BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Hikmahanto: Ihwal Kriminalisasi Kebijakan

Hikmahanto: Ihwal Kriminalisasi Kebijakan

Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 11.13

Ihwal Kriminalisasi Kebijakan



Oleh Hikmahanto Juwana

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dalam wawancara khusus
dengan Harian Kompas, SCTV, dan Radio Elshinta, Minggu (24/1) malam,
menyampaikan agar langkah pemerintah dan Bank Indonesia mengucurkan
dana talangan ke Bank Century tidak dikriminalisasi.

Sejumlah anggota DPR, pakar, dan penggiat antikorupsi tidak setuju
dengan pendapat Presiden. Kebijakan (policy) berbeda dengan
kebijaksanaan meski keduanya terkait dengan pengambilan keputusan.
Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan keputusan, sedangkan
kebijaksanaan merupakan keputusan yang bersumber dari diskresi yang
dimiliki pejabat yang berwenang.

Dalam konteks kenegaraan, kebijakan dapat bersifat umum ataupun
khusus. Kebijakan yang bersifat umum, antara lain, kebijakan luar
negeri, kebijakan pertahanan, kebijakan fiskal, dan kebijakan
pemberantasan korupsi. Kebijakan yang bersifat khusus, antara lain,
kebijakan rekonstruksi pascatsunami, penyaluran subsidi kepada orang
yang berhak, dan kebijakan ujian nasional.

Sementara kebijaksanaan secara sederhana dapat dicontohkan sebagai
polisi yang mengarahkan lalu lintas untuk berjalan melawan arus yang
seharusnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi kemacetan. Apa yang
dilakukan oleh polisi tersebut tentu melanggar hukum. Namun, atas
dasar diskresi yang dimiliki, polisi sebagai pejabat yang berwenang
diperbolehkan untuk membuat kebijaksanaan yang melanggar aturan demi
kemaslahatan yang besar.

Bila dicermati dalam penalangan Bank Century oleh Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK), keputusan yang diambil lebih tepat bila
dikategorikan sebagai suatu kebijakan daripada kebijaksanaan.
Sebagaimana disampaikan oleh Presiden, keputusan penalangan merupakan
kebijakan untuk menyelamatkan dunia perbankan dan perekonomian
nasional dari krisis.

Benar atau salah

Kebijakan yang menjadi basis dari sejumlah keputusan di sektor publik
diambil karena kewenangan yang dimiliki oleh seseorang yang memegang
jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Presiden, menteri,
gubernur, bupati, camat hingga ketua rukun tetangga dalam hal dan
situasi tertentu berwenang dan diharuskan mengambil kebijakan yang
disertai dengan keputusan.

Pascapengambilan kebijakan dan keputusan, maka evaluasi pun dapat
dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan oleh atasan langsung, DPR terhadap
pemerintah seperti dalam penalangan Bank Century, bahkan oleh pers dan
publik. Bila evaluasi atas kebijakan dan keputusan dilakukan, agar
fair, tentunya harus berdasar situasi dan kondisi ketika kebijakan
serta keputusan tersebut diambil. Bila kebijakan serta keputusan masa
lalu dievaluasi dengan kacamata hari ini, maka bisa jadi apa yang
telah diambil akan salah semua.

Di sini, pentingnya Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century
memperoleh data, fakta, dan informasi dari berbagai pihak yang
terlibat untuk dapat merekonstruksi situasi dan kondisi ketika
kebijakan serta keputusan diambil.

Hasil evaluasi atas kebijakan dan keputusan secara garis besar dapat
dibagi dalam dua kategori. Benar atau salah. Menjadi pertanyaan apakah
hasil evaluasi yang menyatakan suatu kebijakan berikut keputusan salah
dapat mengakibatkan pengambil kebijakan terkena sanksi pidana? Jawaban
atas hal ini membawa kontroversi.

Sanksi pidana?

Dalam ilmu hukum, bila berbicara tentang kebijakan, keputusan berikut
para pelakunya, maka akan masuk dalam ranah hukum administrasi negara.
Hukum administrasi negara tentu harus dibedakan dengan hukum pidana
yang mengatur sanksi pidana atas perbuatan jahat.

Bila kebijakan serta keputusan dianggap salah dan pelakunya dapat
dipidana, maka ini berarti kesalahan dari pengambil kebijakan serta
keputusan merupakan suatu perbuatan jahat (tindak pidana). Ini tentu
tidak benar.

Pada prinsipnya kesalahan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan
tidak dapat dipidana. Dalam hukum administrasi negara tidak dikenal
sanksi pidana. Sanksi yang dikenal dalam hukum administrasi negara,
antara lain, teguran baik lisan maupun tertulis, penurunan pangkat,
demosi dan pembebasan dari jabatan, bahkan diberhentikan dengan tidak
hormat dari jabatan.

Meski demikian, terhadap prinsip umum bahwa kebijakan serta keputusan
yang salah tidak dapat dikenai sanksi pidana, terdapat pengecualian.
Paling tidak ada tiga pengecualian.

Pertama, adalah kebijakan serta keputusan dari pejabat yang
bermotifkan melakukan kejahatan internasional atau dalam konteks
Indonesia diistilahkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat.
Dalam doktrin hukum internasional yang telah diadopsi dalam peraturan
perundang-undangan di sejumlah negara, kebijakan pemerintah yang
bertujuan melakukan kejahatan internasional telah dikriminalisasikan.

Adapun kejahatan internasional yang dimaksud ada empat kategori yaitu
kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan perang
agresi.

Kedua, meski suatu anomali, kesalahan dalam pengambil kebijakan serta
keputusan secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh di Indonesia adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal
165 Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. Ketentuan
tersebut memungkinkan pejabat yang mengeluarkan izin di bidang
pertambangan dikenai sanksi pidana.

Ketiga adalah kebijakan serta keputusan yang bersifat koruptif atau
pengambil kebijakan dalam mengambil kebijakan serta keputusan
bermotifkan kejahatan. Di sini yang dianggap sebagai perbuatan jahat
bukanlah kebijakannya, melainkan niat jahat (evil intent/mens rea)
dari pengambil kebijakan serta keputusan ketika membuat kebijakan.
Contohnya adalah pejabat yang membuat kebijakan serta keputusan untuk
menyuap pejabat publik lainnya. Atau kebijakan yang diambil oleh
pejabat karena ada motif untuk memperkaya diri sendiri atau orang
lain.

Dalam contoh terakhir inilah, sejumlah anggota Pansus Bank Century
berpijak. Tindakan ini dapat dipahami karena mereka hendak memvalidasi
kecurigaan publik bahwa kebijakan yang diambil berindikasi koruptif
atau memperkaya orang lain, termasuk partai politik tertentu.

Namun, apabila indikasi ke arah tersebut tidak ada, jangan kemudian
kebijakan serta keputusan yang dianggap salah pascadievaluasi
dipaksakan untuk dikenai sanksi pidana. Apabila ada pemaksaan, tentu
akan menyulitkan aparat penegak hukum dalam ranah hukum pidana. Pada
akhirnya kasus Chandra dan Bibit akan terulang kembali.

Hikmahanto Juwana Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/27/02542773/ihwal.kriminalisasi.kebijakan
Share this article :

0 komentar: