BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Lambang Trijono: Etika Politik di Skandal Century

Lambang Trijono: Etika Politik di Skandal Century

Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 11.22

Etika Politik di Skandal Century


Lambang Trijono

Kasus Bank Century memunculkan problem pelik bagaimana melakukan
penilaian etika politik terhadap sesuatu kasus kebijakan yang salah
dan memintai pertanggungjawaban aktor dan agensi yang terlibat dalam
pengambilan kebijakan.

Mencermati pertanyaan anggota Pansus, kebanyakan mengarah ke pencarian
aktor atau agensi yang bertanggung jawab. Sedikit yang ke persoalan
substansi materi dan proses pengambilan kebijakan, sehingga bisa
dijadikan landasan menilai etika politik di balik skandal Century.

Pertanyaan yang mengabaikan substansi materi dan bagaimana proses
pengambilan keputusan diambil hanya akan membenturkan masalah pada
tembok kekuasaan. Hal ini akan membuat skandal sulit diungkap karena
begitu kompleksnya realitas struktur relasi-relasi kekuasaan seputar
kebijakan bail out Bank Century.

Ini tercermin dalam debat kesaksian karena begitu refleksifnya
perdebatan antara anggota Pansus dan Marsillam Simanjuntak dalam
persidangan, Senin (18/1) malam. Pertanyaan-pertanyaan dilandasi
prasangka-prasangka pre-politik hanya memusat pada aktor atau agensi,
seakan kandas di tengah jalan.

Kesaksian Marsillam yang lebih mengarahkan pada substansi materi
daripada ke aktor atau agensi membuat banyak anggota Pansus harus
berpikir dan memutar haluan pertanyaan dua atau tiga kali putaran
sehingga bukan kejelasan aktor dan agensi yang didapat, melainkan
pembelajaran bagi anggota Pansus bagaimana seharusnya melakukan
penilaian atas etika politik dari suatu kebijakan.

Debat anggota Pansus dengan Marsillam menyadarkan kita betapa
kompleksnya sebuah pengambilan kebijakan. Tidak hanya ditentukan oleh
tindakan aktor atau agensi, tetapi juga substansi materi kebijakan dan
realitas struktur kekuasaan di mana kebijakan diambil.

Perdebatan itu mengingatkan pada debat klasik soal kekuasaan dan
penentuan kebijakan dalam ilmu politik, apakah cukup sahih melihat
pengambilan kebijakan hanya pada tindakan aktor atau agensi penentu
kebijakan tanpa melihat atau mengabaikan realitas struktur relasi
kekuasaan. Hubungan aktor dengan struktur kekuasaan merupakan realitas
sangat kompleks dalam politik. Robert Dahl dan kawan-kawan, termasuk
dalam aliran behaviorist, menekankan pentingnya melihat peristiwa
penentuan kebijakan (decision making events) untuk menilai tindakan
aktor atau agensi dalam politik.

Kekuasaan, bagi Dahl, mengikuti Max Weber, adalah tindakan memengaruhi
pihak lain yang tak sepaham lewat berbagai cara, baik persuasi atau
koersi, sehingga pihak lain mengikuti. Konsepsi kekuasaan dalam arti
power over atau berwajah/berdimensi tunggal (one dimension/face of
power) menjadikan tindakan aktor dan agensi sebagai pihak paling
otonom bertanggung jawab atas kebijakan.

Konsepsi demikian problematik, mengingat pengambilan kebijakan selalu
terkait dengan sesuatu obyek dan hanya bisa beroperasi, atau
termobilisasi (get mobilized), melalui bekerjanya relasi-relasi atau
jejaring kekuasaan. Berbeda dengan Dahl; Bachrach serta Baratz dan
kawan-kawan termasuk dalam aliran non-decisionist, lebih melihat
pentingnya realitas struktur relasi-relasi kekuasaan untuk menilai
sebuah kebijakan. Bahwa kebijakan selalu memerlukan dukungan kolektif
berbagai aktor atau agensi merupakan realitas politik, tidak bisa
dinafikan.

Konsepsi ini, atau disebut kekuasaan berdimensi/berwajah dua (two
dimension/faces of power), membawa konsekuensi pentingnya realitas
struktur obyektif di luar aktor penentu kebijakan. Sering kali terjadi
bahwa pemegang otoritas tidak otonom dalam penentuan kebijakan dan
lebih tunduk pada situasi realitas obyektif sekitar. Atau sebaliknya,
pemegang otoritas tidak mengambil sesuatu keputusan, atau berkeputusan
untuk tidak mengambil keputusan (decide not to decide) meskipun tahu
pihak lain akan mengikuti.

Di sisi lain, aktor atau agensi bukan pemegang otoritas, bisa saja
terlibat aktif pengambilan keputusan karena yakin pendapatnya akan
dipakai, atau mungkin terpaksa bersikap diam karena tahu pendapatnya
tak akan dipakai. Bahkan, bisa saja mereka tetap menyampaikan pendapat
meskipun tahu pendapatnya tidak akan dipakai karena mempunyai
rasionalitas tersendiri terhadap substansi materi yang dibicarakan
tanpa memedulikan realitas struktur kekuasaan sekitar.

Begitu bervariasinya rasionalitas aktor atau agensi ini membuat sulit
bagi kita menentukan siapa yang bertanggung jawab atas sesuatu
pengambilan kebijakan. Pada kasus Century, Marsillam tampaknya di
posisi terakhir. Sebagaimana dikemukakan dalam kesaksian, berpegang
pada prinsip dialektika ide dalam setiap pengambilan keputusan, ia
hadir untuk mengajukan kontra argumentasi guna menguji kesahihan
materi pengambilan keputusan meski sadar pendapatnya belum tentu
dipakai sebab dikemukakan bukan dalam pertemuan penentuan kebijakan.

Etika demokrasi

Pertanyaan muncul kemudian, apakah aktor atau agensi non-decisionist
ini, baik pemegang otoritas yang tunduk pada situasi obyektif atau
bukan pemegang otoritas yang kontra, bisa terbebas dari tanggung jawab
ketika diketahui kebijakan ternyata salah? Sulit kita menilai. Aliran
non-decisionist lebih melihat tanggung jawab sebagai masalah moral
politik. Sepanjang legitimate, maka sah-sah saja. Hanya jika tidak
legitimate, atau tidak mendapat dukungan nilai, maka
pertanggungjawaban aktor atau agensi bisa dilakukan.

Pembedaan soal legitimate dan tidak adalah penting, sebab bila hanya
bersandar pada tindakan aktor, kebijakan politik akan selalu menemui
jalan buntu karena konflik kepentingan permanen terjadi di antara
aktor politik. Pertarungan akan selalu mendekati situasi zero-sum,
yang kuat selalu memenangi pertarungan dan pihak lemah selalu menjadi
korban. Pertempuran politik semacam itu sering kali menghiasi panggung
politik kita. Ketika konflik di kalangan elite terjadi, bawahan atau
rakyat selalu menjadi korban. Derajat relativitas otonomi aktor atau
agensi di hadapan struktur relasi-relasi kekuasaan di sini sangat
menentukan.

Ketika terjadi konflik dalam penentuan kebijakan, pemegang otoritas
secara dominatif tak jarang melakukan berbagai manipulasi politik
sehingga bawahan atau rakyat menjadi korban dan memikul beban impitan
dominasi pemegang otoritas. Sistem demokrasi menyadari konflik politik
permanen ini dengan segala impitan dominasi yang ditimbulkan. Karena
itu, dalam sistem demokrasi, penentuan kebijakan selalu harus dimintai
pertanggungjawaban. Ini dilakukan bukan hanya pada aktor atau agensi
penentu kebijakan, tetapi juga akuntabilitas substansial dan proses
penentuan kebijakan.

Kita bertekad menegakkan kehidupan politik demokratis. Dalam kasus
Century tak terkecuali, harus ada pertanggungjawaban secara
demokratis. Bukan hanya aktor penentu kebijakan, tetapi juga
pertanggungjawaban substansi materi kebijakan dan proses penentuan
kebijakan.

Lambang Trijono Dosen Fisipol UGM

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/23/04200520/etika.politik.di.skandal..century.
Share this article :

0 komentar: