Kesalahan Hermeneutis Pendirian Teokrasi Abad XXI
Ioanes Rakhmat PEMIKIR KRISTEN LIBERAL, TINGGAL DI JAKARTA
Saya sungguh heran melihat kenyataan bahwa umat bermacam agama di
dunia dewasa ini, di bawah komando para pemimpin rohani mereka,
berhasrat kuat untuk mengubah negara mereka yang semula bukan sebuah
negara teokratis menjadi sebuah negara teokratis! Kenyataan ini tidak
hanya dapat kita lihat sedang terjadi belakangan ini di negara
Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi juga di negara
supermodern adidaya yang namanya Amerika Serikat, yang bagian terbesar
penduduknya tentu saja masih akan mengaku beragama Kristen, apa pun
bentuk dan isi kekristenan yang mereka akui itu.
Di Indonesia, negara yang saya paling kenal di antara semua negara
lainnya di dunia masa kini, berbagai kalangan "muslim syariah"sedang
bahu-membahu membangun berbagai bentuk kerja sama jangka menengah dan
jangka panjang untuk menjadikan negeri ini suatu negara teokratis
Islami, negeri yang UUD-nya akan berupa syariah Islam, atau berupa
hukum-hukum dan ajaran-ajaran keagamaan yang ditarik langsung dari Al-
Quran dan hadis Nabi.
Di Amerika Serikat, kalangan Kristen Injili fundamentalis, atau yang
juga dikenal sebagai kalangan "Kristen sayap kanan", yang jumlahnya
minimal berkisar 100 juta sampai 150 juta orang, juga sedang berjuang
dalam jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan Alkitab,
atau lebih spesifik lagi Sepuluh Perintah Musa, The Ten Commandments,
sebagai UUD negara besar itu.
Yang hendak saya ingatkan sesungguhnya adalah bahwa usaha-usaha keras
untuk menjadikan Indonesia atau Amerika Serikat sebagai suatu negara
teokratis di abad XXI ini muncul, terutama karena telah terjadi suatu
kesalahan mendasar dan berbahaya dalam pengajaran tentang bagaimana
memahami, menafsirkan, dan menerapkan Kitab Suci, suatu pengajaran
keliru yang telah diberikan atau diindoktrinasikan sejak masa kanak-
kanak setiap orang beragama. Sesungguhnya, pendirian sebuah teokrasi
pada zaman modern ini adalah suatu kesalahan hermeneutis, yang dibuat
hanya oleh kalangan literalis skripturalis.
Literalis skripturalis Kalangan literalis skripturalis memandang Kitab
Suci atau tradisi-tradisi kuno pramodern yang berbasis Kitab Suci
sebagai pedoman satu-satunya bagi manajemen semua aspek kehidupan
masyarakat, khususnya bagi manajemen kehidupan politik masyarakat.
Ketika Kitab Suci dipakai sebagai pedoman satu-satunya, kalangan ini
mengikuti saja apa yang mentah-mentah tertulis di dalamnya, whatever
the cost. Sebab, bagi kalangan literalis skripturalis, segala "firman
Allah"yang sudah ditulis dalam Kitab Suci pasti tidak bisa salah,
selalu relevan dan kekal adanya. Mereka tidak mau mengakui bahwa
antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan dunia modern abad XXI
terbentang sebuah jurang sejarah (atau "jurang waktu","jurang
kronologis") dan sebuah jurang kebudayaan yang lebar dan dalam, yang
keduanya mustahil bisa diseberangi begitu saja oleh siapa pun yang
hidup dalam zaman modern.
Dengan adanya dua kesenjangan ini, pemindahan begitu saja dunia kuno
pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI akan menimbulkan suatu
anakronisme yang berbahaya. Anakronisme itu berupa suatu clash, suatu
benturan keras dan membinasakan, di antara dua kebudayaan: kebudayaan
kuno pramodern yang sangat asing ("an alien culture") dan kebudayaan
modern yang sudah biasa dijalani ("a familiar culture"). Kebudayaan
kuno pramodern yang antidemokrasi dan kebudayaan modern yang
prodemokrasi.
Kebudayaan kuno pramodern yang tidak menghargai HAM serta kesetaraan
gender dan kebudayaan modern yang membela HAM dan memberlakukan
kesetaraan gender. Kebudayaan kuno pramodern yang dengan keras
memberlakukan hukuman potong tangan, pemecutan, dan perajaman dan
kebudayaan modern yang melarang keras serta sudah meniadakan hukuman
potong tangan, pemecutan, perajaman, dan seterusnya."Clash of
civilizations" yang ditimbulkan oleh kalangan literalis skripturalis
ini menunjukkan bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan
hermeneutis yang sangat serius dan fatal! Benturan dua kebudayaan atau
dua peradaban ini, antara yang kuno pramodern dan yang modern, terjadi
karena kalangan literalis skripturalis, sesuai dengan posisi mereka,
tidak menjalankan suatu hermeneutik yang critical historical, suatu
hermeneutik historis kritis.
Historis kritis Nah, orang-orang yang memakai pendekatan critical
historical terhadap Kitab Suci tidak akan pernah menjadi orang-orang
literalis skripturalis. Mereka tidak akan pernah dengan gegabah
menyatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya pedoman bagi penataan
seluruh kehidupan manusia.
Mereka tak akan berpendapat bahwa apa pun yang tertulis dalam Kitab
Suci harus mentah-mentah dan begitu saja diikuti dan dilaksanakan.
Mereka tak akan berpikir bahwa apa pun yang ditulis dalam Kitab Suci
akan selalu relevan dan berlaku abadi sampai dunia kiamat. Kalangan
ini sungguh-sungguh mengakui dan menerima adanya kesenjangan sejarah
dan kesenjangan kebudayaan antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan
dunia modern abad XXI.
Karena itu, mereka tidak akan pernah mau memindahkan begitu saja dunia
kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI.
Karena itu, mereka juga akan dapat dengan lega dan rela dan dengan
penuh tanggung jawab menyatakan ada banyak pandangan Kitab Suci yang
sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan modern abad XXI.
Karena itu, mereka sungguh-sungguh menghindari anakronisme ketika
mereka hendak memahami Kitab Suci dalam suatu konteks kehidupan modern
abad XXI; dan mereka juga tidak mau menimbulkan suatu benturan keras
di antara dua peradaban atau dua kebudayaan: kebudayaan dan peradaban
kuno pramodern Kitab Suci dan kebudayaan dan peradaban modern abad
XXI.
Kalangan yang memakai pendekatan historis kritis dalam memahami Kitab
Suci memandang bahwa setiap teks Kitab Suci tidak muncul begitu saja,
seolah diturunkan langsung sebagai wahyu dari surga, dari Allah dan
para malaikat-Nya. Ketika mau memahami sebuah teks Kitab Suci, mereka
mempertimbangkan dengan sangat teliti dan saksama segala faktor insani
yang berperan dalam melahirkan teks itu. Kesaksamaan dan ketelitian
dalam mempertimbangkan semua faktor insani inilah yang disebut sebagai
criticism (berasal dari kata Yunani krinein, bahasa Inggrisnya "to
judge", yang artinya "memutuskan dan menjatuhkan penilaian berdasarkan
sekian pertimbangan yang matang dan multidimensional").
Seseorang yang memakai pendekatan kritis memandang bahwa setiap teks
Kitab Suci lahir atau ditulis dengan terikat pada konteks sejarah
masing-masing pada zaman dulu. Karena itu, bagi mereka, untuk memahami
suatu teks Kitab Suci dengan benar dan dengan bertanggung jawab, teks
ini harus pertama-tama ditempatkan dalam konteks sejarah kelahirannya
dulu, di dunia kuno pramodern. Karena ditulis dalam suatu konteks
sejarah masa lampau dan terikat kuat pada konteks sejarah ini, setiap
teks Kitab Suci tidak bisa begitu saja dipindahkan dan diberlakukan
apa adanya di dalam suatu konteks kehidupan modern masa kini yang
sudah sangat jauh berbeda dari konteks kehidupan kuno pramodern. Ihwal
apakah suatu teks Kitab Suci relevan atau sudah tidak relevan lagi
dalam suatu kehidupan modern, dengan demikian, harus dipertimbangkan
dengan sangat teliti dan kritis. Jika langkah-langkah critical dan
historical ini dilakukan si penafsir pada masa kini, berarti si
penafsir ini melakukan penafsiran sebuah teks Kitab Suci secara
historis kritis.
Pendekatan historis kritis terhadap Kitab Suci, yang disertai dengan
pengenalan mendalam terhadap kehidupan manusia modern abad XXI dan
terhadap pengalaman baik dan pengalaman buruk yang telah dijalani
manusia dalam sejarah, akan membuat setiap orang beragama tidak mau
begitu saja memindahkan pandangan-pandangan kuno pramodern Kitab Suci
ke dunia modern abad XXI.
Karena itu, pantaslah, kalangan cerdik pandai yang memakai pendekatan
historis kritis terhadap Kitab Suci dan yang memiliki kesadaran kritis
dalam menimbangnimbang segi baik dan segi buruk masa lampau manusia,
akan berdiri di garis terdepan dalam menolak usaha-usaha mengubah
Indonesia atau Amerika Serikat menjadi negara teokratis. Sebuah negara
yang akan dibangun kalangan literalis skripturalis politis di atas
fondasi-fondasi ajaranajaran Kitab Suci dan hukum-hukum keagamaan yang
dibuat di zaman kuno pramodern yang sudah sangat asing bagi orang yang
hidup di zaman modern abad XXI.
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2009/12/04/ArticleHtmls/04_12_2009_012_002.shtml?Mode=1
Ioanes Rakhmat PEMIKIR KRISTEN LIBERAL, TINGGAL DI JAKARTA
Saya sungguh heran melihat kenyataan bahwa umat bermacam agama di
dunia dewasa ini, di bawah komando para pemimpin rohani mereka,
berhasrat kuat untuk mengubah negara mereka yang semula bukan sebuah
negara teokratis menjadi sebuah negara teokratis! Kenyataan ini tidak
hanya dapat kita lihat sedang terjadi belakangan ini di negara
Indonesia, yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi juga di negara
supermodern adidaya yang namanya Amerika Serikat, yang bagian terbesar
penduduknya tentu saja masih akan mengaku beragama Kristen, apa pun
bentuk dan isi kekristenan yang mereka akui itu.
Di Indonesia, negara yang saya paling kenal di antara semua negara
lainnya di dunia masa kini, berbagai kalangan "muslim syariah"sedang
bahu-membahu membangun berbagai bentuk kerja sama jangka menengah dan
jangka panjang untuk menjadikan negeri ini suatu negara teokratis
Islami, negeri yang UUD-nya akan berupa syariah Islam, atau berupa
hukum-hukum dan ajaran-ajaran keagamaan yang ditarik langsung dari Al-
Quran dan hadis Nabi.
Di Amerika Serikat, kalangan Kristen Injili fundamentalis, atau yang
juga dikenal sebagai kalangan "Kristen sayap kanan", yang jumlahnya
minimal berkisar 100 juta sampai 150 juta orang, juga sedang berjuang
dalam jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan Alkitab,
atau lebih spesifik lagi Sepuluh Perintah Musa, The Ten Commandments,
sebagai UUD negara besar itu.
Yang hendak saya ingatkan sesungguhnya adalah bahwa usaha-usaha keras
untuk menjadikan Indonesia atau Amerika Serikat sebagai suatu negara
teokratis di abad XXI ini muncul, terutama karena telah terjadi suatu
kesalahan mendasar dan berbahaya dalam pengajaran tentang bagaimana
memahami, menafsirkan, dan menerapkan Kitab Suci, suatu pengajaran
keliru yang telah diberikan atau diindoktrinasikan sejak masa kanak-
kanak setiap orang beragama. Sesungguhnya, pendirian sebuah teokrasi
pada zaman modern ini adalah suatu kesalahan hermeneutis, yang dibuat
hanya oleh kalangan literalis skripturalis.
Literalis skripturalis Kalangan literalis skripturalis memandang Kitab
Suci atau tradisi-tradisi kuno pramodern yang berbasis Kitab Suci
sebagai pedoman satu-satunya bagi manajemen semua aspek kehidupan
masyarakat, khususnya bagi manajemen kehidupan politik masyarakat.
Ketika Kitab Suci dipakai sebagai pedoman satu-satunya, kalangan ini
mengikuti saja apa yang mentah-mentah tertulis di dalamnya, whatever
the cost. Sebab, bagi kalangan literalis skripturalis, segala "firman
Allah"yang sudah ditulis dalam Kitab Suci pasti tidak bisa salah,
selalu relevan dan kekal adanya. Mereka tidak mau mengakui bahwa
antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan dunia modern abad XXI
terbentang sebuah jurang sejarah (atau "jurang waktu","jurang
kronologis") dan sebuah jurang kebudayaan yang lebar dan dalam, yang
keduanya mustahil bisa diseberangi begitu saja oleh siapa pun yang
hidup dalam zaman modern.
Dengan adanya dua kesenjangan ini, pemindahan begitu saja dunia kuno
pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI akan menimbulkan suatu
anakronisme yang berbahaya. Anakronisme itu berupa suatu clash, suatu
benturan keras dan membinasakan, di antara dua kebudayaan: kebudayaan
kuno pramodern yang sangat asing ("an alien culture") dan kebudayaan
modern yang sudah biasa dijalani ("a familiar culture"). Kebudayaan
kuno pramodern yang antidemokrasi dan kebudayaan modern yang
prodemokrasi.
Kebudayaan kuno pramodern yang tidak menghargai HAM serta kesetaraan
gender dan kebudayaan modern yang membela HAM dan memberlakukan
kesetaraan gender. Kebudayaan kuno pramodern yang dengan keras
memberlakukan hukuman potong tangan, pemecutan, dan perajaman dan
kebudayaan modern yang melarang keras serta sudah meniadakan hukuman
potong tangan, pemecutan, perajaman, dan seterusnya."Clash of
civilizations" yang ditimbulkan oleh kalangan literalis skripturalis
ini menunjukkan bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan
hermeneutis yang sangat serius dan fatal! Benturan dua kebudayaan atau
dua peradaban ini, antara yang kuno pramodern dan yang modern, terjadi
karena kalangan literalis skripturalis, sesuai dengan posisi mereka,
tidak menjalankan suatu hermeneutik yang critical historical, suatu
hermeneutik historis kritis.
Historis kritis Nah, orang-orang yang memakai pendekatan critical
historical terhadap Kitab Suci tidak akan pernah menjadi orang-orang
literalis skripturalis. Mereka tidak akan pernah dengan gegabah
menyatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya pedoman bagi penataan
seluruh kehidupan manusia.
Mereka tak akan berpendapat bahwa apa pun yang tertulis dalam Kitab
Suci harus mentah-mentah dan begitu saja diikuti dan dilaksanakan.
Mereka tak akan berpikir bahwa apa pun yang ditulis dalam Kitab Suci
akan selalu relevan dan berlaku abadi sampai dunia kiamat. Kalangan
ini sungguh-sungguh mengakui dan menerima adanya kesenjangan sejarah
dan kesenjangan kebudayaan antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan
dunia modern abad XXI.
Karena itu, mereka tidak akan pernah mau memindahkan begitu saja dunia
kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI.
Karena itu, mereka juga akan dapat dengan lega dan rela dan dengan
penuh tanggung jawab menyatakan ada banyak pandangan Kitab Suci yang
sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan modern abad XXI.
Karena itu, mereka sungguh-sungguh menghindari anakronisme ketika
mereka hendak memahami Kitab Suci dalam suatu konteks kehidupan modern
abad XXI; dan mereka juga tidak mau menimbulkan suatu benturan keras
di antara dua peradaban atau dua kebudayaan: kebudayaan dan peradaban
kuno pramodern Kitab Suci dan kebudayaan dan peradaban modern abad
XXI.
Kalangan yang memakai pendekatan historis kritis dalam memahami Kitab
Suci memandang bahwa setiap teks Kitab Suci tidak muncul begitu saja,
seolah diturunkan langsung sebagai wahyu dari surga, dari Allah dan
para malaikat-Nya. Ketika mau memahami sebuah teks Kitab Suci, mereka
mempertimbangkan dengan sangat teliti dan saksama segala faktor insani
yang berperan dalam melahirkan teks itu. Kesaksamaan dan ketelitian
dalam mempertimbangkan semua faktor insani inilah yang disebut sebagai
criticism (berasal dari kata Yunani krinein, bahasa Inggrisnya "to
judge", yang artinya "memutuskan dan menjatuhkan penilaian berdasarkan
sekian pertimbangan yang matang dan multidimensional").
Seseorang yang memakai pendekatan kritis memandang bahwa setiap teks
Kitab Suci lahir atau ditulis dengan terikat pada konteks sejarah
masing-masing pada zaman dulu. Karena itu, bagi mereka, untuk memahami
suatu teks Kitab Suci dengan benar dan dengan bertanggung jawab, teks
ini harus pertama-tama ditempatkan dalam konteks sejarah kelahirannya
dulu, di dunia kuno pramodern. Karena ditulis dalam suatu konteks
sejarah masa lampau dan terikat kuat pada konteks sejarah ini, setiap
teks Kitab Suci tidak bisa begitu saja dipindahkan dan diberlakukan
apa adanya di dalam suatu konteks kehidupan modern masa kini yang
sudah sangat jauh berbeda dari konteks kehidupan kuno pramodern. Ihwal
apakah suatu teks Kitab Suci relevan atau sudah tidak relevan lagi
dalam suatu kehidupan modern, dengan demikian, harus dipertimbangkan
dengan sangat teliti dan kritis. Jika langkah-langkah critical dan
historical ini dilakukan si penafsir pada masa kini, berarti si
penafsir ini melakukan penafsiran sebuah teks Kitab Suci secara
historis kritis.
Pendekatan historis kritis terhadap Kitab Suci, yang disertai dengan
pengenalan mendalam terhadap kehidupan manusia modern abad XXI dan
terhadap pengalaman baik dan pengalaman buruk yang telah dijalani
manusia dalam sejarah, akan membuat setiap orang beragama tidak mau
begitu saja memindahkan pandangan-pandangan kuno pramodern Kitab Suci
ke dunia modern abad XXI.
Karena itu, pantaslah, kalangan cerdik pandai yang memakai pendekatan
historis kritis terhadap Kitab Suci dan yang memiliki kesadaran kritis
dalam menimbangnimbang segi baik dan segi buruk masa lampau manusia,
akan berdiri di garis terdepan dalam menolak usaha-usaha mengubah
Indonesia atau Amerika Serikat menjadi negara teokratis. Sebuah negara
yang akan dibangun kalangan literalis skripturalis politis di atas
fondasi-fondasi ajaranajaran Kitab Suci dan hukum-hukum keagamaan yang
dibuat di zaman kuno pramodern yang sudah sangat asing bagi orang yang
hidup di zaman modern abad XXI.
http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2009/12/04/ArticleHtmls/04_12_2009_012_002.shtml?Mode=1