BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Televisi dalam Paradoks Kebebasan Pers

Televisi dalam Paradoks Kebebasan Pers

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Oktober 2009 | 14.08

*Dedy N Hidayat*

Kebebasan pers dan liberalisasi industri media merupakan salah satu
hasil liberalisasi politik dan demokratisasi.

Namun, praktik kebebasan pers dan liberalisasi industri media itu
berpotensi mengancam keberlangsungan liberalisasi politik dan
demokratisasi yang melahirkannya. Paradoks kebebasan pers itu tampaknya
merupakan fenomena dalam penggal historis spesifik saat neoliberalisme
menjadi ide dominan.

Sejumlah kasus di Tanah Air pasca-Orde Baru menunjukkan fenomena adanya
paradoks itu. Perhatian perlu diarahkan ke sektor industri penyiaran,
yang menggunakan ranah publik yang terbatas, yang penguasaan pasarnya
relatif lebih besar dan yang potensi dampaknya terhadap kehidupan
politik relatif lebih besar daripada media lain. Contoh, kasus
musyawarah nasional sebuah partai politik baru-baru ini, saat dua
konglomerat media penyiaran terlibat persaingan politik dengan
memanfaatkan media yang mereka miliki.

Saat ini, kebebasan pers dan liberalisasi industri media di Tanah Air
jelas merupakan produk liberalisasi politik. Memang awal liberalisasi
politik tidak lepas dari dukungan dan peran pers dalam mendelegitimasi
rezim Soeharto. Namun, proses-proses politik lebih lanjut, yang
dimungkinkan adanya demokratisasi dan liberalisasi politik, kian
memantapkan kebebasan pers (antara lain adanya jaminan hukum bagi
pelaksanaan kebebasan pers) dan liberalisasi industri (yang menghapus
lisensi pers) dan memperbanyak pemain dalam sektor industri televisi,
serta praktis menghilangkan kendala politik bagi calon investor industri
penyiaran untuk ”masuk”.

Pertanyaannya, apakah liberalisasi sektor industri media dan kebebasan
pers justru kontraproduktif dalam proses lanjutan demokratisasi di Tanah
Air?

*Keberpihakan politik*

Dalam koteks itu, konsep kebebasan pers tidak bisa didefinisikan secara
klasik dan sempit, semata-mata sebagai kebebasan dari pemerintah bagi
jurnalis atau mereka yang mampu memiliki media, guna menyebarluaskan
informasi dan mengekspresikan pendapat mereka. Definisi klasik dan
sempit itulah yang tampaknya dominan dimiliki jurnalis dan mendasari
praktik jurnalistik mereka; definisi itu pula yang kini menguasai
konsepsi publik tentang kebebasan pers.

Pengertian kebebasan pers klasik itu mengandaikan media berfungsi
menjaga kepentingan publik dari pemerintah, rezim penguasa, atau negara.
Padahal, definisi itu didasarkan asumsi tidak adanya kontradiksi
internal sistem kapitalis, di mana kompetisi akan mengarah pada
konsentrasi kepemilikan media atau penguasaan pasar oleh konglomerasi
media. Semua itu mampu menjadikan sebuah konglomerasi media melakukan
hegemoni makna atau memonopoli definisi tentang realitas seperti
dilakukan penguasa otoriter, di mana pun juga, terhadap warganya.

Definisi klasik itu melihat, media merupakan entitas, tunggal,
mengabaikan realitas adanya berbagai unsur di dalamnya (pemilik,
manajer, jurnalis, dan pekerja media lain) yang terjalin dalam hubungan
kekuasaan yang tidak berimbang. Dalam hubungan timpang itu, mudah tumbuh
kondisi tidak demokratis, yang membuat idealisme jurnalis tunduk
kepentingan ekonomi dan politik unsur dalam media yang memiliki surplus
kekuasaan.

Lebih dari itu, pemahaman kebebasan pers klasik juga mengabaikan media
sebagai institusi ekonomi-politik. Media jelas memiliki kepentingan
untuk melakukan akumulasi dan ekspansi modal. Untuk itu, selain
kecenderungan alami untuk lebih tunduk pada rating dan kebutuhan
pengiklan, ditempuh pula praktik yang tidak selalu sejalan dengan
kepentingan publik, melalui aneka upaya manipulasi selera dan kebutuhan
publik, dan praktik komodifikasi segala aspek kehidupan publik (dari
masalah pribadi, bencana, hingga kemiskinan), sebagaimana bisa diamati
melalui televisi dan menjadikan tayangan seperti itu seolah kebutuhan
obyektif dan alami.

Dalam konteks ini, kebebasan pers tidak lagi bisa dikaitkan konsepsi
kebebasan demi melindungi publik dari penguasa.

Eksistensi media penyiaran sebagai institusi ekonomi itu pula yang
menciptakan potensi finansial sebagai institusi politik, utamanya
sebagai media bagi aspirasi dan kepentingan politik penguasa media.
Lebih dari itu, dengan sistem pemilihan berbiaya tinggi seperti dikenal
di Tanah Air saat ini, muncul modus produksi kekuatan yang kian bertumpu
pada sumber daya finansial. Dengan demikian, sebuah konglomerasi media
mampu menanamkan pengaruhnya terhadap anasir-anasir legislatif dan
eksekutif melalui kekuatan finansial yang dimiliki. Kemungkinan semacam
ini juga berlawanan dengan proses demokratisasi dan menunjukkan
kebebasan pers tidak selalu tepat diletakkan hanya dalam konteks
kebebasan dari rezim penguasa.

*Kebebasan berekspresi*

Uraian itu menunjukkan, posisi media, dalam triangulasi hubungan antara
negara, pasar, dan masyarakat, tidak mudah terdeteksi pasti. Karena itu,
kerangka pemikiran yang memandang kebebasan pers secara sempit, hanya
sebagai kebebasan dari negara, atau rezim penguasa, tidaklah realistis.

Karena itu, kebebasan pers perlu didefinisikan lebih kontekstual, sesuai
kondisi historis spesifik perkembangan ekonomi-politik yang ada,
khususnya tahap perkembangan kapitalisme di sektor industri media.

Pertama, kebebasan pers, selain mencakup kebebasan media dan jurnalisnya
dari tekanan serta campur tangan penguasa, juga harus mencakup dimensi
kebebasan organisasi media dari tekanan pasar.

Kedua, definisi kebebasan pers perlu mencakup dimensi kebebasan
mempraktikkan kaidah-kaidah dan etika profesi bagi jurnalis profesional
dari tekanan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal.

Ketiga, yang paling esensial, konsepsi kebebasan pers harus selalu
dikaitkan kebebasan publik untuk mendapat informasi demi pencerahan dan
pemberdayaan diri. Selain itu, juga perlu dilekatkan dengan kebebasan
publik guna mendapatkan akses ke media, berekspresi dan berpartisipasi
secara demokratis dalam wacana yang menyangkut kepentingan mereka
bersama, khususnya melalui media penyiaran yang menggunakan ranah publik
bagi operasi akumulasi dan ekspansi modal. Dari segi ini, publik akan
mempertanyakan argumen pemilik media penyiaran, yang memperoleh konsesi
untuk menggunakan ranah publik, bila media yang dimiliki digunakan
sebagai media atau alat kepentingan politiknya.

Dalam pengertian kebebasan pers yang dikaitkan kebebasan publik untuk
berekspresi, pers tak selalu harus netral dan bebas nilai. Pers harus
berpihak pada nilai-nilai yang diakui bersama dan disepakati atau yang
bersifat universal. Keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu itulah
yang menjadi dasar keberpihakan politik, bila kondisi menghendaki campur
tangan pers.

/Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/31/04270340/televisi.dalam.paradoks.kebebasan.pers
Share this article :

0 komentar: