BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Eko Prasojo: 100 Hari Bangun Fondasi?

Eko Prasojo: 100 Hari Bangun Fondasi?

Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 11.05

100 Hari Bangun Fondasi?

Tanggal 28 Januari 2010 pemerintahan SBY-Boediono genap berusia 100
hari. Banyak kalangan mengkritik tidak adanya capaian signifikan
selama 100 hari pemerintahan.

Bahkan ada pula yang telah mempersiapkan peringatan 100 hari tersebut
dengan demonstrasi.Di sisi lain pemerintah mengklaim telah
merampungkan hampir seratus persen target pemerintahan yang
diagendakan. Bagaimana memberikan penilaian terhadap kinerja
pemerintahan pada kurun waktu tersebut?

Waktu Konsolidasi

Apa yang istimewa dari tiap 100 hari pemerintahan yang baru di hampir
semua negara? Berbagai jawaban bisa diajukan, tetapi satu hal pasti
merupakan kesamaan bahwa awal waktu sebuah pemerintahan adalah masa
bulan madu (honeymoon period). Mengapa disebut sebagai periode bulan
madu? Karena pada dasarnya kurun tersebut merupakan waktu yang
diperlukan oleh sebuah pemerintahan untuk melakukan konsolidasi,
rekonsiliasi dan integrasi visi,misi, tujuan dan program yang akan
dicapai selama masa pemerintahan.

Bahkan jika dilihat siklus anggaran, maka 100 hari pemerintahan SBY-
Boediono berada di ujung tahun anggaran, yaitu saat semua agenda
pemerintahan sebenarnya sudah terencana dalam APBN dan APBD tahun
berjalan. Bahkan dapat dikatakan bulan Oktober sampai Desember lalu
sebenarnya merupakan bulan-bulan tutup buku dan pertanggungjawaban
penyelenggaraan pemerintahan, sehingga praktis tidak mungkin melakukan
hal-hal besar dalam pemerintahan.

Jika seratus hari pemerintahan adalah masa yang dibutuhkan untuk
membangun fondasi tim dan program pemerintahan, mengapa masa itu
menjadi demikian dramatisnya di Indonesia? Barangkali hal ini yang
menarik untuk diberikan analisis. Pemerintah sebenarnya sangat sadar
bahwa dalam seratus hari pemerintahan tidaklah mungkin melakukan
perubahan besar seperti yang diharapkan oleh masyarakat.

Tetapi kesadaran itu mengalami metamorfosis kepentingan, sehingga
politik pencitraan lebih menonjol ketimbang esensi target pemerintahan
itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari 15 program utama dalam seratus
pemerintahan SBY-Boediono yang sejatinya hanya merupakan peletakan
fondasi bagi terwujudnya keseluruhan tujuan di akhir pemerintahan
tahun 2014.

Di antara kelima belas program tersebut (1) pemberantasan mafia hukum,
(2) revitalisasi industri pertahanan, (3) penanggulangan terorisme,
(4) ketersediaan listrik, (5) penataan tanah dan tata ruang, (6)
peningkatan infrastruktur, (7) reformasi pendidikan, dan (8)
koordinasi antara pusat dan daerah. Jika diamati dan dipahami, program-
program utama tersebut adalah sesuatu yang mustahil bisa dicapai dalam
kurun waktu 100 hari pemerintahan.

Bahkan pemberantasan mafia hukum, misalnya, merupakan salah satu
agenda yang sangat berat untuk dilakukan karena menyangkut tidak saja
sistem penegakan hukum,tetapi juga perubahan budaya dan perilaku
penegak hukum yang tidak bisa dilakukan hanya dengan PO BOX layanan
pengaduan. Demikian pula persoalan tanah dan tata ruang adalah
persoalan ekonomi politik yang kronis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara kita.

Penulis tidak akan membahas lebih lanjut untuk masing-masing capaian
target dari program 100 hari tersebut, karena jelas rapornya akan
berwarna jika dilihat dari impactyang dihasilkan terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Lalu jika semua itu hanya merupakan program
konsolidasi dan peletakan fondasi bagi jalannya pemerintahan
selanjutnya, mengapa selalu dipersoalkan kinerja 100 hari
pemerintahan. Ada tiga jawaban yang diberikan.

Pertama, lemahnya komunikasi politik pemerintah untuk menjelaskan
target 100 hari pemerintahan dalam konteks target besar pemerintahan
secara keseluruhan selama lima tahun. Lemahnya komunikasi politik ini
juga disebabkan oleh niat yang besar untuk membuat politik pencitraan,
ketimbang esensi program itu sendiri.Sebenarnya hal ini berbahaya bagi
pemerintah karena bisa menyebabkan mispersepsi dan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap SBYBoediono yang dianggap gagal menciptakan quick
winsbagi masyarakat.

Kedua, 100 hari pemerintahan sering pula dijadikan sebagai komoditas
politik bagi oposisi untuk menjatuhkan citra pemerintahan yang
berkuasa dan memperkuat dukungan masyarakat bagi partai dan politisi
oposisi.Tidak mengherankan jika 100 hari pemerintahan selalu dikaitkan
dengan pergantian kabinet atau reshuffle kabinet, karena hal ini akan
berarti bagi para politisi lain untuk menduduki jabatan menteri.
Ketiga, ketidakpahaman masyarakat umum mengenai selukbeluk
pemerintahan juga bisa dimanfaatkan untuk memolitisasi kegagalan 100
hari pemerintahan.

Berbagai Faktor Distorsif

Pemerintah harus jujur mengakui bahwa 100 hari pemerintahan ini hanya
menjadi waktu konsolidasi dan peletakan fondasi pemerintahan.
Masyarakat harus mengetahui bahwa 100 hari pemerintahan untuk sebuah
perubahan yang mendasar adalah sebuah ilusi. Penulis sendiri melihat
berbagai faktor yang juga mengganggu jalannya pemerintahan selama 100
hari pemerintahan.

Meskipun demikian,tentu saja ada sejumlah penilaian yang bisa
diberikan. Pertama, kontrak kinerja menteri dengan Presiden ternyata
cukup mampu menggairahkan semangat kementerian untuk mencapai hal-hal
yang sudah disepakati. Bahkan penulis melihat ada kekhawatiran
sejumlah pejabat birokrasi pemerintahan jika tidak mampu memenuhi
kontrak menterinya dengan Presiden.

Sampai pada tahap itu program 100 hari pemerintahan dapat dikatakan
memberikan shock therapy terhadap birokrasi.Jika emosi ini bisa dijaga
oleh setiap menteri sampai tahun kelima,maka bukan tidak mungkin
target besar pemerintahan dapat dicapai.Hanya, penulis khawatir bahwa
pengalaman yang sudah lalu menunjukkan emosi semacam ini justru bisa
bertahan dalam 100 hari pertama saja.

Kedua, beberapa produk kebijakan, peta jalan, grand design, pola
dasar, dan strategi sebagai target 100 pemerintahan juga sudah rampung
dibuat. Meski demikian, perlu diberikan catatan bahwa keberhasilan
pemerintahan tidak berhenti diukur dari adanya kebijakan
saja,melainkan implementasi kebijakan tersebut. Ketiga, banyak hal
yang dapat dianggap sebagai faktor pengganggu dalam 100 hari
pemerintahan SBY-Boediono, mulai dari kasus Bibit-Chandra sampai hak
angket DPR pada kasus Bank Century.

Masalah-masalah tersebut jelas sangat menyita konsentrasi pemerintah
untuk menyukseskan program-program utama tersebut. Keempat,dalam
sistem pemerintahan yang terdesentralisasi,keberhasilan pemerintahan
bukan hanya diukur dari keberhasilan pemerintah pusat melalui
kementerian dan lembaga nonkementerian, tetapi
jugaolehpemerintahandaerah.

Bahkan dampak langsung kinerja pemerintahan terhadap kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat kerap merupakan hasil kerja nyata pemerintahan
daerah.Akhirnya penulis berharap seluruh pemangku kepentingan
menyadari bahwa 100 hari pemerintahan bukanlah obat segala persoalan,
melainkan peletakan fondasi pemerintahan.(*)

Eko Prasojo
Guru Besar dan
Ketua Program Pascasarjana
Ilmu Administrasi FISIP UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/300744/
Share this article :

0 komentar: