BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ujian Politik "Darah Biru"

Ujian Politik "Darah Biru"

Written By gusdurian on Rabu, 11 November 2009 | 09.07

M Zaid Wahyudi

Faktor keturunan di dunia politik Indonesia, sejak kemerdekaan hingga
kini, sangat menentukan. Nama politisi besar di belakang nama para
politisi baru menjadi modal untuk mendongkrak karier politik lebih
cepat. Garis keturunan dalam perekrutan kader politik terkadang
mengalahkan faktor kompetensi. Salah satu politisi muda yang memiliki
darah biru politik adalah Zannuba Arifah Chafsoh Rahman atau dikenal
dengan nama Yenny Wahid. Putri kedua mantan Presiden Abdurrahman Wahid
alias Gus Dur dan cicit pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim
Asy’ari, ini mengawali karier politik praktisnya dengan menjadi
pengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sejak 2005.

Kehadirannya dalam dunia politik cukup fenomenal. Namanya cepat
meroket saat ia menjadi Sekretaris Jenderal PKB pada 2007. Namun,
gaung namanya pun surut pascakonflik PKB pada 2008 yang membuat PKB
versi Ketua Umum Dewan Syura PKB Abdurrahman Wahid gagal ikut Pemilu
2009.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Yenny Wahid di Jakarta, Jumat
(30/10), tentang politik keturunan di Indonesia dan harapannya
terhadap kehidupan politik ke depan.

Bagaimana pandangan Anda tentang politik keturunan?

Saya cukup terpecah karena saat faktor keturunan memiliki fungsi
penting dalam politik agak bertentangan dengan nurani saya. Di satu
sisi, seharusnya ada kesamaan dan keadilan untuk semua, tanpa
memandang orangtuanya. Tetapi, di sisi lain, realitas menunjukkan
keturunan memiliki fungsi besar untuk ’membuka pintu’ dalam membangun
hubungan dengan pihak lain.

Sejak awal, saya juga dididik bahwa setiap manusia memiliki kedudukan
yang sama di mata Tuhan, hukum, dan masyarakat. Unfairness
(ketidakadilan) yang terjadi akibat faktor keturunan dalam politik
saat ini tetap harus dikoreksi.

Namun, bagi saya, yang penting adalah apa yang akan saya lakukan
setelah ’pintu’ itu terbuka. Itu kembali ke diri saya sendiri. Nama
besar tanpa didukung kerja keras dan usaha sungguh-sungguh tidak akan
ada artinya. Saya percaya bahwa nama besar itu seperti bakat, hanya
menyumbang 1 persen terhadap kesuksesan seseorang. Sisanya, 99 persen
ditentukan oleh kerja keras setiap individu.

Apa tantangan terbesar menyandang nama Wahid?

Harus betul-betul menjaga tingkah laku dan ekspektasi tertentu yang
dikaitkan dengan nama itu. Kalau tidak pandai mengelola ekspektasi
itu, bisa mengecewakan masyarakat dan membuat malu orangtua. Nama
besar itu bisa menjadi anugerah atau beban, tergantung bagaimana
mengelolanya.

Jika politik keturunan menimbulkan ketidakadilan, bagaimana
mengoreksinya mengingat hal ini juga terjadi di negara-negara Barat
yang demokrasinya sudah maju?

Dengan memperkuat sistem meritokrasi. Di Indonesia belum terbangun
budaya yang bangga jika mampu berprestasi atau sukses berdasarkan
kerja kerasnya sendiri dari bawah seperti dalam The American Dream.

Dalam kultur NU, proses meritokrasi itu berjalan lebih demokratis
dibanding di partai politik. Dalam kultur kiai NU, kiai yang memiliki
ilmu lebih banyaklah yang lebih dihargai. Artinya, kiai dihormati
karena keilmuannya. Jika ada keturunan kiai yang kurang memiliki ilmu,
penghormatan atas dirinya hanya sebatas pada keturunannya saja.

Sebagian pihak menilai Anda hanya memanfaatkan nama besar Gus Dur?

Wajar orang menilai itu karena mereka hanya mengenal sosok saya
sebagai anaknya Gus Dur. Tak perlu dibuat marah atau sakit hati.
Tunjukkan saja dengan kerja dan prestasi. Saat ini saya nyaman dengan
prestasi yang saya peroleh, baik ketika menjadi wartawan, mahasiswa di
Universitas Harvard, atau keanggotaan saya di sejumlah forum
internasional yang sudah atau akan saya jalani.

Apa yang membuat Anda terjun ke politik praktis?

Butuh waktu 3-4 tahun untuk memutuskan masuk ke politik praktis karena
bebannya sangat besar. Tapi, ketika Bapak (Gus Dur) lengser pada 2001,
rasa kehilangan masyarakat sangat besar karena mereka merasa Gus Dur
dapat dititipi amanah. Dari saat itu saya berjanji akan terus
memperjuangkan kepentingan mereka bagaimanapun caranya.

Setelah menjadi pengurus PKB pasca-Muktamar 2005 di Semarang, semangat
itu makin mengental karena banyak bersentuhan langsung dengan
masyarakat di bawah. Mau tidak mau, akhirnya saya harus terjun ke
politik praktis untuk meneruskan garis perjuangan dan pengabdian
keluarga kepada masyarakat seperti yang dilakukan eyang-eyang saya.

Sikap itu saya ambil daripada nanti menyesal karena hidup hanya untuk
diri sendiri. Bagi saya, berpolitik itu memiliki dua potensi,
membebaskan atau justru menyengsarakan. Pilihan itu ada pada para
politisi sebagai pembuat kebijakan.

Anda merasa mewakili garis politik Gus Dur?

Secara nilai pasti karena saya dibesarkan dalam tata nilai politik
yang dibangun Gus Dur sejak saya kecil. Sikap itu betul-betul mewarnai
cara pandang saya dalam menilai sesuatu dengan prinsip egaliter,
humanis, fair, dan sedikit nekat.

Akar pendukung Gus Dur adalah warga Nahdlatul Ulama dan kelompok
minoritas. Bagaimana Anda memandang mereka?

Mereka semua adalah mitra dalam membangun negeri. Kualitas pembangunan
negeri ini sangat ditentukan oleh semua lapisan masyarakatnya.

Kekuatan dan peranan NU dalam pembangunan bangsa tak bisa dipandang
kecil. NU merupakan organisasi massa Islam terbesar di dunia dengan
jumlah warga diperkirakan mencapai 80 juta jiwa. NU dapat menjadi
mitra pemerintah dalam bernegosiasi dengan negara-negara asing untuk
menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif.

Apa pentingnya menjadikan mereka sebagai mitra? Bukankah pembangunan
selama ini dikendalikan oleh elite?

Elite memang memegang peranan besar karena mereka berfungsi sebagai
agen dan mesin pendorong perubahan. Tetapi, jika massa yang ada di
bawah kualitasnya tidak sebanding, mesin itu akan sulit bergerak.
Elite boleh membuat kebijakan apa pun, tetapi yang menjalankannya
tetap masyarakat.

Untuk itu, diperlukan adanya kepemimpinan yang inspiratif sehingga
mulai dari lapisan atas-bawah dan atasan-bawahan bisa saling bekerja
sama dan tidak saling mengambil keuntungan terhadap yang lain untuk
diri sendiri.

Sekarang tak bisa lagi menjadikan masyarakat akar rumput sebagai alat
elite semata. Dalam pemilihan langsung seperti saat ini, justru elite
yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal itu tidak dapat
disalahkan kepada rakyat karena mereka hanya meniru perilaku elite.
Elite secara terang-terangan mempertontonkan bahwa dalam proses
politik saat ini, mereka yang harus untung lebih dulu dibandingkan
rakyat yang diwakilinya.

Kondisi itu kemudian berkembang menjadi keserakahan kolektif, yang
ujungnya bisa menghancurkan bangsa karena tak ada lagi nilai luhur
yang dipegang. Kalau ingin berubah, maka harus dimulai dari elite
dulu.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/11/03133561/ujian.politik.darah.biru
Share this article :

0 komentar: