BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Apakah Perlu Ruwatan

Apakah Perlu Ruwatan

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Oktober 2009 | 14.13

Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group

DATANGNYA bencana alam secara bertubi-tubi selama tahun-tahun terakhir,
dan yang semakin sering dalam bulan-bulan terakhir, membuat orang-orang
yang berpikiran tradisional merasa kita perlu mengadakan ruwatan.
Ungkapan demikian sering terdengar. Alasan mereka, masyarakat Indonesia
harus dibebaskan dari nasib buruk yang terus-menerus menimpanya karena
alam sedang murka. Kalau ditanya mengapa alam murka dan mengapa harus
ada selamatan, jawabannya tidak jelas. Yang jelas, kita sudah jenuh
mengurusi bencana alam. Lacurnya, bencana itu gejalanya belum akan
mereda. Wilayah Indonesia adalah tempat bertemu lempenglempeng tektonik
yang membuat kondisi geologisnya kompleks dan sangat rawan terhadap
bencana alam.

Letusan gunung berapi, gempa, tanah longsor, banjir bukan kabar buruk
baru. Kita sudah mengenalnya ratusan tahun seperti yang terungkap dalam
dongeng-dongeng kuno. Hanya saja apakah kejadiannya sesering sekarang?
Sebagian bencana alam terjadi karena ulah manusia, seiring dengan
ramainya penebangan hutan akibat peningkatan penduduk yang memerlukan
tanah ladang lebih luas. Namun, bencana alam tsunami Aceh pada Desember
2004--yang diikuti puluhan gempa susulan selama beberapa hari--sangat
tidak terduga dan mengagetkan. Tsunami 2004 telah mengempaskan
gelombang-gelombang raksasa ke pantai dan membinasakan apa pun yang
diterjangnya. Penjelasan geologisnya, semua itu akibat pergeseran
lempengan-lempengan jauh di dalam bumi.

Manusia kehilangan keseimbangan Dalam kata pengantar untuk buku
Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit (1982) terjemahan karya Erik P
Eckholm--intelektual yang banyak menulis tentang lingkungan hidup--Emil
Salim menyatakan bahwa dari berbagai unsur lingkungan hidup, manusialah
yang paling berpengaruh.
Manusia mampu berkembang biak dan mengembangkan akal pikirannya sehingga
bumi makin padat dihuni manusia. Sumber alam makin banyak dikuras untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Akibat sampingan
adalah penggundulan hutan, pemburuan satwa liar yang dilindungi, erosi
tanah, pencemaran industri, sampah dan lain-lain. Semua itu dirasakan
sebagai masalah lingkungan hidup yang mengganggu kehidupan manusia.

Ada rahasia-rahasia alam yang sampai sekarang belum secara total
terpecahkan oleh akal manusia. Kita tentu akan terus-menerus mencari
jawabannya. Misalnya, apa kaitan pergeseran lempengan-lempengan bumi
dengan suhu bumi yang makin panas? Mengapa terjadi perubahan iklim? Suhu
makin panas yang mengakibatkan perubahan iklim mungkin akibat
penggundulan hutan, erosi tanah dan pencemaran industri seperti yang
disebutkan Emil Salim. Perubahan iklim itulah yang akan dibahas dalam
konferensi PBB di Kopenhagen, Denmark, Desember nanti.

Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah sejak 37 tahun yang lalu--tepatnya
sejak Sidang Khusus tentang Lingkungan Hidup di Stockholm 5 Juni
1972--bersepakat bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah nasional
dan internasional. Indonesia sendiri sejak 1978 mulai menanggapinya
secara khusus dalam Repelita III dan menjadikannya bagian integral dari
kebijaksanaan pembangunan nasional. Namun, seperti yang kita saksikan
dan alami, selama dasawarsa-dasawarsa terakhir, ada tarik-menarik kuat
antara kepentingan lingkungan hidup dan kepentingan memenuhi kebutuhan
penduduk.
Kesempatan itu tidak dilewatkan kalangan bisnis (hitam) yang beroperasi
secara diam-diam. Tindakan mereka dengan bantuan para pejabat terkait
merupakan tindak pidana korupsi yang secara berkala terungkap ke publik,
tetapi belum tuntas juga. Karena ulahnya sendiri, manusia telah
kehilangan keseimbangan.

Bayang-bayang hantu bencana alam Lima tahun ke depan, seiring dengan
berlangsungnya kiprah Kabinet Indonesia Bersatu II, Indonesia akan
dihantui bencana alam yang makin gawat bila tidak dilakukan
penanggulangannya secara cepat dan tepat. Itulah kesan yang tersirat
dalam berita tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi bila suhu
bumi ratarata meningkat 4 derajat Celsius menjelang akhir abad ini. Peta
yang dibuat para ilmuwan dari Badan Meteorologi Inggris di Hadley Centre
itu bahkan menggambarkan situasi yang mungkin bisa terjadi terhadap
Indonesia.

Menurut berita yang dilansir harian The Jakarta Post, Duta Besar Inggris
untuk Indonesia Martin Hatfull pada Jumat minggu lalu mengatakan bahwa
menurut peta itu, semua wilayah di dunia akan mendapat dampak negatif
dari perubahan suhu bumi menjelang akhir abad ini, tetapi sebagian
mendapat dampak lebih buruk, termasuk Indonesia. Naiknya permukaan laut
setinggi 80 cm akan mengakibatkan banjir yang menimpa 33 juta jiwa di
Indonesia dan negaranegara lain di Asia Tenggara--wilayah yang
diramalkan paling dahsyat tertimpa bencana tersebut. Menurutnya, lebih
lanjut, "Yang lebih menakutkan, dampak-dampak negatifnya sudah akan
terasa dalam lima tahun ke depan."

Peta tersebut, yang pertama kali diluncurkan di Inggris pada 22 Oktober
2009, juga menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami masa kekeringan
panjang yang akan terjadi dua kali lebih sering sehingga sulit untuk
bertani. Seandainya itu terjadi, jutaan petani Indonesia akan terpaksa
mencari lapangan kerja baru. Demikian pula naiknya permukaan laut 80 cm
akan mengubah ekosistem kelautan sehingga merugikan sumber penghidupan
jutaan nelayan di pantaipantai Asia Timur, Asia Tenggara dan lautan
Hindia yang berbatasan dengan Sumatra, Jawa, dan banyak pulau lain di
bagian timur.

Yang tidak kalah gawatnya, perubahan iklim juga akan banyak mengubah
pola penyakit.
Penyakit malaria dan demam berdarah diperkirakan akan lebih merajalela.

Mencari secercah harapan Mengapa keadaan lingkungan hidup bisa menjadi
seperti sekarang? Letak bumi Indonesia memang rawan bencana alam. Namun,
ulah manusia berpengaruh banyak. Erik P Eckholm, yang ketika menjadi
peneliti senior Worldwatch Institute di Washington pernah bekerja sama
dengan UNEP (United Nations Environment Program) beranggapan bahwa
sebab-sebab utama antara lain karena sistem sosial tidak adil, skala
prioritas investasi juga timpang dan kurang mengindahkan situasi
lingkungan hidup serta pemanfaatan teknologi dilakukan secara sembrono.
Semua itu didasari sikap dan perilaku manusia yang boros karena
mengutamakan kepentingan sendiri.

Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), ketika menanggapi Tsunami Aceh,
mengingatkan bahwa kejadian yang serupa bisa terjadi sewaktuwaktu, dalam
skala waktu sampai 10 tahun atau bahkan 50 tahun ke depan. Maka kita
harus selalu berjaga-jaga dan hendaknya ada political will semua pihak
untuk mengurangi dampak bencana. Perlu ada sosialisasi yang lebih
gencar, pembangunan sistem peringatan dini, dan latihan-latihan untuk
penyelamatan penduduk yang tertimpa bencana. Political will pihak
pemerintah tentu menyangkut alokasi dana untuk anggaran pelaksanaan
program-program tersebut. Selain itu, dapat diadakan kerja sama dengan
negara lain untuk penelitian, termasuk mengenai zonasi kegempaan yang
bisa menjadi panduan guna menjaga keselamatan bangunan, misalnya.

Dalam rangka menghadapi dan menanggulangi bencana alam, Indonesia tentu
berkepentingan dengan Konferensi Perubahan Iklim yang akan diadakan PBB
pada Desember nanti. Seperti kata Duta Besar Martin Hatfull, "Kami yakin
komitmen Indonesia untuk (konferensi) Kopenhagen akan sangat
menentukan." Momentum yang hanya tinggal 6 minggu lagi itu diharapkan
tidak akan dilewatkan kabinet baru.

Kita memang perlu `ruwatan', tetapi bukan dalam arti harfiah--mengadakan
selamatan yang bersifat spiritual. Jangan kita terjebak pada pandangan
sempit bahwa kita sedang mengalami takdir hitam. Ruwatan yang kita
perlukan adalah tumbuhnya kesadaran bersama bahwa daerah tempat tinggal
kita yang kaya akan sumber alam ini, di lain pihak, juga sangat rawan
bencana alam. Kita harus siap menghadapinya bersama; untuk bersama-sama
mengurangi dampak buruknya. Alam tidak menjebak kita. Dia bertindak
sesuai dengan perangai dan iramanya. Manusia telah mendapatkan pertanda
apa risikonya bila bertempat tinggal di daerah ring of fire di
SumatraJawa-Bali-Nusa Tenggara-Banda-Maluku yang rawan tsunami dan
letusan gunung berapi. Maka `ruwatan' untuk membangkitkan kesadaran
rasanya perlu, tetapi bukan ruwatan berbentuk selamatan yang bersifat
spiritual. Sudah bukan zamannya.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/10/30/ArticleHtmls/30_10_2009_004_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: