BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Suara Rakyat, Suara Angin Lalu

Suara Rakyat, Suara Angin Lalu

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Oktober 2009 | 14.15

Suara Rakyat, Suara Angin Lalu
Oleh Mohamad Sobary Budayawan

DALAM The Winner Stands Alone, novelis beken Paulo Coelho mengutip
sebuah ironi dalam komunikasi. Dia menyebut dialog absurd antara seekor
tikus dan burung camar, yang tak saling memahami, karena rupanya tiap
hewan memang hanya bicara dalam bahasa masingmasing. Selain itu, si
burung mengira setiap hewan pasti memiliki sayap seperti dirinya.
Maka, ketika melihat si tikus tak bersayap, dia pun bertanya, "Mana
sayapmu?" Dan si Tikus hanya plonga-plongo, sambil memandang dengan
heran sayap si burung. Karena tak mendapat jawaban, camar pun
berkesimpulan bahwa si tikus pasti sakit. Dia menduga binatang itu baru
saja dihajar monster kejam yang merampas sayapnya, sekaligus membuatnya
bisu.

Dia iba pada si tikus, dan dengan murah hati `membawa' binatang malang
itu dengan paruhnya, melanglang buana di angkasa. Beberapa lama
kemudian, dia mendarat lagi dengan profesional, dan aman. Si tikus
kemudian ditinggalkannya seperti semula.

Lama si tikus stres membayangkan kembali pengalaman dahsyat yang begitu
musykil dalam nalar dan kesadarannya. Baginya, mikraj nabi mungkin lebih
sederhana daripada pengalamannya sendiri. Maka, lama-lama, dia percaya,
apa yang dialaminya itu hanya sebuah mimpi. Merasa serbaterancam Sudah
pasti rakyat dan pejabat, bukan binatang. Rakyat bukan burung camar,
pejabat bukan tikus. Namun, rakyat, mungkin terutama para pengamat, atau
media, dan siapa saja yang bicara di media, tampak selalu gagah,
lantang, dan mudah memberi `nasihat' kepada pejabat,
berdasarkan--seperti si camar--anggapannya sendiri. Dikiranya pejabat
tak tahu apa-apa.

Dan para pejabat? Seperti orang-orang KPU, tiap kritik dianggap suara
apriori, yang hanya menyalahkan. Tiap kritik, bahkan saran konstruktif
para donor pun, dianggap ancaman belaka, atau cemooh, dan hinaan.Sikap
subjektif mereka menolak adagium vox populi vox day. Dan ketika diberi
tahu pernyataan Gandhi, peoples' voice should be the voice of God,
mungkin mereka, seperti sikap tikus tadi, pura-pura tuli.

Itu jamak ketika tiap pejabat--juga presiden-tak terlalu dihormati. Di
masyarakat telah terjadi desakralisasi jabatan. Premis apa pun yang
didasarkan semangat kerakyatan harus berbau rakyat: terbuka, tak punya
rahasia, tak berprasangka, dan sederhana. Rakyat sudah capek mengabdi
raja-raja munafik, cengeng, mudah marah, mudah curiga, dan gemar pamer
kekuasaan. Zaman raja-raja sudah lewat. Atau seharusnya sudah lewat.

Transisi menuju demokrasi memang berat bagi rakyat maupun pejabat.
Rakyat kelihatan lebih demokratis dari pejabat? Itu karena rakyat tak
memimpin, tak harus menimbang hal sensitif, dan tak merasakan getirnya
ironi jabatan. Mereka bukan nakhoda, yang merasakan `kejam'-nya badai
dan terpaan gelombang. Namun, ketika menjabat, mereka kok juga kejam dan
sok kuasa?
Tanpa risiko apa pun Rakyat memang tak punya apa-apa. Dan tak merasa
bakal kehilangan apa-apa. Mereka menyuruh pejabat bersikap nothing to
loose seperti dirinya. Segala hal dirasa enteng. Apa saja `mengalir',
tanpa risiko. Jadi mereka terbuka, lantang dan bersikap `suci' bagai
salju yang baru turun semalam, bukan karena demokratis, melainkan karena
belum tahu psikologi jabatan. Mereka menjunjung tinggi `suara rakyat
suara Tuhan' dan ada saja yang merasa bagaikan Tuhan: tak merasa salah,
tak merasa kurang sopan, tak mungkin kurang hati-hati. Maka, siapa pun
dituding, disalahkan, kadang dihina, dan `dinasihati', seolah dia
menghadapi anak-anak.

Contoh: `Jangan asal menciutkan kabinet'. `Menteri Kebudayaan harus
paham akan kebudayaan'.
`Bikinlah Kebudayaan departemen tersendiri'.
`Kebudayaan bukan pariwisata'. `KPK jangan tebang pilih.' `Ambil menteri
yang prorakyat'.

Dan setiap disertai argumen teknis, padahal, rakyat yang tak pernah di
birokrasi, yang melihat segala hal dari jauh, hanya akan tahu hal-hal
abstrak dan teoritis. Pendiriannya mudah roboh oleh argumen teknis yang
lebih dalam.

Rakyat mudah bicara idealis, tapi bagaimana yang idealis itu ditaruh
dalam bahasa birokrasi, pasti kurang paham. Bagaimana menempatkan
kemuliaan ide besar ke dalam bahasa program, dan proyek, agar
`romantisme' membela `rakyat' miskin tak justru terjebak ke dalam
kesukaran hukum yang bisa menyeretnya ke pengadilan?
Mereka tak terlalu paham. Dengan kata lain, suara rakyat suara Tuhan,
sering diisi hal-hal yang kurang cermat, kurang mendasar, kurang sopan,
dan kurang bijak, karena anggapan, pejabat hanya `tikus bisu'. Namun,
pejabat memang sering njelehi--membosankan--karena normatif, sok kuasa,
sok raja, dan kadang sok intelek. Banyak pula yang sinis, dan tak ada
niat baik melakukan koreksi diri. Relasi kekuasaan `rakyat-pejabat' tak
dilandasi mutual respect dan tak mengandung mutual trust. Kritik
dianggap angin lalu.

Pemimpin sejati, ksatria sejati?
Semua pihak patut belajar lagi berkomunikasi secara sehat. Demokrasi
hanya berkembang dalam jiwa dan struktur sosial yang juga sehat. Kita
masih sedang memanggul misi suci character building yang sejak lama
terlantar. Ego rakyat dan pejabat yang bertabrakan terus-menerus mahal
biayanya, dan merugikan bangsa.

Kelihatannya, zaman ini menuntut, pejabat harus lebih sensitif. Ada saat
ketika dia harus menjadi tikus tuli. Tak usah banyak bicara. Tak perlu
reaktif, tak perlu berdebat. Senang--dalam etika Jawa--tak perlu
tetembangan--bernyanyinyanyi. Ini zaman--kata Sutan Takdir
Alisjahbana--tak putus dirundung malang. Sedih pun tak perlu tetangisan,
karena pemimpin yang ksatria sejati pantang menangis. Apalagi begitu
dramatis, di depan media.

Semua pejabat patut mengingat, jabatan hanya sementara. Kelak, biar pun
bukan suara Tuhan, kita akan merasakan, suara rakyat itu suara kita
sendiri. Maka, biarpun memang berkuasa, suara rakyat jangan pernah
dianggap sekadar angin lalu.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/30/ArticleHtmls/30_10_2009_004_004.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: