BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pers Memantau, Bukan Menghakimi

Pers Memantau, Bukan Menghakimi

Written By gusdurian on Rabu, 11 November 2009 | 09.11

Pers Memantau, Bukan Menghakimi
Teguh Usis, JURNALIS TELEVISI

Amien Rais sedang gundah. Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
itu khawatir pemberitaan kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
Kepolisian RI akan menjadi trial by the press (penghakiman oleh pers).
"Satu hal yang saya ingatkan, jangan sampai perselisihan ini
menimbulkan trial by the press, karena kasihan proses hukumnya,"kata
Amien seperti dikutip detik.com (Minggu, 8 November 2009). Bahkan
lebih jauh Amien khawatir trial by the press ini akan membuat rakyat
menjadi tak terkendali seperti pada peristiwa 1998.

Dalam kasus kisruh KPK-Polri, kekhawatiran Amien Rais sebenarnya cukup
beralasan. Hiruk-pikuk penahanan dua pemimpin nonaktif KPK, Bibit
Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, menjadi berita utama di hampir
seluruh media Tanah Air--cetak, online, dan elektronik--selama dua
pekan ini. Lebih lagi ketika Mahkamah Konstitusi memperdengarkan
rekaman hasil penyadapan KPK terhadap telepon seluler Anggodo Widjojo.
Rekaman hasilpenyadapan itu disiarkan langsung oleh televisi dan
disimak oleh jutaan pasang mata masyarakat Indonesia. Hal yang sama
terjadi ketika Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat
dengan Kepala Polri dan jajarannya.

Tak cukup stasiun televisi yang menyiarkan secara langsung dua
kejadian itu, keesokan harinya koran-koran pun tak mau ketinggalan.
Dan, tak hanya reportase pandangan mata dari dua peristiwa itu, media
cetak pun melengkapinya dengan analisis.
Koran Tempo menurunkan berita utama berjudul "Kapolri Serang
Balik" (Jumat, 6 November 2009).
Media menghakimi?
Lantas apakah gencarnya pemberitaan kisruh kasus KPK-Polri ini sudah
masuk ke ranah trial by the press? Menurut teori hukum pers, trial by
the press adalah pemberitaan yang terjadi jika sebuah dugaan tindak
pidana sudah ditangani aparat penyidik, polisi, atau jaksa (pre-trial
publicity) sampai masuk ke pengadilan (publicity during trial), yang
karena pemberitaan tersebut pihak tertuduh dipojokkan pada posisi yang
sulit untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair
trial). Salah satu kasus heboh yang diduga memuat unsur trial by the
press adalah perselisihan antara majalah Tempo dan Asian Agri Group.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Januari lalu, pada pertimbangan
putusannya memasukkan unsur penghakiman oleh pers. Oleh hakim, Tempo
dianggap bersalah karena menurunkan berita sebelum ada putusan
pengadilan yang mengikat.

Sementara itu, pemberitaan yang gencar saat ini dalam kasus kisruh KPK-
Polri lebih kepada pembeberan fakta-fakta yang ditemui oleh jurnalis
di lapangan. Boleh jadi ada yang berpendapat penangguhan penahanan
Bibit dan Chandra pekan lampau sebagai salah satu bentuk tekanan dari
pers, yang mengakomodasi secara signifikan rekomendasi yang
dikeluarkan Tim 8.

Kasus yang menimpa Bibit dan Chandra belum dilimpahkan ke pengadilan.
Jadi di mana letak penghakiman oleh pers seperti yang dikhawatirkan
Amien Rais? Memang, tak dapat dimungkiri, penggiringan opini publik
telah tercipta ketika pers secara terus-menerus memberitakan karut-
marut kasus ini. Namun, sejauh ini pers masih tetap berada pada
koridor etika. Kode etik jurnalistik yang termuat pada Peraturan Dewan
Pers Nomor 6 Tahun 2008 Pasal 3 menyebutkan, "Wartawan Indonesia
selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
praduga tak bersalah."

Dari empat elemen pada pasal tersebut, ihwal mencampurkan fakta dan
opini serta asas praduga tak bersalah yang patut dicermati. Dewan Pers
menyatakan, opini yang berasal dari pendapat pribadi wartawan masuk ke
ranah menghakimi. Yang boleh dilakukan wartawan adalah opini
interpretatif, yakni pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas
fakta yang ada. Sedangkan asas praduga tak bersalah adalah prinsip
tidak menghakimi seseorang.
Pemantau kekuasaan Namun, tak salah-salah amat jika Amien Rais
mengingatkan agar tidak terjadi penghakiman oleh pers pada kasus KPK-
Polri ini. Kasus ini tak berdimensi hukum semata, namun juga sudah
menyerempet dimensi politik. Kasus ini amat gampang disusupi
kepentingan-kepentingan politik praktis.
Lihat saja polemik yang berkembang setelah Mahkamah Konstitusi
memperdengarkan kepada umum rekaman penyadapan telepon Anggodo. Begitu
pula setelah Komisi III DPR menggelar rapat dengan Kapolri.

Untuk mereduksi kekhawatiran penghakiman oleh pers, sudah sepatutnya
para jurnalis mengembalikan fungsi pers seperti yang termuat pada
sembilan elemen jurnalismenya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.
Salah satu elemen jurnalisme adalah pers sebagai pemantau independen
kekuasaan.
Inilah fungsi pers sebagai watchdog alias anjing penjaga. Namun, bukan
anjing penjaga palsu yang lebih mengedepankan prinsip "susahkan orang
yang senang dan senangkan orang yang susah". Tak salah jika pada 1970-
an seorang hakim agung di Amerika Serikat bernama Hugo Black menulis
bahwa pers dilindungi agar ia bisa membuka rahasia pemerintah dan
memberikan informasi kepada rakyat. Hanya pers yang bebas dan tak
terbelenggu yang bisa efektif mengungkapkan penyimpangan di
pemerintah.

Yang terjadi pada kisruh KPK-Polri, sejatinya pers sudah memerankan
fungsinya sebagai pemantau kekuasaan. Gencarnya pemberitaan seputar
kasus ini membuat banyak konstelasi berubah. Setidaknya Bibit dan
Chandra sudah ditangguhkan penahanannya. Yang belum banyak disentuh
pers kita adalah investigasi terhadap kasus ini. Investigasi ini oleh
Kovach dan Rosenstiel dimasukkan ke elemen pers sebagai pemantau
independen kekuasaan. Sejumlah celah pada kasus ini patut untuk
ditelusuri secara lebih mendalam melalui investigasi. Umpamanya, apa
keterkaitan kisruh KPK-Polri dengan kasus Bank Century?
Bukankah asal-muasal munculnya kasus ini karena penyadapan pembicaraan
telepon seseorang dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar
Polri Komisaris Jenderal Susno Duaji berkenaan dengan kasus Century?
Boleh jadi sejumlah temuan sudah dikantongi para jurnalis andal.
Tinggal menunggu waktu saja untuk menggongkannya menjadi sebuah
kelanjutan kasus yang mungkin saja lebih menghebohkan dari kisruh KPK-
Polri. Kita tunggu saja!

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2009/11/11/ArticleHtmls/11_11_2009_012_002.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: