BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Benturan Naratif

Benturan Naratif

Written By gusdurian on Rabu, 11 November 2009 | 09.06

YF La Kahija

Semua kebenaran melalui tiga tahap. Pertama, ia ditertawakan. Kedua,
ia mendapat serangan hebat. Ketiga, ia terbukti benar (Arthur
Schopenhauer).

Baik KPK maupun kepolisian sebagai lembaga penegak hukum sedang
menjalani masa-masa beratnya dalam mencitrakan diri secara positif.
Banyak pujian telah menyertai kinerja kedua lembaga ini. Namun,
belakangan, keduanya terlibat konflik yang harus segera diselesaikan.

Konflik antara KPK dan kepolisian kembali menyedot perhatian
pascapenahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Bila benar
kepolisian bersandar pada bukti kuat, tak ada yang salah dalam proses
hukum ini. Sudah sepantasnya, sebagai penegak hukum, kepolisian
berusaha mengungkap kebenaran.

Persoalan yang muncul tampaknya terkait interpretasi mengenai
kemungkinan penggembosan kinerja KPK yang sudah mendapat persepsi
positif dari masyarakat. Kehilangan yang dianggap baik itu pasti
menggelisahkan. Karena itu, juga tidak salah bila muncul kecurigaan
tentang motif penggembosan KPK.

Konflik naratif

Kini, hubungan antara KPK dan kepolisian bisa dilihat sebagai konflik
naratif atau cerita. Menurut Sara Crobb, akar konflik sebenarnya amat
sederhana, yaitu kecenderungan manusia untuk berasumsi negatif tentang
pihak lain. Asumsi negatif ini lalu bertransformasi menjadi macam-
macam cerita subyektif yang melebar dan meluas sehingga mengaburkan
inti permasalahannya.

Dalam teori naratif, konflik selalu dilihat sebagai persaingan
antarcerita. Di satu sisi, masyarakat mendengar cerita tentang
penyalahgunaan wewenang dan pemerasan pimpinan KPK; di sisi lain
masyarakat mendengar tentang kriminalisasi KPK oleh kepolisian. Cerita
itu lalu diinterpretasikan lagi sehingga muncul cerita-cerita baru.

Fakta sosial yang terjadi adalah KPK membentuk cerita tentang
kepolisian dan kepolisian membentuk cerita tentang KPK. Dalam konflik,
kita selalu dihadapkan pada dua cerita. Apa pun bentuknya, setiap
pihak yang bercerita pasti menampilkan alur cerita menurut versinya.
Dalam alur itu, informasi yang menguatkan akan diangkat dan informasi
yang melemahkan akan diredam.

Dampak terjauh dari pengekangan informasi seperti ini adalah kebuntuan
atau polarisasi antara kepolisian dan KPK. Baik KPK maupun kepolisian
seolah memiliki amunisi untuk saling memerkarakan. Bila ini berlarut-
larut, eskalasi konflik akan meninggi dan kepercayaan masyarakat akan
penegak hukum akan merosot.

Kehadiran mediator

Supaya akar konflik bisa terlihat jelas, perbedaan yang ada antara KPK
dan kepolisian sebaiknya tidak disembunyikan, tetapi ditonjolkan
sejelas-jelasnya. Ini mungkin terasa aneh, tetapi begitulah hukum
psikologis cerita. Semakin kita meredam informasi, semakin banyak
suara penasaran yang mengganggu. Sebaliknya, semakin kita memperjelas
informasi, semakin banyak suara bisa diredam.

Untuk meluruskan cerita yang berkembang tentang KPK dan kepolisian
saat ini, dibutuhkan mediator. Dari mediator ini, kita bisa
mengharapkan tiga langkah.

Pertama, merancang sesi-sesi pertemuan pribadi untuk mendapatkan
gambaran komprehensif sambil berusaha melihat keterkaitan isi cerita
kedua pihak. Prinsipnya, ”informasi yang lengkap akan memperjelas
duduk perkara”.

Kedua, mediator bertindak sebagai fasilitator, berusaha menemukan niat
positif setiap pihak. Di sini mediator harus menjadi pendengar yang
baik dengan menjaga netralitas dalam mendengarkan alasan-alasan yang
mendasari tindakan setiap pihak. Prinsipnya, ”ada niat positif di
balik setiap tindakan”.

Ketiga, mediator bisa menggunakan keingintahuan dan kebingungan publik
sebagai pertanyaan-pertanyaan yang membantu kedua pihak melihat secara
jernih tindakannya. Lewat pertanyaan-pertanyaan seperti itu, harapan
akan solusi yang ideal bisa dimunculkan. Prinsipnya, ”di balik
mendung, selalu ada matahari”.

Dalam proses itu, baik kepolisian maupun KPK mungkin memperlihatkan
perbedaan dalam dasar-dasar pemikiran mereka. Bukan masalah. Lewat
proses itu, masyarakat bisa mendapatkan cerita-cerita baru, yaitu
cerita-cerita yang sebelumnya tidak dimunculkan. Pada gilirannya,
cerita-cerita ini dapat membantu masyarakat merevisi persepsinya
tentang KPK dan kepolisian.

Menuju harmoni

Salah satu sumber konflik yang kerap diangkat untuk menggambarkan
konflik kepolisian versus KPK ini adalah metafora ”buaya lawan cicak”.
Sekilas, metafora ini menunjukkan superioritas kepolisian.
Superioritas di sini tampaknya tidak dimaksudkan untuk arogan, tetapi
untuk menunjukkan ”perasaan berharga” di tengah persepsi masyarakat
yang negatif.

Dalam beberapa kesempatan, saya berada di kantor polisi dan merasakan
adanya itikad baik untuk berubah. Di dinding koridor-koridor utama,
misalnya, terpajang jelas kutipan kata-kata bijak atau imbauan untuk
berlaku jujur dalam bekerja. Jadi, bila disobek lebih dalam, metafora
itu menunjukkan keinginan kepolisian untuk mendapatkan penerimaan dan
kepercayaan yang sama positifnya dengan KPK.

Alih-alih terfokus pada konflik, KPK dan kepolisian perlu melihat diri
sebagai satu keluarga. Dalam keluarga, konflik bukanlah malapetaka,
tetapi sarana untuk mengeluarkan racun yang potensial merusak dari
dalam. Meminjam istilah medis, konflik adalah sarana detoksifikasi.
Dengan berpikir seperti ini, ungkapan ”KPK lawan kepolisian” menjadi
tidak relevan.

Ada baiknya bila proses hukum dibiarkan berjalan. Masyarakat tetap
membutuhkan KPK dan kepolisian. Perjumpaan hukum antara KPK dan
kepolisian perlu dilihat sebagai dialektika yang sebentar lagi akan
melahirkan kebenaran. Setiap cerita punya awal, tengah, dan akhir. Apa
pun hasilnya nanti, peristiwa ini akan menjadi proses pembelajaran
tentang pentingnya kerja sama, harmoni, dan pencitraan diri yang
positif.

Seperti yang dikatakan Schopenhauer pada awal tulisan ini, kebenaran
itu menetas dengan sendirinya. Diakali dengan cara apa pun, dia akan
tetap lahir. Proses persalinannya saja yang mungkin sulit. Seruan
bijak itu sebaiknya menjadi cermin diri bagi penegak hukum untuk lebih
introspektif dalam melihat peran dan fungsi utama sebagai sahabat
kebenaran.

YF La KahijaPengajar Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro,
Semarang

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/11/02315083/benturan.naratif.
Share this article :

0 komentar: