Dahlan Iskan: Agus dan Emir Harus Bersyukur Tak Masuk Kabinet
*UNTUNGLAH* Agus Martowardojo dan Emirsyah Satar tidak jadi menteri.
Belum tentu baik orang sehebat Agus dan Emir masuk kabinet. Agus
Martowardojo, Dirut Bank Mandiri itu, pernah dispekulasikan menduduki
jabatan menteri BUMN. Sedangkan Emirsyah Satar, Dirut Garuda Indonesia,
menduduki jabatan menteri perhubungan.
Kedua orang profesional itu, kalau tidak lebih hebat daripada menteri
yang ada, setidaknya tidak akan kalah. Saya memang punya prinsip jangan
semua orang hebat masuk dalam kabinet. Biarlah kabinet dibagi-bagi untuk
penjatahan apa saja. Sedang pos-pos yang memerlukan kerja keras beneran
di sektor riil harus dijaga agar tetap berada di tangan orang seperti
Agus Martowardojo dan Emirsyah Satar.
Orang seperti Agus dan Emir harus bersyukur tidak masuk kabinet.
Kalaupun keduanya tidak bersyukur, kami-kamilah rakyat Indonesia yang
bersyukur. Kebanggaan dan kepercayaan terhadap Bank Mandiri yang mulai
tumbuh bisa terus dikembangkan menjadi bank berskala internasional. Agus
Martowardojo akan mampu mewujudkannya.
Demikian juga kebanggaan kepada Garuda Indonesia yang mulai muncul,
diharapkan bisa berlanjut menjadi sebuah kebanggaan karena Garuda
kembali mampu berkiprah di jalur internasional. Emirsyah Satar yang
sudah berhasil mengangkat Garuda dari lembah penghinaan masih memerlukan
waktu untuk membuat Garuda terbang tinggi.
Adapun kabinet biarlah diisi orang-orang yang berebut jatah. Begitu
banyak pihak yang merasa harus mendapat jatah. Sampai-sampai mereka
harus merebut, mengancam, mencela, menyikut, dan menyindir. Bayangkan
betapa sulitnya Presiden SBY ketika menyusun kabinet baru. Harus ada
jatah untuk partai-partai. Untuk suku-suku besar. Untuk agama-agama.
Untuk gender (jatah laki-laki dan jatah wanita). Untuk pegawai karir.
Untuk jatah profesional. Jatah untuk tentara dengan subjatah angkatan
darat, laut, udara dan polisi. Jatah untuk universitas: untuk
ITB-IPB-UI-UGM-ITS-Unair dan perwakilan universitas kecil. Jatah untuk
menteri lama agar ada kesan terjadi kontinuitas. Masih ada lagi jatah
untuk sebuah pertimbangan khusus.
Sedikit saja penjatahan itu kurang merata, bisa-bisa negara kurang
harmonis. Misalnya saja sekarang ini. Belum apa-apa golongan tertentu di
Ambon sudah mengancam memisahkan diri dari Indonesia hanya karena tidak
ada orang Ambon dalam kabinet. Padahal, bisa saja sebentar lagi orang
Ambon yang sangat hebat, yang sekarang sudah menjadi orang kunci di
Sesneg seperti Lambock (Wakil Sekretris Kabinet Lambock V. Nathans),
akan mendapat jatah sebagai sekretaris kabinet.
Memang, secara tradisional suku Ambon selalu terwakili dalam kabinet,
sebagaimana suku Padang, Batak, Jawa, Manado, Bali, Palembang, dan
Banjarmasin. Orang seperti Gusti Hatta yang menjadi menteri lingkungan
hidup, misalnya, tidak hanya membuat kaget masyarakat, tapi juga
mengagetkan dirinya sendiri. Ketika sudah dipanggil ke Jakarta pun dia
masih mengira hanya akan diangkat menjadi rektor universitas setempat.
Barangkali dia tidak tahu kalau sampai hari itu jatah untuk Kalimantan
belum ada.
Rasa iri itu bukan hanya monopoli orang Ambon. Di kalangan universitas
pun mulai ada guyon: IPB itu singkatan dari Institut Pejabat BUMN! Ini
bermula karena pejabat-pejabat di BUMN, mulai menterinya sampai
deputinya adalah lulusan Institut Pertanian Bogor. Atau kalau dalam
kabinet kemarin ITB menjadi penguasa, kini direbut kembali oleh UI.
Maka, ke depan, harus ada tekad bulat dari para alumni ITB Bandung untuk
menggelorakan bait lagu "Mari Bung rebut kembali!". Maksudnya untuk
kabinet lima tahun ke depan.
Maka, saya lega ketika Agus Martowardojo dan Emirsyah Sattar tidak
mendapat jatah itu -mungkin karena dilahirkan dari suku yang salah atau
dari universitas yang jatahnya sudah kebanyakan. Yang jelas, keduanya
bukan orang partai. Keduanya orang profesional yang dalam kabinet
jatahnya hanya sedikit dan sudah habis untuk sekalian memenuhi jatah
menteri lama.
Sebaiknya memang, jangan semua yang hebat-hebat menjadi menteri. Negara
akan sangat kehilangan kalau Agus menjadi menteri. Negara ini lebih
memerlukan memiliki bank yang bisa bersaing di tingkat internasional.
Agus sudah membuktikan bisa mengubah Bank Mandiri menjadi raksasa
perbankan dengan kultur baru yang sangat hebat.
Saya kagum orang seperti Agus bisa mengubah bank milik pemerintah yang
demikian parah bisa menjadi bank terbesar dengan kultur yang berubah
total. Orang-orang keuangan saya terkagum-kagum bahwa kini orang-orang
Bank Mandiri tidak lagi minta komisi kredit. Bahkan, diberi
kenang-kenangan pun tidak mau. Ini sungguh revolusi luar biasa yang
dilakukan Agus. Dia adalah /man in action /di lahan yang memungkinkan
untuk /action /itu. Belum tentu /man in action/ seperti Agus bisa tetap
beraksi di lahan yang terjepit: atasnya besi, bawahnya api.
Dalam masa jabatannya itu pula Bank Mandiri bisa mengalahkan BCA dengan
cepat. Bukan saja di bidang kinerja keuangan, tapi sampai ke soal
servisnya. Dulu, begitu parahnya bank pemerintah, sampai-sampai
menimbulkan rasa minder secara nasional: tidak mungkin bank pemerintah
bisa mengalahkan swasta seperti BCA. Saat itu BCA-lah raja bank di
Indonesia. Mulai kinerja keuangannya, servisnya sampai ke modernitas
teknologinya. Kini Agus berhasil membalik pesimisme itu.
Persaingan bank, terutama secara internasional, sangat berat. Aguslah
yang harus diandalkan untuk membendung laju perbankan asing yang sedang
berebut menguras sumber dana nasional. Tentu dengan cara profesional
seperti yang dilakukan Agus. Bukan dengan cara regulasi yang kini tidak
zamannya lagi.
Prestasi yang kurang lebih sama ditunjukkan Emirsyah Satar. Saya sudah
menuliskannya panjang lebar di harian ini beberapa waktu lalu. Garuda
sudah mendapatkan nakhoda yang hebat. Garuda memerlukan satu periode
lagi untuk bisa benar-benar mendapatkan kepercayaan. Dari perusahaan
penerbangan yang hanya menjadi tempat cibiran berubah menjadi kebanggaan
nasional sebagaimana Bank Mandiri.
Kita memerlukan lebih banyak orang seperti Agus Martowardojo dan
Emirsyah Satar. Sudah terlalu banyak orang yang bisa menjadi menteri
-apalagi dasarnya hanya jatah. Tapi, terlalu sulit menciptakan orang
seperti Agus dan Emirsyah.
Harus diakui, Presiden SBY telah menciptakan iklim yang baik untuk
lahirnya orang-orang seperti itu. Bisa jadi keduanya juga tidak akan
bisa maksimal kalau saja iklim yang diberikan kepada mereka tidak
selonggar sekarang. Bahkan, Emirsyah berani mengajukan syarat ketika
diminta menduduki jabatan Dirut Garuda itu. Dan Presiden SBY memberikan
ruang untuk terjadinya /bargaining/ seperti itu.
Di zaman ini, orang akan mudah melupakan siapa pernah menjadi menteri
apa. Bahkan, siapa sedang menjadi menteri apa. Zaman ini adalah zaman
korporasi. Apalagi di masa depan. Karena itu, Agus Martowardojo dan
Emirsyah Satar akan lebih abadi sebagai pemimpin besar korporasi yang
besar. Kelak, kebanggaan Indonesia akan lebih dibuat oleh prestasi
orang-orang seperti Agus dan Emir. (*)
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=97488
Dahlan Iskan: Agus dan Emir Harus Bersyukur Tak Masuk Kabinet
Written By gusdurian on Sabtu, 31 Oktober 2009 | 14.20
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar