BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Sumpah Pemuda dan Etnis Tionghoa

Sumpah Pemuda dan Etnis Tionghoa

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Oktober 2009 | 14.18

Sumpah Pemuda dan Etnis Tionghoa
Oleh: Mustofa Liem

*ETNIS* Tionghoa sebagai bagian integral bangsa ini ikut terlibat dalam
beragam dinamika Indonesia. Termasuk saat peristiwa historis Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu para pemuda dari berbagai suku atau
etnis mencetuskan sumpah yang sangat monumental. Sumpah yang merupakan
"resolusi" kongres pemuda kedua (1928) itu adalah tekad bersama semua
unsur pemuda di Nusantara untuk bersatu tanah air, bersatu bangsa, dan
bersatu bahasa: Indonesia! Para pemuda itu sudah memiliki visi
menghargai keragaman dan masing-masing memandang satu sama lain dalam
posisi setara atau sederajat.

Lalu di mana peran etnis Tionghoa? Itu antara lain terbukti dengan
dihibahkannya gedung Soempah Pemoeda oleh Sie Kong Liong. Selain itu,
ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa yang duduk dalam kepanitiaan.
Di antaranya Kwee Tiong Hong dan tiga pemuda Tionghoa yang lain. Peran
yang cukup signifikan boleh jadi terletak pada peran etnis ini untuk
ikut berkomitmen mendukung isi Sumpah Pemuda butir ketiga "kami poetera
dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia", etnis Tionghoa juga punya sumbangan cukup lumayan.

***

Menurut bukti sejarah, dalam hal bahasa, kontribusi etnis ini memang
tidak kecil. Sekadar diketahui, semula etnis Tionghoa, di Jawa
khususnya, lebih suka berbahasa Jawa. Namun, sebuah keputusan yang
diambil pemerintah Belanda dengan sistem tanam paksa (1830-1870)
akhirnya memutuskan sistem pas (/passenstelsel/) yang praktis memisahkan
orang Tionghoa dengan orang Jawa. Nah, praktis, sejak saat itu, etnis
ini mulai berbahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia.

Lalu, dengan terdongkraknya status sosial orang-orang peranakan golongan
atas, mereka pun mulai mengembangkan sifat dan minat golongan atas,
termasuk sastra dan tata pergaulan sosial. Kekayaan juga mendorong
mereka menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah Belanda berbahasa
Melayu yang didirikan pemerintah kolonial sejak 1854.

Anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah itu, tentu saja, mulai
menulis dalam bahasa Melayu, baik wartawan maupun sastrawan. Apalagi,
surat kabar berbahasa Melayu juga mulai dicetak di percetakan yang
hampir semuanya milik etnis Tionghoa, seperti /Soerat Kabar Bahasa
Melayoe/ (1856) dan /Bintang Soerabaja /(1860). Di awal abad ke-20,
terbit koran besar /Pewarta Soerabaia/, /Sin Tit Po/, dan /Sin Po/.
Harian /Sin Po /adalah surat kabar pertama yang menjadi pelopor
penggunaan kata Indonesia menggantikan Nederlandsch-Indie, Hindia
Nederlandsch atau Hindia Olanda dan menghapuskan penggunaan kata
"inlander" yang dirasakan sebagai penghinaan bagi rakyat Indonesia.
Langkah ini kemudian diikuti harian lain. Kemudian untuk membalas "budi"
sebagian besar penerbitan pers Indonesia mengganti kata "China" dengan
kata "Tionghoa".

Tanpa disadari, pers yang dikelola komunitas Tionghoa tersebut kemudian
berkembang menjadi sarana efektif dalam penyebarluasan berbagai berita
perjuangan bangsa ini untuk lepas dari penjajahan serta menjadi bangsa
yang benar-benar merdeka dan berdaulat.

***

Nah, yang perlu digarisbawahi, jika peran etnis Tionghoa ditampilkan
dalam tulisan ini, sebenarnya bukan bermaksud menonjolkan peran etnis
ini sendiri dalam mendukung Sumpah Pemuda. Peran etnis Tionghoa mungkin
sama saja atau bahkan tidak seberapa jika dibandingkan dengan para
pemuda dari Jawa, Batak, atau Betawi, dan sebagainya. Peran etnis
Tionghoa "terpaksa" disinggung di sini sekadar untuk menyegarkan
ingatan, karena kadang masih terdengar penilaian etnis Tionghoa sama
sekali tidak peduli dengan masalah-masalah kebangsaan atau etnis
Tionghoa malah merusak bahasa Indonesia.

Kalau kita kembali ke semangat Sumpah Pemuda, penilaian minor yang
mengecilkan peran etnis tertentu seperti disebutkan di atas hanya
kontraproduktif bagi bangsa ini. Karena itu, semangat 1928 rasanya masih
sangat relevan gaungnya untuk kita. Pasalnya, pada 28 Oktober 1928, para
pemuda dari berbagai suku dan agama sudah berani membangun tekad
kebersamaan. Yang penting bagi mereka adalah semangat bersama untuk
mewujudkan impian akan sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat bernama
Indonesia.

Dan sebuah Indonesia yang berdaulat hanya bisa berdiri tegak jika setiap
komponennya memiliki semangat dan visi multikultural yang menghargai
keragaman, pluralisme, atau perbedaan. Entah seberapa besar atau kecil
sumbangannya bagi Indonesia, tidak terlalu penting untuk diperdebatkan.
Yang jauh lebih penting adalah solidaritas dan menjauhi semangat
kesukuan atau semangat menonjolkan suku, etnis atau kelompok sendiri.
Untuk itu, jangan gara-gara soal menteri saja, sampai mau bercerai dari
NKRI.

Kini sudah 64 tahun lebih Indonesia merdeka. Semangat Sumpah Pemuda
masih belum basi, terlebih untuk menjaga dan merawat Indonesia yang kini
menghadapi 1001 persoalan, terlebih tantangan globalisasi, terorisme,
dan korupsi. Kita yakin bila semua suku atau etnis atau elemen apa pun
dari bangsa ini mau memberikan sumbangan positifnya, mungkin kita akan
bisa meraih mimpi yang lebih besar, yakni Indonesia yang berkesetaraan
dan berkeadilan, bukan almarhum Indonesia yang rusak karena tercerai
berai berbagai ambisi primordialisme.

* /*) Mustofa Liem, PhD/ * /, Dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk
Kesetaraan/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: