BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Wahyu Susilo: Kabinet, Presiden, dan Bahasa Indonesia - (Refleksi Bulan Bahasa)

Wahyu Susilo: Kabinet, Presiden, dan Bahasa Indonesia - (Refleksi Bulan Bahasa)

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Oktober 2009 | 14.20

Kabinet, Presiden, dan Bahasa Indonesia - (Refleksi Bulan Bahasa)
Oleh Wahyu Susilo Belajar bahasa dan sejarah di Fakultas Sastra
Universitas Sebelas Maret Surakarta

*Lunturnya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi politik domestik mencerminkan watak kekuasaan yang abai pada
nilainilai kebangsaan dan cenderung untuk mengintegrasikan diri dalam
kekuatan global."*

HIRUK pikuk pembentukan kabinet, mulai tahapan pemanggilan dan wawancara
(istilah populernya audisi) di Cikeas, pemeriksaan kesehatan, hingga
tahap pembatalan calon, pelantikan kabinet terpilih, dan penilaian
masyarakat terhadap kemampuan kabinet terpilih, sampai saat ini belum
usai. Tentu saja, itu merupakan rutinitas lima tahunan yang tidak bisa
dilewatkan, terutama bagi mereka yang menaruh perhatian pada masa depan
politik ekonomi Indonesia.

Di antara hiruk pikuk tersebut, ada keprihatinan mendalam terhadap
kabinet terpilih yang dinamai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
Kabinet Indonesia Bersatu II. Keprihatinan tersebut muncul dari
pemakaian tiga semboyan (istilah Presiden Yudhoyono tagline) kabinet ini
dalam bahasa Inggris yang ditetapkan dalam sidang kabinet yang digelar
pertama kali pada 23 Oktober 2009.

Tiga semboyan itu adalah `Change and Continuity', `De-bottlenecking,
Acceleration, and Enhancement' dan `Unity, Together We Can'.
Walau Presiden Yudhoyono kemudian menerjemahkan dan menjelaskan secara
rinci semboyan tersebut dalam bahasa Indonesia, tetap harus
dipertanyakan mengapa harus terlebih dahulu menggunakan bahasa Inggris
ketimbang bahasa Indonesia?
Lebih memprihatinkan lagi, peristiwa ini terjadi pada Oktober, yang
telah ditetapkan sebagai bulan bahasa Indonesia. Penetapan itu merupakan
penghormatan terhadap `Soempah Pemoeda', buah politik pergerakan kaum
muda yang berhasil merumuskan identitas bangsa dalam wujud bahasa Indonesia.

Lunturnya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi politik domestik mencerminkan watak kekuasaan yang abai pada
nilai-nilai kebangsaan dan cenderung untuk mengintegrasikan diri dalam
kekuatan global yang mungkin menjadi panutan dan penopang kekuasaannya.
Sebenarnya, bukan pertama kali ini, Presiden Yudhoyono dan para
pembantunya terlalu banyak menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi
politik domestik. Selain dinilai tidak menghargai bahasa Indonesia,
perilaku itu juga sering menjadi bahan tertawaan karena salah penggunaan.

Salah satu contoh yang nyata adalah penggunaan istilah `one man, one
tree' yang dipakai dalam iklan layanan masyarakat Departemen Kehutanan
untuk Hari Menanam Nasional. Para pegiat lingkungan hidup menyesalkan
istilah `one man, one tree' karena bias gender dan mengabaikan peran
perempuan dan anak. `Man' sekarang tak bisa lagi diterjemahkan sebagai
orang, tetapi sebagai `laki-laki'. Dalam khazanah ilmu politik, kosakata
politik klasik `one man, one vote' pun juga telah diganti dengan `one
person, one vote', untuk menghindari bias gender. Dengan demikian
istilah `one man, one tree' tidak inklusif dan mengabaikan perempuan dan
anak. Mengapa tidak langsung menggunakan semboyan yang lebih lugas dalam
bahasa Indonesia dan tidak bias gender: Satu orang, satu pohon! Menteri
Keuangan Sri Mulyani juga merupakan salah seorang pembantu Presiden
Yudhoyono yang gemar mengumbar istilah-istilah dalam bahasa Inggris
meskipun sebagian besar pendengar pidato dan wawancaranya adalah
pengguna bahasa Indonesia.

Kesia-siaan Penulis pernah melakukan kajian terhadap `kesia-siaan'
penggunaan bahasa Inggris dalam pidato Presiden Yudhoyono pada berbagai
kegiatan kepresidenan di dalam negeri. Mengapa sebuah `kesia-siaan'?
Karena sebagian besar pendengar pidato Presiden Yudhoyono adalah
pengguna bahasa Indonesia. Selain itu, istilah yang disampaikan dalam
bahasa Inggris sebenarnya juga telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Dalam kajian terhadap pidato kenegaraan presiden pada Agustus sepanjang
2006­2009, penulis menemukan banyak kesia-siaan penggunaan bahasa
Inggris, bahkan juga menemukan kesalahan penggunaan istilah dalam bahasa
Inggris.
Pada pidato kenegaraan Agustus 2006, terdapat kesalahan penggunaan
istilah millennium development index. Istilah ini tidak pernah ditemukan
dalam diskusi tentang millennium development goal. Kesia-siaan ditemukan
ketika istilah energi alternatif berbasis nabati dan sistem peringatan
dini yang sebenarnya sudah banyak dipahami masyarakat masih tetap
disertai terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sebaliknya ada istilah
asing yang disebut Presiden sebagai survailance tidak diterjemahkan.

Dalam pidato kenegaraan Agustus 2007 hingga Agustus 2009, makin banyak
bertaburan istilah dalam bahasa Inggris, mulai kutipan pidato Bung Karno
(Indonesia is breaking up, A nation in collapse), hingga istilah-istilah
terkait perubahan iklim dan ekonomi. Bahkan istilah growth with equity
(pertumbuhan yang disertai dengan pemerataan) berulang kali disampaikan.
Itu tentu terkait dengan penegasan dan pilihan strategi ekonomi
pemerintahan SBY. Istilah rule of law dan good governance (bahkan
ditambahkan oleh Presiden Yudhoyono menjadi good and clean governance)
masih terus disebut, meskipun sudah ada padanan kata dan populer dalam
percakapan bahasa Indonesia. Istilah ekonomi pro-growth, pro-poor dan
pro-job bahkan sering disebut dan menjadi mantra dalam kampanye
pemilihan presiden dan pasti akan terus disebut dalam pemerintahan baru ini.

Tentu bukan sebuah kebetulan, jika istilah-istilah dalam bahasa Inggris
yang bertaburan tersebut adalah istilah-istilah baku dalam model
pembangunan yang diperkenalkan oleh lembaga-lembaga keuangan
internasional (seperti Bank Dunia/World Bank, Dana moneter
Internasional/International Monetary Fund, dan Bank Pembangunan
Asia/Asian Development Bank) serta negara-negara maju yang selama ini
menopang pembiayaan pembangunan Indonesia melalui utang luar negeri.

Keadaan tersebut menjadi ironi karena pada 2003 Susilo Bambang Yudhoyono
(waktu itu Menteri Koordinator Politik dan Keamanan) pernah mendapat
penghargaan dari Pusat Bahasa sebagai pejabat publik yang menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik.

Keprihatinan akan makin lunturnya kebanggaan menggunakan bahasa
Indonesia dalam komunikasi politik domestik ini erat kaitannya dengan
kekhawatiran akan masa depan bangsa Indonesia. Kajian pidato kenegaraan
dan kaitannya dengan pilihan kebijakan ekonomi Indonesia menunjukkan
kedaulatan bangsa berada dalam ancaman, bukan hanya tercabik-cabik di
ranah ekonomi, melainkan juga telah kehilangan kebanggaan atas bahasa
dan kebudayaan.
Itu wujud dari ketidakpercayaan diri para pemegang kuasa politik di
Indonesia.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/28/ArticleHtmls/28_10_2009_006_004.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: