BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gamawan: Honor dari BPD Bukan Korupsi

Gamawan: Honor dari BPD Bukan Korupsi

Written By gusdurian on Jumat, 29 Januari 2010 | 11.13

KPK tetap menganggap rawan korupsi.
-- Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menganggap kepala daerah
penerima honor dari bank pembangunan daerah (BPD) tak tergolong
korupsi. Mereka justru dibolehkan menerima honor tersebut selaku salah
satu pemegang saham yang terlibat dalam penentuan kebijakan BPD. "Apa
tidak wajar kalau diberi honor?" kata dia di kantornya akhir pekan
lalu.

Sebagian daerah diduga menyimpan dana anggaran pendapatan dan belanja
daerah di BPD. Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan kepala daerah
tersebut setiap bulan menerima fee dari bank tersebut. Pendapat
Gamawan itu bertolak belakang dengan pendapat Komisi Pemberantasan
Korupsi. Komisi menganggap pemberian fee itu rawan korupsi.

Komisi antikorupsi menyatakan enam BPD memberikan fee kepada kepala
daerah untuk kepentingan pribadi.Tapi KPK tak menjelaskan waktu
pemberiannya.

Menurut Gamawan, kebijakan BPD yang mengikutkan kepala daerah antara
lain penetapan anggaran BPD, loan-to-deposit ratio, dan non-performing
loan.
Mereka diikutkan pula dalam rapat pemegang saham dan rapat tahunan.

Lembaga penggiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch mengecam
pernyataan Gamawan. Koordinator Divisi ICW Ibrahim Fahmi Badoh menilai
kepala daerah tak perlu mendapat honor komisaris bank itu."Posisi itu
melekat dan menjadi kewajiban kepala daerah," kata Fahmi.
"Kalau boleh, berarti pendapatan Menteri BUMN sangat besar karena
namanya tercantum di semua BUMN."

Gamawan mengklaim sudah menjelaskan pendapatnya kepada Wakil Ketua KPK
Bidang Pencegahan Haryono Umar. Meski demikian, Haryono membantahnya.
Haryono mengaku belum sekali pun bertemu dengan Gamawan."Tidak ada
penjelasan, baik secara formal maupun informal,"kata Haryono.

Menurut Haryono, penentuan penentuan unsur pidana korupsi dalam kasus
pemberian fee dan bunga bank tidaklah berada di tangan menteri,
melainkan domain aparat penegak hukum. Hingga kini KPK belum definitif
memutuskan unsur pidana dalam kasus tersebut.

"Saat ini kami masih melakukan fungsi pencegahan dan mengimbau para
kepala daerah mengembalikan dana tersebut ke kas negara,"ujarnya.

Haryono menjelaskan, langkah pencegahan tersebut merujuk pada sejumlah
bantalan hukum. Beberapa di antaranya merujuk pada ketentuan Undang-
Undang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah. "Setiap kepala daerah dilarang menerima rabat maupun
upeti dari siapa pun.
Uang negara tidak boleh digunakan untuk memperkaya diri
sendiri,"ujarnya.

Guna memastikan unsur pidana tersebut, kata Haryono, KPK telah
menjalin kerja sama dengan Bank Indonesia dan Badan Pemeriksa
Keuangan. Kerja sama yang ditempuh dengan BI sejak Agustus tahun lalu
direspons dengan mengeluarkan instruksi yang melarang bank penyimpan
APBD untuk memberikan fee dan bunga bank kepada para kepala daerah.
"Kasus itu juga masih diaudit oleh BPK," katanya. PRAMONO | RIKY
FERDIYANTO

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2010/01/25/ArticleHtmls/25_01_2010_006_004.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: