjadinya privatisasi, sehingga negara hanya berperan
sebagai penjaga keamanan individu dan menjamin pengadaan seluruh
infrastruktur semata-mata (Gelinas,2003).

Liberalisasi menuntut negara untuk menjauhkan diri dari turut campur
dalam perkembangan kehidupan rakyatnya, kecuali sebatas apa yang
disebut Gelinas tersebut di atas.Paham negara dalam era globalisasi-
kapitalisme dan liberalisme tersebut juga telah merambah pada
pandangan terhadap penegakan hukum pada umumnya, pemberantasan korupsi
khususnya. Salah satu ciri pengaruh paham tersebut adalah membuka
akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk turut berperan serta
dalam proses penegakan hukum, bahkan sejak dimulainya penyidikan.

Dalam konteks paham kapitalisme dan liberalisme ini maka Konvensi PBB
tentang Pemberantasan Korupsi (2003) yang diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2006, menegaskan bahwa unsur “kerugian negara”
bukan merupakan unsur konstitutif terjadinya suatu tindak pidana
korupsi (Pasal 3 angka 2).Atas dasar konvensi tersebut, RUU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2009) pengganti UU Nomor 31 Tahun
1999 joUU Nomor 20 Tahun 2001 telah menghapuskan ketentuan yang
mensyaratkan pembuktian adanya “kerugian keuangan negara”dimaksud.

Rancangan undang-undang tersebut hanya memuat ketentuan mengenai suap
aktif dan suap pasif pejabat publik nasional dan pejabat publik asing;
menggelapkan atau menyalahgunakan harta kekayaan negara;
memperdagangkan pengaruh (trading in influence) oleh penyelenggara
negara; penyalahgunaan wewenang/jabatan; memperkaya diri sendiri
secara tidak sah (illicit enrichment);

suap di kalangan sektor swasta; dan penggelapan di sektor swasta;
pencucian uang; penadahan hasil kejahatan; dan menghalangi proses
peradilan pidana. Tindak pidana tersebut di atas sama sekali tidak
mensyaratkan adanya kerugian negara (lagi) dan sebagian merupakan
tindak pidana formal (cukup dengan pembuktian adanya perbuatan) dan
juga tindak pidana material (mensyaratkan adanya akibat dari suatu
perbuatan).

*** Perdebatan terkait Bank Century setelah diundangkannya RUU
Pemberantasan Korupsi di atas tidak akan terjadi lagi.Bahkan tidak
perlu ada lagi kontraksi antara hukum administrasi negara dan hukum
pidana. Di sisi lain, dengan RUU Pemberantasan Korupsi tersebut,
mengembalikan posisi dan pandangan hukum pidana ke dalam jalur yang
dianut sejak lama, yaitu menjalankan fungsi “ultimum remedium”, bukan
“primum remedium”.

Posisi ini mengedepankan perangkat sanksi hukum administratif ketika
pejabat publik menjalankan kebijakannya menyimpang dari tujuan
diberikannya wewenang tersebut oleh UU kepada yang bersangkutan,
sehingga menimbulkan kerugian bagi negara. Sebagai contoh, UU Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah sesuai dengan visi
Konvensi PBB Antikorupsi (2003) yang menegaskan, “Bendahara, pegawai
negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya
melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya
secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian
tersebut”(Pasal 59 ayat 2).

Pasal ini menerapkan sanksi administratif dan mengesampingkan sanksi
pidana. Pola kebijakan penegakan hukum termasuk di bidang keuangan
negara dalam UU Perbendaharaan Negara tersebut telah menganut paham
liberalisme modern yang menguatkan peranan korporasi dan masyarakat
sipil dibandingkan dengan peranan negara.

Paham ini justru mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan yang merugikan
kepentingan dunia usaha seperti suap baik terhadap pejabat publik
maupun di dalam sektor swasta dibandingkan perbuatan penjabat publik
yang telah merugikan keuangan negara; kecuali untuk perbuatan yang
menggelapkan harta kekayaan negara.

Apakah pemahaman baru tentang tindak pidana korupsi versi Konvensi PBB
Anti Korupsi (2003) pasca ratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006,
akan disetujui DPR atau ditolak, tentu memerlukan pengkajian kalangan
politisi untuk mengakhiri polemik tidak berkesudahan mengenai
terminologi dan pembuktian “kerugian keuangan negara” dalam penegakan
hukum tindak pidana korupsi.

Komisi III DPR perlu mempertimbangkan ekses negatif dalam praktik yang
menunjukkan dominasi peran negara (diwakili penuntut umum) dalam
menafsirkan “kerugian keuangan negara”yang sangat subjektif, bahkan
dalam kasus korupsi tertentu telah mengabaikan hasil temuan BPK/BPKP.

Di dalam pro dan kontra uang negara atau bukan uang negara, kebijakan
penegakan hukum pidana (criminal law policy) seharusnya menganut paham
lex specialis systematic, bukan hanya lex specialis semata-mata, dan
sekaligus mengutamakan fungsi hukum pidana sebagai “ulitimum remedium”
terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang administratif yang memuat
ketentuan pidana.

Keguncangan penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya selama ini yang selalu bermuara pada penuntutan tindak
pidana korupsi disebabkan karena penegak hukum (jaksa dan hakim) telah
mengabaikan peranan dan fungsi lex specialis systematic sebagaimana
dimuat di dalam ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah
UU Nomor 20 Tahun 2001.

Ketentuan tersebut secara eksplisit memerintahkan penegak hukum untuk
mengesampingkan penerapan ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 terhadap
kasus pelanggaran ketentuan UU Administratif (perbankan, pasal
modal,perikanan, dll) jika pelanggaran ketentuan tersebut bukan
merupakan tindak pidana korupsi. Jika boleh dikatakan, selama ini yang
terjadi adalah bias arah penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi
hanya karena praktisi hukum melupakan asasasas umum hukum pidana dalam
hubungannya dengan tindak pidana administratif.

Reformasi birokrasi tidak akan selesai dan berhasil dengan baik jika
selalu dikedepankan sanksi pidana,dan hal ini telah terjadi di mana-
mana,termasuk di China,di mana hukuman mati berulang-ulang
dilaksanakan dan seratus peti mati telah di-kuburkan, tetapi tetap
saja korupsi birokrasi berjalan tegak lurus.

Tidak akan terjadi Indonesia bebas korupsi jika sistem penyelenggaraan
negara membuka celah untuk korupsi dan miskin keteladanan dari
pimpinan elite birokrasi, penegak hukum, serta politisi, termasuk
satunya kata dan perbuatan. Juga tekanan akses publik ke dalam
birokrasi bukan satu-satunya solusi dari virus kemelut yang melanda
negeri ini, terutama sejak era reformasi; paling tidak efek yang
ditimbulkannya hanyalah bagai membangunkan orang dari tidur lelap
semata-mata.(*)

Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Pidana
Universitas Padjadjaran, Bandung

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/300743/
Share this article :

0 komentar: