BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Yang Miskin yang Berkorban

Yang Miskin yang Berkorban

Written By gusdurian on Rabu, 11 November 2009 | 09.03

Tinggal 26 hari lagi dunia akan menyaksikan ”drama” yang akan dikenang
oleh umat manusia, setidaknya pada empat dekade mendatang. Drama itu
bertema perubahan iklim dengan setting kota Kopenhagen, Denmark, 7-18
Desember 2009.

Skenario awal sudah dituliskan pada lebih dari 1.500 lembar kertas
yang berisi berbagai butir kesepakatan yang diharapkan bisa disepakati
semua parties (baca: negara) dari Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk
Perubahan Iklim (UNFCCC). Lebih dari 90 negara akan berkumpul di
Kopenhagen berharap mendapatkan jawaban tentang apa yang akan
dilakukan secara bersama untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.

Persoalannya, negara kaya yang tergabung dalam kelompok Annex 1 malah
mulai bergeser mundur, meminta agar kesepakatan yang dibuat bersifat
tidak mengikat.

Negara-negara Annex 1 termasuk negara dengan ekonomi dalam transisi
dari laporan tentang emisi gas rumah kaca (GRK) yang teranyar tahun ini
—jika dihitung dengan memasukkan penggunaan lahan, perubahan
penggunaan lahan, dan deforestasi—ternyata pengurangan emisi agregat
dibanding tahun 1990 mencapai 5,2 per sen dari 17.459,6 Triliun gram
CO2 ekuivalen menjadi 16.547,1 Tg CO2 ekuivalen (UNFCCC, 2009).

Sementara itu, negara-negara Annex 1 nonnegara dengan transisi
ekonomi, yang pada Protokol Kyoto 1997 dikenai kewajiban untuk
mengurangi emisi karbonnya ternyata total emisi agregat termasuk
penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan deforestasi (LULUCF)
meningkat 11,2 persen pada kurun 1990-2007, sementara jika faktor
LULUCF dimasukkan, emisinya naik 12,8 persen.

Kesulitan mengurangi emisi tersebut mendorong berbagai negara untuk
memperkenalkan berbagai skema yang kemudian berujung pada perdagangan
karbon yang ternyata oleh sejumlah negara ditolak.

Senat Amerika Serikat telah meloloskan undang-undang mengenai
perubahan iklim—dengan undang-undang itu AS akan mengurangi emisi
karbonnya hingga 20 persen dengan basis tahun 1990 pada tahun 2020.

Tegangan kaya-miskin

Dalam hiruk-pikuk perundingan bersama untuk mengatasi persoalan
perubahan iklim, tegangan kaya-miskin semakin hari semakin meruncing.

Para perunding dan diplomat yang bertemu di Barcelona, Spanyol,
ternyata belum mendapatkan kesepakatan baru. Bahkan terjadi gap yang
semakin lebar antara negara miskin dan kaya.

”Pekerjaan ini tidak selesai, jauh dari harapan,” ujar negosiator dari
Sudan, Lumumba Stanislaus Di-Aping, Ketua Group 77 dan China yang
mewakili negara-negara miskin.

Bahkan sejumlah negara telah mengatakan tidak bersedia menandatangani
kesepakatan yang mengikat—seperti Protokol Kyoto yang mewajibkan
negara-negara Annex 1 mengurangi emisinya. Sebaliknya mereka justru
mendorong adanya kesepakatan politis untuk mengurangi emisi karbon.

”Semua negara anggota G-77 dan China juga Afrika sudah berseru meminta
negara maju mengurangi emisi, tetapi mereka menolak. Mereka bahkan
meminta kami mengulur waktu sampai enam bulan,” tambah Di-Aping
seperti dikutip Reuters. Adapun Amerika Serikat juga dikritik karena
tidak menawarkan angka penurunan emisi secara tegas.

Padahal, semula Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) pada Konferensi
Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen tersebut dijadikan batas waktu
adanya kesepakatan baru pengganti Protokol Kyoto. Pada perundingan di
Barcelona, delegasi negara-negara Afrika sampai-sampai melakukan walk-
out dan memboikot pertemuan.

”Ini fase sulit. Saya rasa semua pihak harus memainkan lagi perannya
untuk dapat membuat kesepakatan mengikat yang kuat di Kopenhagen
nanti. Itu butuh sekitar 12 bulan,” ujar Bill Hare, seorang ilmuwan
dari Potsdam Institute, Jerman.

Delegasi RI melalui beberapa pendekatan bilateral mengeluarkan gagasan
agar Kopenhagen menyepakati ”kesepakatan payung” berisi tujuan global
jangka panjang, proses, hingga disepakati perjanjian internasional
baru sebelum Juni 2010.

Kegeraman tak terucapkan telah mendorong Maladewa melakukan ”protes”
dengan melakukan rapat kabinet di bawah air pada 17 Oktober lalu.
Kabinet pemerintahan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed menyerukan
negara kaya mengurangi emisi karbonnya dengan serius. Maladewa
merupakan salah satu negara pulau kecil yang terancam tenggelam akibat
naiknya permukaan air laut.

Untuk menggedor nurani penguasa negara kaya, Maladewa juga
mencanangkan sebagai negara dengan pembangkit listrik tenaga angin
senilai 200 juta dollar AS dan menjadi ”negeri pulau kecil dengan
karbon netral pada 2020”.

Tak kalah dengan Maladewa, Indonesia yang dinilai gambutnya adalah
emiter terbesar di Asia, akibat keinginan besar untuk mendorong negara
maju telah berani mengajukan angka 41 persen pengurangan emisi karbon
tanpa berpikir panjang betapa pengurangan emisi sebanyak itu akan
memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Maladewa dan Indonesia adalah negara-negara miskin dan berkembang yang
prihatin akan kondisi stagnan perundingan. Kondisi yang akan
menjerumuskan nasib umat manusia empat dekade mendatang. Inilah drama
tragisnya: yang miskinlah rupanya yang rela berkorban sambil menunggu
hal yang tak pasti: si kaya mungkin akan rela juga berkorban.
(BRIGITTA ISWORO)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/11/03000529/yang.miskin.yang.berkorban
Share this article :

0 komentar: