DALAM beberapa minggu terakhir ini perhatian kita tersita oleh
intensitas pemberitaan pro-kontra dugaan kriminalisasi pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan antusiasme yang luar biasa, masyarakat luas mengikuti
perkembangan kronologi dan konstruksi kasus yang menimpa Bibit Samad
Rianto dan Chandra M Hamzah. Jutaan pengguna komunikasi dunia maya
melalui jaringan Facebook memberikan pembelaan kepada KPK sekaligus
menyatakan ketidakpercayaan (vote of no confidence) kepada lembaga
kepolisian dan kejaksaan.
Perasaan bahwa selama ini banyak hal tidak beres terjadi di lembaga-
lembaga penegak hukum sebenarnya sudah lama ada di alam pikir dan alam
bawah sadar masyarakat. Survei yang menyatakan lembaga- lembaga
penegak hukum di Indonesia masuk kategori korup juga telah banyak
diketahui. Kesimpulan korupsi telah membudaya, bahkan cenderung
menjadi cara hidup (way of life) dalam masyarakat, juga tak banyak
dipersoalkan.
Namun nurani kita tetap terusik menyaksikan betapa kondisi penegakan
hukum sudah sedemikian parah. Sebagian kalangan menyesalkan tontonan
kasus hukum yang dinilai memalukan dan memilukan ini. Optimisme kita
menyambut pemerintahan baru tiba-tiba seperti menguap. Energi kita
tersedot habis untuk menonton skenario cerita yang berubah-ubah setiap
saat.
Program 100 hari yang dicanangkan Kabinet Indonesia Bersatu II yang
semula diharapkan sebagai pintu masuk untuk memfokuskan perhatian
seperti kehilangan daya pikat dan daya rekat. Dari sisi lain,kasus ini
merupakan proses pembelajaran kolektif yang luar biasa tentang makna
kejujuran dan keadilan.
Melalui kasus ini kita seperti diajak untuk becermin, melakukan
refleksi dan introspeksi, tentang apa yang oleh masyarakat dianggap
dari waktu ke waktu semakin menipis atau luntur. Masyarakat seperti
ingin melihat kembali kehadiran kejujuran di pentas publik–sesuatu
yang dikhawatirkan akan hilang bila tak dipertahankan.Kita teringat
seruan Rendra (almarhum): Kita adalah kepribadian/dan harga kita
adalah kehormatan kita. Douglass North (1990) adalah ekonom yang
paling rajin membahas kaitan antara kejujuran dan kemajuan suatu
bangsa.
Peraih Nobel Ekonomi 1993 ini pernah bertanya, “Does honesty in
exchange make a difference; does it pay?” Logikanya sederhana, bila
hubungan-hubungan kontraktual dalam masyarakat didasarkan pada
kejujuran, akan terbangun kelembagaan masyarakat yang efisien.
Kelembagaan masyarakat yang diwarnai ketidakjujuran akan selalu
melahirkan ketidakpastian. Ketidakpastian akan melahirkan aji mumpung
(moral hazard) yang mendorong pelaku ekonomi berpikir dalam konteks
jangka pendek.
Ketidakpastian akan melahirkan pasar-pasar bagi para pemburu
rente.Ketidakpastian akan melahirkan kelembagaan ekonomi yang tidak
efisien. Kepastian merupakan fungsi dari keterdugaan (predictability).
Dalam kondisi yang serbaterduga, serbapasti, pelaku ekonomi
mendapatkan insentif untuk berpikir dalam konteks jangka panjang.
Penyimpangan yang menimbulkan ketidakpastian akan mendapat penalti
karena dalam jangka panjang setiap pelaku ekonomi memiliki waktu cukup
untuk menilai perilaku satu sama lain.
Daya ingat sosial (social memory) yang kuat ini pada akhirnya
melahirkan apa yang oleh Fukuyama (1995) disebut sebagai hightrust
society atau masyarakat dengan radius kesalingpercayaan tinggi––salah
satu ciri terpenting dari bangsa yang maju. Kejadian yang saat ini
sedang berlangsung bila dikelola dengan baik akan melahirkan momentum
psikologis dan energi batin untuk berani mengatakan benar adalah benar
dan salah adalah salah.
Ini juga merupakan kesempatan emas bagi Anggoro Widjaja dan Anggodo
Widjaja, dua tokoh yang dianggap sebagai otak rekayasa kasus KPK,
untuk bermetamorfosis dari ”penjahat hukum” menjadi ”penyelamat
hukum”. Pentas hukum Indonesia membutuhkan banyak peniup peluit
(whistle blower) yang diharapkan dapat menghentikan proses
demoralisasi hukum.
Tantangan yang diberikan Presiden agar siapa saja yang selama ini
dirugikan oleh mafia hukum atau oknum-oknum yang memperjualbelikan
keadilan untuk melapor langsung merupakan tantangan yang harus
disambut gembira oleh mereka yang ingin melakukan pencitraan ulang
(rebranding) dari koruptor menjadi kontributor dalam proses
pendewasaan kehidupan bersama.
Sudah terlalu lama kita sebagai bangsa terbelit oleh perasaan tak
berdaya untuk keluar dari kepurapuraan dan kemunafikan. Kita seperti
telah kehilangan daya juang untuk memberi keteladanan dalam berbagai
hal. Adakah apa yang digambarkan Mustofa Bisri (1998) dalam puisi
”Selama Ini di Negerimu” masih berlaku?
Selama ini di negerimu/ Kebenaran Ditaklukkan/ oleh rasa takut dan
ambisi/Keadilan ditundukkan/ oleh kekuasaan dan kepentingan/ Nurani
dilumpuhkan/ oleh nafsu dan angkara. Negeri ini bukan negeri para
bedebah. Negeri ini bukan negeri tekateki penuh misteri. Kita harus
menyatukan kekuatan untuk menembus awan gelap berlapis-lapis.(*)
PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PH.D*
Pengamat Ekonomi
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/283323/38/
Energi Antikorupsi Bangsa
Written By gusdurian on Rabu, 11 November 2009 | 08.55
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar