BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pengadilan di Televisi

Pengadilan di Televisi

Written By gusdurian on Rabu, 11 November 2009 | 08.34

Dugaan kasus suap Anggoro Widjajake sejumlahoknum di Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sempat menyeret dua pimpinan KPK,
Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, ke tahanan Polri tak sekadar
menyita perhatian publik.

Lebih besar dari itu, isu ini telah membawa dua institusi penting
pemberantas korupsi di negeri ini, KPK dan Polri, terjebak dalam
kubangan konflik internal yang sepele, tetapi menghabiskan banyak
energi. Bagaimana tidak,KPK dan Polri yang seharusnya bekerja sama
nyatanya justru saling serang di depan publik.

Mereka yang sebelumnya pelit komentar, kini rajin mengumbar “jurus”
untuk menyerang dan berkelit demi kepentingan masing-masing. Tak
terhitung berapa kali kedua lembaga ini saling “jual beli” argumen
untuk saling melemahkan. Lalu pertanyaannya adalah, siapa yang mereka
bela? Ego institusi tampaknya lebih nyata daripada upaya mencari
solusi final yang berpihak pada kepentingan bersama (baca: rakyat).

Padahal kita semua tahu bahwa kasus ini adalah domain hukum, yang
(berbeda dengan politik) tak memerlukan perang argumen karena sudah
baku.Hanya saja yang tersaji ke publik sebaliknya.Pengacara yang tugas
utamanya adalah memberikan advis hukum kepada kliennya dalam
menghadapi persoalan hukum justru lebih sering terlihat seperti
pengamat, hakim, bahkan presiden.

Mengutip pendapat Frans Hendra Winarta,advokat senior, apa yang
dilakukan pengacara salah satu pihak pascapemutaran rekaman penyadapan
di Mahkamah Konstitusi (MK) justru terkesan seperti pernyataan “hakim”
dengan memutuskan Anggodo Widjaja bersalah sehingga harus ditahan.
Bukan hanya itu, pengacara tersebut juga seolah menjadi “presiden”
ketika menyimpulkan Kapolri layak dipecat.

Publik Dikorbankan

Lalu siapa yang akan membela kepentingan publik jika tiap lembaga
penegak hukum sibuk “beriklan” di TV dan media lain? Tak bisa
dimungkiri bahwa era kebebasan pers sekarang ini turut mendorong
liberalisasi lembaga penyiaran. Efek positifnya, akses publik terhadap
informasi terbuka luas sehingga tak ada dominasi informasi oleh rezim
yang berkuasa.

Namun, liberalisasi ini juga menyimpan ancaman, yaitu batasan antara
“layak dan tidak”,“patut dan tak patut” menjadi demikian tipis.
Imbasnya, tafsir kelayakan dan kepatutan didominasi oleh media masing-
masing melalui “politik” agenda setting. Sebagaimana ditulis Bernard
Cohen (1963), pers bukan sekadar pemberi informasi dan opini, lebih
jauh dari itu, pers berperan dalam mendorong pembacanya untuk
menentukan apa yang perlu dipikirkan.

Dalam kasus KPK vs Polri, televisi memainkan peran penting dalam
menentukan isu dan mengendalikan nya.Semua mata terbelalak ketika
melihat sejumlah televisi meng-cover total publikasi rekaman
penyadapan KPK atas Anggodo Widjaja.Sidang MK yang seharusnya sakral
dan khidmat berubah menjadi layaknya reality show yang penuh
ketegangan, kelucuan, dan menguras emosi penonton.

Membuka rekaman di pengadilan adalah tindakan sah dan terbuka, tetapi
menyiarkannya secara langsung dalam durasi waktu panjang ke publik
terkesan berlebihan. Bagi sebagian besar masyarakat awam yang tak
menguasai hukum, episode MK di televisi tak banyak bermanfaat. Publik
justru dibuat bingung dan semakin apatis terhadap lembaga-lembaga
negara,khususnya lembaga penegak hukum.

Bahwa kebebasan pers harus didukung itu adalah pasti. Namun dalam
mener jemahkannya, tentu kita harus berangkat dari falsafah bahwa tak
ada kebebasan yang tak terbatas. Batasan dari kebebasan itu sendiri
adalah kepentingan umum dan kebaikan bersama. Benar saja, siaran
langsung rekaman penyadapan di MK langsung mendapat tanggapan dari
pihak-pihak yang terlibat.

Rapat Komisi III DPR-Kapolri beberapa hari setelah itu menjadi “ajang
pembalasan ”Polri ke KPK.Televisi kembali memainkan peran penting
ketika momen ini juga disiarkan langsung hingga dini hari. Di sisi
lain,DPR yang seharusnya memaksimalkan fungsi pengawasan justru
menjadi public relation bagi Polri.

Jika preseden ini terus berlangsung, fungsi hakim dan lembaga
pengadilan akan terdegradasi. Pengadilan nantinya dianggap “kurang
adil”,kurang transparan, dan kurang cepat memutus perkara jika
dihadapkan dengan peran yang dilakukan televisi. Membandingkan
keduanya memang bukan sesuatu yang pas.

Akan tetapi dari kacamata awam, pemikiran seperti itu dapat muncul
karena televisi dengan segala keunggulan teknologinya mampu membuat
yang jauh terasa dekat.Membuat yang diluar seakan merasakaniklim yang
tengah berlangsung. Jika demikian, lagi-lagi penulis bertanya, inikah
arah kebebasan informasi yang kita harapkan?

Perlu kita merenung sejenak seraya memikirkan arah yang benar bagi
iklim kebebasan yang kita harapkan bersama. Sejatinya bukan kali ini
saja televisi dianggap terlalu bebas dan meminggirkan norma dan etika.
Sebelumnya, tayangan kekerasan yang vulgar, mistik, dan pornografi di
televisi juga banyak dikeluhkan.

Kembali ke “Khitah”

Untuk menyelesaikan sengketa KPK vs Polri, jalan keluarnya sebenarnya
mudah dan sederhana. Kembalikan saja kasus ini ke “khitahnya”sebagai
kasus hukum. Dengan begitu, penyelesaiannya juga melalui mekanisme
hukum dengan keputusan yang mengikat dan dihormati.Lembaga pengadilan
harus mampu menjalankan tugasnya secara optimal guna meraih
kepercayaan publik.

Siapa pun yang bersalah dalam kasus ini—apa pun jabatan dan
institusinya—harus dihukum.Tak boleh juga ada istilah tebang pilih
karena jika ini dilakukan sudah pasti akan memperburuk citra aparat
penegak hukum itu sendiri. Mengenai opini yang terus dibangun kedua
pihak yang bersengketa, hakim tak boleh sedikit pun terpengaruh.

Pembangunan opini, apa pun alasannya, pastilah memiliki vested
interest di belakangnya. Hakim hanya boleh berpegang pada barang
bukti, saksi, dan alat kelengkapan hukum yang lain. Mengenai kehendak
sebagian pihak agar Presiden SBY ikut turun
tangan“mengintervensi”kasus ini, itu adalah bentuk dari tindakan yang
justru melanggar konstitusi. Sudah jelas bahwa konstitusi melarang
intervensi eksekutif terhadap proses hukum.

Yang dapat dilakukan Presiden adalah membuat kebijakan yang dapat
menekan pelanggaran dan korupsi. Di lima tahun pertama
pemerintahannya, SBY mengidentifikasi sejumlah masalah yang menjadi
penyebab lambatnya perubahan di negeri ini. Satu masalah utama yang
dianggap sebagai akar dari rusaknya hukum adalah mafia peradilan.

Oleh karenanya, tak aneh jika dalam 15 program utama yang masuk dalam
program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, pemberantasan
mafia peradilan ditempatkan sebagai masalah utama yang harus diatasi.
Mafia peradilan inilah yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan
pihak lain.

Misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual beli perkara,
mengancam saksi, mengancam pihakpihak lain, pungutan-pungutan yang
tidak semestinya dan sebagainya. Presiden juga menyerukan kepada
seluruh rakyat Indonesia yang merasa menjadi korban mafia hukum untuk
melapor melalui PO BOX 9949,Jakarta 10000. Semoga kasus ini menjadi
pelajaran bagi kita semua untuk menciptakan tatanan hukum yang lebih
baik, pasti, dan bermartabat. Semoga.(*)

Zaenal A Budiyono
Koordinator Nasional
Kaum Muda Indonesia
untuk Demokrasi

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/283286/
Share this article :

0 komentar: