Idola Theatri
Sir Francis Bacon (1561–1626), filsuf Inggris pelopor metodologi ilmu
pengetahuan, menyatakan bahwa salah satu hal yang harus dihindari
untuk mencapai kebenaran adalah idola theatri,yaitu penggunaan
kekuasaan untuk menyalahkan atau membenarkan sesuatu.
Idola theatri berasal dari kata theatre (panggung sandiwara).Benar
atau salah di panggung ditentukan oleh sutradara, pemain mengikuti
saja petunjuk sutradara, dan penonton pun meyakini bahwa apa yang
disaksikannya di panggung adalah kebenaran semata.Penonton bisa
bersimpati pada tokoh protagonis dan membenci tokoh antagonis,sehingga
kalau bertemu di mal pun, si pemain antagonis dicemooh. Padahal di
luar panggung si pemain tidak ada hubungannya sama sekali dengan
perannya di atas panggung.
*** Akhir-akhir ini Indonesia disuguhi teater besar-besaran dengan
lakon “Pansus Bank Century”. Entah siapa yang menjadi sutradara,
tetapi anggota-anggota Pansus (yang sering bertengkar sesama mereka
sendiri) memosisikan diri sebagai tokoh-tokoh protagonis, dan mereka
menempatkan Boediono dan Sri Mulyani,khususnya, dan beberapa tokoh
lain seperti Marsillam Simanjuntak sebagai tokoh-tokoh antagonis.
Tokoh-tokoh protagonis seakanakan duduk di singgasana tinggi di atas,
sedangkan tokoh antagonis duduk di bawah sambil ditudingtuding. Tokoh
protagonis adalah pemeriksa, tokoh antagonis adalah terperiksa.Tokoh
protagonis bertanya dan tokoh antagonis harus menjawab seperti yang
diinginkan oleh pemeriksa. Padahal di luar teater itu, Boediono adalah
wakil presiden RI dan Sri Mulyani adalah menteri keuangan terbaik
sedunia.
Malah konon,Marsillam terbukti sebagai utusan presiden ketika hadir
dalam rapat KKSK,maka SBY pun akan dipanggil sebagai mantan presiden
(disamakan saja dengan Boediono yang mantan gubernur BI), tidak peduli
bahwa di luar panggung SBY masih presiden RI yang dipilih oleh lebih
dari 60% suara.Tak peduli bahwa RI tidak menganut sistem parlementer.
Karena itu UUD 1945 pun tidak menempatkan DPR lebih tinggi dari
presiden. Tetapi kenyataannya lain.
Media massa bahkan menyatakan bahwa ada kemungkinan yang makin lama
makin besar,bahwa DPR akan memakzulkan Presiden. Suatu hal yang
sebenarnya tidak mungkin dilakukan karena tidak ada aturannya dalam
undangundang. Tetapi siapa yang peduli pada undang-undang, kan semua
ini cuma sandiwara. Seperti kata Sir Francis Bacon, pertunjukan teater
seperti itu pasti diidolakan dan dipercaya oleh penontonnya.
Tidak mengherankan kalau mahasiswa, anak sekolah, bahkan orang-orang
yang tidak pernah sekolah sekalipun ikut-ikutan gemas dan merobeki,
membakari, dan menginjak-injak gambar-gambar Boediono dan Sri Mulyani
(sebagian sudah ditambahi gigi taring seperti Drakula si pengisap
darah rakyat, dan tutup mata sebelah seperti One Eye Jack, si perompak
uang rakyat).
Padahal tokoh-tokoh yang protagonis itu, di luar panggung tidak sama
rekam jejaknya. Ada yang memang berkelas,politisi jago dan menguasai
masalah ekonomi; tetapi ada juga yang baru jadi politisi kemarin sore
dan tidak tahu tentang ekonomi,tetapi mengaku pernah belajar ekonomi.
Bahkan John Pantau,presenter kocak dari salah satu stasiun televisi
swasta,pernah mewawancarai beberapa anggota DPR yang terhormat, yang
tidak hafal Pancasila, tidak hafal syair lagu Indonesia Raya,bahkan
tidak tahu apa itu hak angket dan hak interpelasi. Tetap saja mereka
ini semua dipukul rata saja sebagai tokoh-tokoh protagonis. Si senior
yang cerdas dihargai sama saja dengan yang masih belum disapih
mamanya.
*** Lakon “PansusBankCentury” bukan yang pertama. Sebelumnya ada lakon-
lakon lain di “teater”Indonesia seperti “Bibit-Chandra”,“Antasari” dan
“Prita”, dan dengar-dengar katanya masih akan ada lakon “Susno
Duadji”.Akhir dari lakon-lakon itu tentu saja ada yang memuaskan untuk
sebagian penonton dan ada yang tidak, ada yang happy ending, ada yang
tidak.Namanya juga teater. Ada yang senang,ada yang tidak.
Tetapi intinya,menurut Bacon, nasibbangsatidakbolehditentukan
berdasarkan idola theatriseperti itu. Sementara di luar sana masih
banyak anak jalanan yang rentan dimangsa oleh “babe-babe”, jalur jalan
dan jembatan putus diterjang longsor dan banjir, bayi-bayi terus
menerus dilahirkan di kalangan orang miskin karena tidak ada pelayanan
KB lagi,Indonesia diserang flu burung,flu babi,dan seterusnya, tanpa
ada yang mengurus karena para anggota DPR yang terhormat terus sibuk
merecoki pemerintah dengan menggelar berbagai teater.
Padahal, sampai hari ini jika ada apa-apa, dari bencana alam sampai
kebakaran, dari masalah anak jalanan sampai masalah TKW di luar
negeri, semua orang menuding pemerintah yang harus bertanggung jawab,
dan menyelesaikan persoalan. Jadi pemerintah yang harus menanggung
segalanya. Padahal, kontribusi masyarakat sendiri sangat
terbatas,kecuali ikut pemilu.
Giliran membayar pajak, banyak yang pura-pura tidak tahu, tetapi
giliran mengkritik pemerintah, semua jadi sok tahu, Jelas ini bukan
sikap yang sehat untuk membangun republik ini, yang masih membutuhkan
partisipasi dari segenap komponen rakyat, bukan hanya pemerintah,
tetapi juga seluruh rakyat.
Maka untuk membangkitkan kembali kinerja bangsa Indonesia untuk
menghadapi tantangan di zaman ini,kita perlu meninggalkan sandiwara-
sandiwaraan yang penuh kepalsuan. Lebih baik kita kembali ke khitah
masing-masing dan bekerja serius, dan profesional: sedikit bicara,
banyak kerja, insya Allah bangsa ini bisa maju pesat.(*)
Sarlito Wirawan Sarwono
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/300751/
Sarlito Wirawan: Idola Theatri
Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 10.57
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar