BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Dari Tragedi ke Reformasi Kebudayaan

Dari Tragedi ke Reformasi Kebudayaan

Written By gusdurian on Rabu, 11 November 2009 | 08.54

Barangkali Anggoro dan Anggodo, dua kakak beradik keluarga Widjaja,
adalah pengusaha cukup kaya. Akan tetapi tentu tidaklah sekaliber
miliarder seperti keluarga Soeryajaya, keluarga Riyadi, keluarga
Halim, keluarga Sampoerna, keluarga Salim,keluarga Bakrie,dan sederet
nama pengusaha top lainnya.

Mungkin keduanya pun tidak termasuk 20, bahkan 50, pembayar pajak
terbesar di negeri ini. Namun, kini kita tahu, bahkan pengusaha
“kelas” dua seperti mereka pun memiliki kemampuan untuk memengaruhi
jalannya proses kenegaraan, dari segi yuridis, di tingkatan puncak.
Pihak institusi atau petinggi yang mereka pengaruhi atau sertakan
dalam drama “KPK”sungguh tidak sembarangan, levelnya tidak berhenti
pada tingkat nasional, tetapi juga regional atau internasional.

Apakah tidak mungkin ada oknum dari “kelas” satu atau top yang juga
bekerja dengan pola dan modus serupa, untuk perkara yang jauh lebih
“tinggi” lagi? Apa yang bisa membantah kemungkinan ini? Tidak ada.
Bukankah ini menjadi sebuah kabar yang sangat buruk, bahkan terburuk
dalam sejarah negeri ini, bagaimana ternyata proses-proses formal
kenegaraan dapat begitu saja dikendalikan oleh kepentingan-
kepentingan sempit dan menyesatkan dari segolongan, bahkan satu-dua
orang saja?

Tidakkah ini menjadi bukti atau semacam katup dari kotak pandora
sistem kenegaraan kita yang chaos karena mekanisme dan proses yang ada
di dalamnya ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharuskan,
sebagaimana yang kita pikirkan selama ini? Maka, lumrah bila kita
dengan keras bertanya: negara atau bangunan kebangsaan apa yang kita
bangun selama ini?

Bila ternyata hal-hal yang prinsipil dan esensial, termasuk di
dalamnya berbagai keputusan strategis di bidang politis, ekonomis, dan
yuridis bisa jadi hanya menjadi permainan dari broker, markus,
pengusaha degil, atau preman-preman politik dan hukum,di mana kemudian
sejarah hebat bangsa ini ditempatkan?

Di mana ide-ide besar founding fathers diposisikan? Di mana
kesengsaraan dan perjuangan rakyat kecil diperhitungkan? Di mana
sesungguhnya akal dan nurani kita bicara? Tampaknya, riwayat republik
dan bangsa ini,di momen ia sedang mencoba mengenang dan merevivalisasi
semangat kepahlawanannya, harus bertemu de-ngan sebuah momen di mana
semua cita-cita dan idealisasinya kini telah menjadi basi.Kesemuanya
menjadi karduskardus artifisial yang menghiasi kemeriahan selebrasi
kemajuan (kemodernan) politik, ekonomi atau hidup sosial kita.

Bangunan meriah dan megah itu ternyata rapuh fundamennya. Kita semua
tak menyadarinya karena tersihir oleh dunia-semu, simulakra yang di-
diseminasi dengan rajin oleh media massa, entertainment, dan komentar
para pakar yang buta. Indonesia hari ini adalah sebuah tragedi. Bukan
hanya koruptor bebas berkeliaran, bahkan dipuja; pembunuh pun kini
dapat menjadi pahlawan; manipulator jadi ulama; penipu jadi
cendekiawan; tukang hasut jadi politikus elite; dan seterusnya.

Namun itu lebih karena kita bersama sudah alpa dan lupa pada niat
dasar kita kenapa dahulu kita harus merdeka, mengapa kita harus
membentuk diri menjadi sebuah bangsa, menjadi sebuah negara; kita lupa
untuk apa ada yang bernama “Indonesia”?

Absennya Landasan Kultural

Marilah kita lihat bagaimana kasus segi tiga “KPK-Polri-Kejaksaan
Agung” yang telah menjadi skandal hukum terbesar selama republik ini
berlangsung. Hingga hari ini, kita masih melihat aktoraktor utama yang
dianggap melukai “rasa keadilan publik” tetap bebas berseliweran
dengan aksi dan retorikanya.

Para penanggung jawab utama tetap bertengger di puncak kuasanya, tanpa
rasa sungkan dan malu pada norma, nilai, dan tradisi kehormatan. Tiada
integritas kepribadian dan kebesaran jiwa untuk memikul tanggung
jawab. Melulu kekuasaan yang dibela, betapapun kekuasaan yang dia bela
itu telah cacat dan ternoda di bawah penguasaannya.

Selaiknya, bukan hanya pada tingkat Kabareskrim Polri atau Wakil Jaksa
Agung yang antara lain jadi tersangka oleh publik harus diberhentikan.
Bahkan di tingkat Jaksa Agung, Kapolri hingga––boleh jadi—Menko
Polhukam semestinya mengundurkan diri untuk menunjukkan kehormatan dan
integritas kepribadiannya yang tinggi,yang membuat mereka pantas
menduduki posisi-posisi penting itu.

Hal ini menunjukkan,kekuasaan–– dari pemerintahan yang ada sekarang—
gagal dalam meneguhkan moralitas di dalam dirinya. Gagal dalam
membentuk sebuah kultur yang membuat kekuasaan itu sendiri memiliki
wibawa, rasa bangga, dipercaya, dan merepresentasi kesejarahannya yang
gemilang.

Kekuasaan saat ini berdiri ternyata hanya untuk melayani dirinya
sendiri, melupakan esensi dari eksistensinya sendiri, yakni: kehadiran
publik. Untuk itu, sebuah kesadaran atau tindakan yang sifatnya
fakultatif akan sangat tidak memadai bagi sebuah penyelesaian yang
substansial dan fundamental.

Terlebih pola-pola kebijakan yang sangat pragmatis,dalam arti hanya
menjadi reaksi atau antisipasi dari situasi kontemporer, sungguh hanya
akan sampai pada jalan buntu atau penggandaan masalah yang sama tiada
habisnya. Ternyata tampaknya kita harus menerima hal tersebut,
katakanlah, saat kita mendapatkan program 100 hari kabinet baru.

Bukan hanya karena jumlah program ditambah sekadar untuk mereaksi
perkembangan masalah mutakhir, tetapi juga karena absennya landasan
filosofis dan kultural, semacam sebuah cetak-biru atau strategi
kebudayaan yang menyeluruh, yang akan memberi kaki-kaki yang kukuh
bagi bangunan masa depan yang akan dibangun.

Pemerintahan saat ini menjadi begitu pragmatis dan oportunistis, bukan
saja dalam penyusunan isi kabinet maupun program-programnya, tetapi
juga hingga pemilihan orang-orang dekat kepresidenan beserta dimensi
urusannya. Tak ada dalam daftar dari semua nama dan dimensi itu,
mereka yang berkeahlian dalam soal tradisi, kesejarahan, kesenian,
atau kebudayaan pada umumnya.

Keahlian yang sesungguhnya dapat memberi semua nama dan dimensi itu
alasanalasan penting dan mendasar: mengapa, hendak ke mana,dan
bagaimana sebenarnya sebuah program harus dibuat dan dilaksanakan.
Bagaimana sebuah pemerintahan tidak menjadi sebuah urusan yang
parsial,tetapi menjadi sebuah universum yang merangkum semua
kepentingan umum.

Reformasi Kebudayaan

Bukan untuk persoalan personal jika saya harus sekali lagi dan akan
terus mengatakan: Presiden dan pemerintah negeri ini semestinya siuman
dari cara berpikir dan bersikap mereka yang meminggirkan dimensi
kultural dalam pembangunan bangsa dan negeri ini. Apa yang terjadi
belakangan ini, pembongkaran memalukan dalam skandal hukum seputar
KPK, menunjukkan betapa budaya hukum kita bukan hanya tidak
jalan,tidak berbentuk, rusak, tetapi sesungguhnya: tidak ada.

Sementara kesadaran paling sederhana dari intelektualitas paling
standar seharusnya mafhum bahwa sebuah kerja dan organisasi yang
berskala besar dan berkesinambungan membutuhkan tradisi atau kultur.
Di mana baik sistem maupun para aktornya dapat dijaga dan dijamin
kemaslahatan perilaku serta hasil pekerjaannya.

Absennya dimensi ini akan tetap membawa kita pada siklus masalah dan
duplikasi kesulitan yang bertambah berat hingga akhirnya menjadi
involusi yang menanam bom waktunya sendiri. Namun, sekali lagi,
demikianlah riwayat mutakhir kita.Kata kebudayaan pun tetap
disubordinasikan dalam urusan-urusan material.

Berbagai peristiwa hebat yang menghantam bangsa ini, dalam dekade
mutakhir, tak juga menerbitkan kesadaran bahwa perubahan tidak cukup,
bahkan tidak bisa lagi, hanya dilakukan dalam dimensi- dimensi formal-
material, tapi kultural. Diterima atau tak diterima, sadar maupun
tidak, peduli atau ditertawakan, perubahan atau reformasi kebudayaan
itu semestinya, bahkan niscaya, akan terjadi.

Bukan mereka para pengambil keputusan yang menjadi penentu,tetapi
orang banyak,juga waktu.Semoga, ini yang kita harapkan bersama, korban
tidak harus jatuh karenanya. Apalagi dari kalangan mereka yang semula
tak memercayainya. Semoga.(*)

Radhar Panca Dahana
Budayawan

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/283287/
Share this article :

0 komentar: