BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Cicak-cicak Bersatulah!

Cicak-cicak Bersatulah!

Written By gusdurian on Sabtu, 31 Oktober 2009 | 14.13

Cicak-cicak Bersatulah!



*Teten Masduki Penyair*

WS Rendra dalam puisinya pernah menyerukan Bersatulah Pelacur Pelacur
Kota Jakarta, yang ditulis sewaktu almarhum belajar di Amerika
pertengahan tahun 1970-an. Puisi itu ditulis dalam lembaran surat
balasan kepada sahabatnya di dalam negeri yang menceritakan kenestapaan
pelacur-pelacur Ibu Kota yang tidak mendapat perlindungan polisi.

Seorang teman menganjurkan mencatut judul puisi itu dalam tulisan ini
untuk membangunkan kesadaran ”cicak-cicak”. Bahwa niat baik, dan
seberapa kuat legitimasi perlawanan korupsi, tidaklah banyak menolong
berhadapan dengan kekuatan besar yang terorganisasi. Sebab, ancaman
terhadap agenda pemberantasan korupsi kini bukan sekadar wacana.

Penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, memperlihatkan pertarungan
”cicak” dan ”buaya” makin sengit. Sepertinya kepolisian dan Kejaksaan
Agung panik melihat opini masyarakat yang mulai meragukan kredibilitas
polisi dan jaksa menyusul beredarnya transkrip rekaman yang
mengonfirmasi adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap Bibit dan
Chandra.

Seolah dengan penahanan itu dua hal sekaligus bisa diperoleh, menghambat
gerak perlawanan kedua tersangka dan sekaligus menunjukkan keperkasaan
mereka. Atau barangkali polisi sudah menemukan bukti kuat bahwa mereka
menerima suap, yang sejauh ini menjadi kelemahan sangkaan pidana
terhadap mereka yang dituding cuma melakukan penyimpangan prosedur
pencekalan.

*Rekayasa kriminalisasi*

Transkrip rekaman pembicaraan antara pejabat kejaksaan dan pihak-pihak
yang terkait kasus korupsi yang sedang ditangani KPK tersebut bukan saja
menyingkap adanya dugaan rekayasa kriminalisasi terhadap kedua unsur
pimpinan KPK itu, tetapi jauh dari pada itu memperlihatkan bahwa
unsur-unsur busuk masih menguasai kekuasaan formal kita.

Memang sangat menyakitkan. Di tengah semangat masyarakat untuk keluar
dari lilitan korupsi yang telah menempatkan bangsa ini pada harkat
budaya yang paling hina, masuk dalam kelompok negara terkorup di dunia,
masih ada anasir- anasir lama yang berusaha merevitalisasi rezim korupsi
di negeri ini.

Sedikit banyak KPK, yang lahir dari rahim reformasi, telah mengganggu
rezim korupsi. Belakangan KPK malah mulai menyentuh nenek moyang korupsi
yang berbasis pada patronase politik dan bisnis, meski belum mengusut
sumber-sumber dana politik. Dalam hal tertentu KPK juga telah
mempermalukan reputasi polisi dan kejaksaan. Bisnis perlindungan hukum
bagi koruptor menjadi hancur ketika KPK bisa dengan mudah menyeret
koruptor ke penjara meski polisi dan jaksa sudah menutup kasusnya rapat-
rapat dengan alasan klasik: tidak cukup bukti.

Kita sebenarnya mengharapkan ada dukungan politik tingkat tinggi
terhadap KPK. Presiden yang mengklaim punya perhatian terhadap
pemberantasan korupsi mestinya berdiri di belakang KPK dalam melawan
upaya-upaya yang mau melemahkan KPK. Menimbulkan kontroversi di
masyarakat ketika semalam sebelum penetapan tersangka kedua unsur
pimpinan KPK itu oleh polisi, Presiden hadir dalam acara buka puasa di
Mabes Polri. Untung saja Presiden juga cepat merespons kekhawatiran
masyarakat ketika akan mengangkat sendiri pejabat sementara pimpinan KPK
pengganti tiga unsur pimpinan KPK yang sedang diproses di pengadilan,
dengan menyerahkannya kepada tim seleksi independen dan hasilnya relatif
bisa diterima masyarakat.

Sekarang Presiden pun dicatut namanya dalam transkrip rekaman rekayasa
hukum itu. Tentu kita tidak mengharapkan Presiden sekadar membersihkan
dirinya dari pencatutan itu, tetapi menunjukkan kualitas kepemimpinannya
dalam menyelesaikan karut-marut konflik antara ”cicak dan buaya” ini.
Saat ini momen yang tepat untuk menata kembali hubungan konstruktif
semua kelembagaan antikorupsi itu yang sekarang saling sikut. Presiden
harus memberi dukungan kepada KPK untuk mengusut pihak-pihak yang
terlihat dalam rekayasa kriminalisasi ini.

Presiden biasanya enggan dipersepsikan publik bahwa ia melakukan
intervensi politik terhadap kemandirian penegakan hukum, karena memang
polisi dan kejaksaan yang bermasalah dengan KPK berada di bawah
kekuasaan Presiden. Dan tidak mungkin membersihkan negeri ini dari
korupsi tanpa KPK yang kuat, karena masih diperlukan waktu dan upaya
yang panjang untuk memulihkan institusi polisi dan kejaksaan untuk bisa
berada di garda terdepan pemberantasan korupsi.

Serangan balik koruptor terhadap KPK barangkali tidak akan pernah reda.
Serangan mematikan yang harus diwaspadai akan mengarah pada pemangkasan
kewenangan formal dan infiltrasi agen-agen korupsi ke dalam tubuh KPK.
Dalam skala dukungan politik yang sangat lemah, tidak ada jalan lain,
KPK harus membangun sistem kekebalan internal dan mengapitalisasi
dukungan masyarakat yang sangat besar sebagai kekuatan legitimasi mereka.

*Tidak tuntas*

Sayangnya dalam pertarungan ini KPK tampil agak ragu-ragu dan kurang
percaya diri. Kalau saja mau, KPK bisa menyeret hampir separuh anggota
DPR dari sejumlah kasus yang mereka tangani. Dalam banyak kasus, KPK
tidak pernah menebas habis semua pelakunya. Padahal, seperti membasmi
virus, mestinya KPK tidak boleh menyisakan benih-benih kotor yang akan
berkembang biak atau memberikan perlawanan.

Dalam kasus dugaan pemerasan oleh pejabat kepolisian pada kasus Bank
Century, KPK membiarkan isunya berkembang tanpa berani menuntaskan.

Saya yakin KPK pun bisa menggunakan rekaman itu, yang pasti informasinya
jauh lebih lengkap dari secuil transkrip rekaman yang beredar saat ini,
untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK terus berlanjut. Padahal,
mereka bisa melakukan itu atas nama mandat supervisi yang dimiliki oleh
KPK terhadap kepolisian dan kejaksaan.

Atau mungkin kita tak bisa mengharapkan cicak melakukan lompatan besar
karena cicak hanya bisa merayap diam-diam melahap mangsanya, seperti
hampir semua anak prasekolah bisa menyanyikan lagu ”Cicak-cicak di Dinding”.

/Teten Masduki Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/30/04213936/cicak-cicak.bersatulah
Share this article :

0 komentar: