BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » M Alfan Alfian: Testimoni Century dan Rashomon

M Alfan Alfian: Testimoni Century dan Rashomon

Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 11.05

Testimoni Century dan Rashomon


Oleh M Alfan Alfian

Ketika masyarakat mulai agak bingung dengan testimoni-testimoni atas
pihak-pihak yang dimintai keterangan oleh Panitia Khusus DPR tentang
Hak Angket Bank Century, tiba-tiba saya ingat salah satu kisah dalam
kumpulan cerita pendek Ryunasuke Akutugawa, Rashomon (edisi bahasa
Inggris, 1952).

Dalam cerita pendek berjudul In a Grove (Di dalam Belukar), Akutugawa
mengisahkan suatu ”kebenaran” yang dipaparkan oleh berbagai saksi di
dalam memandang suatu kasus matinya sesosok lelaki. Kesaksian penebang
kayu di hadapan penyidik berbeda dengan yang dipaparkan pendeta
pengembara.

Kesaksian seorang bekas penjahat, nyatanya berbeda juga dengan yang
dipaparkan sang perempuan tua. Pengakuan Tajomaru pun berbeda dengan
paparan pengakuan dosa seorang perempuan yang datang ke Kuil Kiyomizu.
Akhirnya, semua kesaksian itu berbeda dengan kisah roh lelaki yang
mati itu melalui mulut Biksuni Kuil Shinto.

Pembaca yang jeli pun perlu berkernyit dahi untuk berpihak pada versi
testimoni mana yang paling benar. Apakah kisah roh itu yang paling
otentik? Apakah roh itu benar-benar bebas kepentingan? Kalaupun satu
testimoni dengan yang lain dirangkai, maka apakah konstruksi cerita
barunya yang paling benar?

Satu peristiwa dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Testimoni-
testimoni dalam kisah Akutugawa tersebut ada yang saling menyokong,
tetapi ada yang saling menegasikan, sebagaimana pula hal itu terjadi
pada testimoni-testimoni para saksi kasus Century di hadapan panitia
angket.

Merangkai susunan testimoni-testimoni ”mozaik kebenaran” tersebut agak
susah, mengingat perspektif masing-masing yang dimintai keterangan
berbeda-beda, di mana publik susah membedakan mana ”kebenaran” dan
mana pula yang ”pembenaran”. Pada akhirnya, kelak, ”kebenaran politik”-
lah yang akan mengakhiri proses politik di DPR tersebut.

Hal ini bisa dipahami, mengingat testimoni-testimoni di DPR itu
merupakan bagian dari proses politik, yang tentu saja tak dapat
dilepaskan sepenuhnya dari subyektivitas politik antarkekuatan
(kepentingan) yang ada. Arena ”pengadilan politik” DPR itu tak lepas
dari perspektif ”pertunjukan politik”, yang karena terbuka untuk
publik, maka berkembanglah banyak versi opini dan penilaian.

”Kebenaran politik”, bukan tanpa risiko, apalagi manakala berjumpa
dengan ”rasa keadilan dalam masyarakat”. Masyarakat berharap bahwa
”kebenaran politik” itu tidak terlalu jauh bedanya dengan ”kebenaran
yang sejati” (bener kang sejati, yang sebenarnya alias substansial),
satu dari berbagai versi kebenaran: kebenaran versi diri sendiri
(benere dewe, versi testimoni), kebenaran orang banyak (kebenaran
demokratis alias benere wong akeh), dan kebenaran hukum formal
(kebenaran yang dibatasi oleh pasal-pasal di dalam perundang-undangan
yang kerap mengabaikan konteks sosiologis). Bukankah demikian?

Proses politik diharapkan tidak mengingkari proses hukum, mengingat
negara kita adalah negara hukum. Inilah prinsip kunci dari dinamika
proses politik yang hiruk pikuk di DPR. Tentu saja semua berharap
ujung dari proses politik Century di DPR tidak berlanjut menjadi suatu
krisis politik yang tak terkontrol (out of control).

Roh kejujuran

Dalam kisah Akutugawa, karena susahnya mencari titik temu kebenaran
dari berbagai versi testimoni, hakim terpaksa mencari versi kebenaran
lain, langsung dari roh lelaki yang mati. Barangkali roh orang mati
dapat berkata lebih jujur dari saksi-saksi yang masih hidup.
Persoalannya, apakah kesaksian roh orang mati dapat dipegang sebagai
suatu ”kebenaran”?

Salah satu pesan sederhana tetapi mendasar dari kisah Akutugawa itu
adalah betapa mahal harga kejujuran, dan betapa ia harus terus dicari
walaupun dari roh orang mati. Ini merupakan suatu kritik sosial yang
sangat serius: apakah sudah tak ada lagi kejujuran di tengah-tengah
orang yang masih hidup? Lebih detail lagi, apakah sudah tak ada lagi
kejujuran di tengah-tengah orang-orang politik?

Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) suka membawa tema yang
mengaitkan antara politik dan kejujuran walaupun kejujuran dalam
politik itu menyisakan pertanyaan serius: kejujuran versi siapa?
Sayangnya, tidak ada pertanda yang nyata yang dapat dilihat orang,
seperti kisah Pinnokio, yang semakin ia berbohong, maka hidungnya
semakin panjang. Kejujuran semakin ”susah diukur”, tetapi barangkali
masih bisa dirasakan oleh ”hati nurani kolektif”.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/28/02395134/testimoni.century.dan.rashomon.

--
Share this article :

0 komentar: