BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » *Universitas Global Berakar Keindonesiaan*

*Universitas Global Berakar Keindonesiaan*

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Oktober 2009 | 14.21

Catatan untuk Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh
*Universitas Global Berakar Keindonesiaan*

Oleh: Adig Suwandi

*BOLEH* dikatakan, tidak ada sentimen negatif berarti ketika Muhammad
Nuh diiumumkan menjadi menteri pendidikan nasional. Kompetensi
berorganisasi sejak usia muda, pengalaman panjang dengan reputasi sangat
bagus ketika menjabat rektor ITS, serta terakhir menjadi menteri
komunikasi dan informasi, merupakan modal sangat bagus dalam mengemban
amanah pada jabatan baru.

Namun, kapabilitas Nuh membawa pendidikan Indonesia menjadi jauh lebih
bermutu dan mendapat /recognition/ komunitas global tampaknya harus
dibuktikan dalam beberapa hari mendatang. Kemampuannya membangun
/teamwork/ dan menumbuhkan spirit baru bagi para penyelenggara
pendidikan nasional berikut dukungan terhadap program yang diagendakan
akan sangat menentukan derajat keberhasilannya.

Publik paham begitu panjang daftar negatif yang diselesaikan Mendiknas.
Misalnya, sistem pendidikan yang cenderung karut-marut, tidak
terintegrasi, berkorelasi negatif terhadap dunia industri. Juga
hasil-hasil penelitian bagus tak /connect/ dengan aktivitas serupa di
dunia lain. Pada tingkat pendidikan tinggi, beberapa universitas
berambisi mencapai kualifikasi sebagai /global university/. Sejumlah
kerja sama didesain, mulai penyelenggaraan pendidikan secara /sandwich,
dual degree/, hingga penelitian bersama. Upaya tersebut secara logika
dapat dibenarkan, tetapi menuai kritik di banyak tempat. Akuntabilitas
publiknya digugat karena muncul kesan kurang memperhatikan identitas
nasional dan terlalu bias ke kapitalisme yang merupakan sisi buram
desain /global university/. Besarnya biaya pendidikan yang makin jauh
dari kemampuan finansial rata-rata orang tua mahasiswa juga sisi negatif
lain. Era badan hukum pendidikan diinterpretasikan publik tak lebih
sebagai privatisasi sistematis penyelenggaraan pendidikan. Pola serupa
bahkan sudah merambah ke jenjang SMA dan SMP melalui kedok proyek
rintisan sekolah berstandar internasional.

Di tengah rendahnya kemampuan rektorat mencari sumber-sumber pendapatan
yang dapat digali melalui penelitian, kerja sama pengabdian masyarakat,
dan kegiatan lain yang dapat menjadi /profit centre/, mahasiswalah ujung
tombak beban pembiayaan kampus. Isyarat tersebut diperkuat oleh
banyaknya jalur masuk universitas yang berkonotasi langsung perbedaan
level besarnya kontribusi finansial yang harus dibayar. Memang, ada
jalur murah melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNM
PTN) dan beasiswa bagi keluarga kurang mampu. Namun, jumlahnya relatif
kecil sehingga secara kumulatif belum sepadan dengan kebutuhan indikatifnya.

Keluaran pendidikan juga masih merupakan persoalan konvensional. Tidak
adanya keterpaduan antara kurikulum dan dunia kerja menjadikan alumni
memerlukan adaptasi dan orientasi selama beberapa bulan. Terhadap
pernyataan tadi, universitas berdalih bahwa pendidikan tinggi memang
didesain tidak untuk menghasilkan tukang dengan keterampilan khusus.
Namun, para siap dilatih. Setelah berhasil beradaptasi, diharapkan
mereka dapat bekerja secara profesional.

Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian Nuh barangkali adalah
pembukaan program studi pada sejumlah universitas yang cenderung
mengikuti angin, tanpa antisipasi cermat terhadap kebutuhan dan proyeksi
tenaga kerja di masa-masa mendatang. Kini sejumlah universitas dan
lembaga penyelenggara jasa pendidikan lain beramai-ramai membuka program
studi yang berhubungan deangan kedokteran, ilmu komputer dan teknologi
informasi, sementara rumpun agrokompleks (pertanian, peternakan,
perikanan, dan kehutanan) kehilangan pamor. Yang disebut terakhir,
kalaupun mendapatkan mahasiswa, umumnya pilihan kedua dan ketiga dengan
/passing grade sangat/ rendah. Pada sejumlah universitas, bahkan
kuotanya lebih rendah daripada peminat. Kondisi tadi sangat kontradiktif
dengan tantangan bangsa untuk mewujudkan ketahanan/kedulatan pangan
dengan menghilangkan sejumlah bahan pangan yang selama ini masih harus
diimpor dari pasar global. Artinya, seorang menteri pendidikan nasional,
mau tidak mau, perlu berkomunikasi intensif dengan menteri-menteri lain
dan dunia usaha untuk mengetahui secara pasti bidang-bidang keahlian apa
saja yang diperlukan bangsa untuk setidaknya 5-10 tahun mendatang ketika
lulusan universitas masuk dunia kerja.

Bukan rahasia lagi kalau dewasa ini banyak sarjana menganggur, bahkan
sebagian di antaranya lulusan magister. Kenyataan faktual lain, terdapat
tenaga asing yang bekerja di sejumlah perusahaan nasional atau
mutinasional yang beroperasi di Indonesia hanya karena orang kita sangat
sedikit yang berkeahlian di bidang itu. Sebut saja bidang-bidang
keahlian aktuaria, manajemen risiko, pertambangan, perminyakan, dan
mitigasi bencana, yang terpaksa menyewa tenaga kerja asing dengan
bayaran jauh lebih tinggi. Prediksi terhadap kebutuhan tenaga kerja
mendatang menjadi sangat urgen dan tidak dapat ditunda.

Keterkaitan antara program studi dan kebutuhan dunia industri menjadi
urgen untuk dipertimbangkan kembali. Cara-cara lama dalam melihat makna
pendidikan mesti berubah secara fundamental meski sebuah universitas
harus menyiapkan diri menjadi /global university/. Bangsa Indonesia
perlu iri terhadap India yang alumni universitasnya menjadi pemimpin
perubahan pada tingkat global. Tidak sedikit lulusan
universitas/institut teknologi di India yang berhasil menjadi
pemilik/eksekutif perusahaan global, pemikir ulung, dan guru besar pada
sejumlah universitas terkemuka di Amerika Serikat dan Eropa, khususnya
untuk bidang-bidang kedokteran, farmasi, teknologi informasi, dan
manajemen. C.K. Prahalad mungkin salah satu dari pakar asal India yang
mendapat pengakuan dunia karena kemampuannya dalam pemikiran manajemen
kontemporer.

Upaya menjadi /global university/ memang sangat relevan, tetapi tidak
harus meninggalkan identitas kultural lokal dan keindonesiaan kita.
Tuhan memberikan karunia kepada bangsa Indonesia akan sumber daya alam,
agroklimat, keragaman budaya, dan manusia multietnis yang bila dikelola
scara profesional dapat meningkatkan daya saing. Dalam banyak kasus,
orang-orang Indonesia sangat kuat pemahamannya untuk matematika, namun
lemah dalam penalaran. Refleksi atas sistem pendidikan yang cenderung
menghafal dan menjadikan guru pemegang monopoli kebenaran sudah barang
tentu tidak relevan lagi. Alasan inilah yang seharusnya menjadi landasan
dalam redesain sistem yang lebih memberdayakan peserta didik.
Pembentukan pribadi unggul dan berkarakter dengan akar keindonesiaan
kuat tersebut mesti dimulai dari pendidikan bermutu tinggi dan murah
dalam pembiayaan melalui keterlibatan negara. Selamat bekerja, Pak Nuh.

* /*) Adig Suwandi/ * /, pemerhati sosial-ekonomi, alumnus Cranfield
University, Silsoe-Bedford, Inggris./

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: