BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Toeti Adhitama: Harimau atau Anak

Toeti Adhitama: Harimau atau Anak

Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 10.50

DUA berita yang membawa pesan moral menyebar hampir bersamaan minggu
lalu. Yang satu tentang rencana razia anak-anak jalanan yang cana
razia anak-anak jalanan yang mungkin harus menjalani pemeriksaan badan
tak nyaman. Tujuannya meneliti terjadinya kekerasan seksual terhadap
mereka dan mengusahakan penanggulangannya. Menurut Komnas Perlindungan
Anak, dari 2.000 pengaduan kekerasan terhadap anak pada 2009, hampir
63% berupa kekerasan seksual. Dapat dibayangkan apa yang bisa terjadi
pada anak jalanan yang menjalani kehidupan liar di jalanan.

Berita yang juga menarik perhatian minggu lalu berkaitan dengan
rencana penawaran memelihara harimau dengan membayar Rp1 miliar.
Walaupun daerah perkotaan bukanlah habitat harimau, menjadikan harimau
binatang piaraan diharapkan membantu melestarikannya.

Pesan moral yang dibawa, dua berita itu sama-sama menunjukkan rasa
kepedulian. Yang satu peduli pada anak jalanan, yang lain peduli pada
satwa langka. Dua-duanya bermaksud baik, tetapi mengapa terasa ada
yang mengganjal? Meskipun tersiar bersamaan, dua berita itu seperti
datang dari dan diperuntukkan dua daerah kutub berlainan. Terasa ada
kontradiksi. Untuk kelas atas yang eksklusif, membayar sekian besar
untuk memelihara harimau kabarnya wajar. Kesuksesan dimanifestasikan
dalam berbagai bentuk; salah satunya dengan memelihara harimau. Untuk
kelompok kecil itu, memelihara satwa-satwa langka dirasakan sebagai
kebutuhan mengaktualisasikan kemampuan. Itu gambaran yang bertolak
belakang dengan proyeksi kemiskinan, seperti yang ditunjukkan ribuan
anak jalanan yang berkeliaran di jalan-jalan. Ketimpangan yang membuat
perasaan terganggu.
Kemiskinan sulit diatasi Jika dilihat dari segi persentase, penduduk
kita yang sangat kaya mungkin berjumlah tidak lebih dari 1%. Kelas
atas kurang-lebih 10%.
Selebihnya kelas menengah dan bawah. Sementara itu, fluktuasi
perpindahan dari satu kelompok ke kelompok lain terus terjadi, sesuai
dengan peningkatan pendidikan dan turun-naiknya pertumbuhan ekonomi.

Bila kita menyimak peta kependudukan yang beredar sekarang, dari
penduduk mendekati 235 orang pada 2010, jumlah yang berusia di bawah
18 tahun (anak-anak) sekitar sepertiganya.
Adapun penduduk yang ber-KTP mencapai 170 juta orang. Menurut
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dari jumlah yang ber-KTP
tersebut, sekitar 102 juta bekerja. Selebihnya terdiri dari penganggur
terbuka, bukan angkatan kerja, mereka yang bersekolah, dan mereka yang
mengurus rumah tangga. Di antara yang bekerja, 76 juta berpendidikan
SMP ke bawah, mayoritasnya (55,6 juta) tamatan SD. Bisa diasumsikan
bahwa mereka yang berpendidikan minim tentunya berpenghasilan minim;
berarti sekitar sepertiga total penduduk termasuk golongan yang kurang
beruntung. Belum lagi kalau menghitung kaum penganggur.

Karena itu, tidak berlebihan kalau kita mencemaskan situasi ini. Lebih-
lebih kalau kita mengabaikan masalah pendidikan anak-anak yang
jumlahnya sudah melebihi 75 juta. Mengenai masalah yang disebut
terakhir itu, kita bisa memakai analogi `harimau atau anak' untuk
mengingatkan bahwa ketimpangan yang demikian mencolok akan terus ada
selama perhatian kita tidak terfokus pada pengentasan rakyat dari
kemiskinan dan peningkatan pendidikan.
Kemiskinan akan terus melilit.
Pertumbuhan ditelan ledakan penduduk Sistem perekonomian dunia pada
waktu ini, seiring dengan berlakunya pasar bebas, mengunggulkan
pertumbuhan ekonomi. Itu sama sekali tidak keliru. Tanpa pertumbuhan
ekonomi, kekayaan apa yang bisa didistribusikan kepada rakyat? Itu
dalih lama dan klise sebab faktanya kita memang menyalahi asas
demokrasi kalau distribusi kekayaan negara tidak merata. Situasinya
bisa lebih parah kalau kita tidak mengawasi ledakan penduduk.
Kekhawatiran seperti ini selalu ada. John D Rockefeller III
(1906-1978), pendiri The Asia Society dan filantropis yang menaruh
perhatian besar pada masalah kependudukan, pernah mengatakan, "Hal
paling mendesak untuk pembangunan kesejahteraan adalah membatasi
peningkatan jumlah penduduk. Di kebanyakan negara berkembang, sebagian
besar pertumbuhan ekonomi ditelan oleh ledakan penduduk yang
mengakibatkan masyarakatnya terjebak dalam kemiskinan. Peningkatan
penduduk yang terlalu cepat menghalangi kemampuan negara untuk maju
memenuhi tuntutan rakyat yang terus meningkat agar bisa hidup lebih
sejahtera."

Faktanya, pertumbuhan penduduk tercepat umumnya justru terjadi di
negara-negara berkembang yang paling tidak mampu merespons gejala
negatif ini. Sekadar catatan, Indonesia sebagai negara berpenduduk
terbesar keempat di dunia termasuk salah satu negara yang paling
banyak menampung orang miskin dunia.
Jumlah angkatan kerja tidak terdidik terus bertambah. Lima tahun lagi
penduduk kita diperkirakan meningkat sekitar 13 juta orang lagi,
menjadi 248 juta; sepuluh tahun sesudahnya menjadi lebih dari 261
juta. Jumlah petugas lapangan KB di masa Orde Baru mencapai 35 ribu
orang. Keefektifannya menyebabkan program KB kita waktu itu menjadi
rujukan negaranegara lain. Di masa reformasi, jumlah petugas lapangan
menyusut menjadi 19 ribu orang.
Sekarang sudah bertambah menjadi 21 ribu orang.

Maka analogi `harimau atau anak' semoga mengingatkan kita agar siap
dan mampu menghadapi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.
Demi terwujudnya kesejahteraan yang kita impikan selama ini, kita
memang harus bergegas mengatasi peningkatan pesat penduduk--salah satu
masalah mendesak yang menghambat laju pembangunan kesejahteraan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2010/01/29/ArticleHtmls/29_01_2010_017_003.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: